My Top 100 Films of the 2000's: Part 4 (no. 25-11)

Kita hampir tiba di penghujung senarai 100 film keluaran 2000-2009 paling top versi gw. Pada bagian keempat ini sudah masuk kuartil terakhir, namun kali ini gw akan membatasi sampai nomer 11 saja, top 10-nya disimpan dulu, biar dramatis gimana gitu *ehehehe*. Oke, semakin ke atas urutannya, film-film yang akan gw sebut semakin punya "nilai" di hati dan ingatan gw. Sebagai pribadi yang subjektif, gw memang condong mengaburkan perbedaan antara film yang menyenangkan dengan film yang berkualitas—lagian gw tau apa soal kualitas—namun yang pasti 25 film teratas ini adalah film-film yang senantiasa membuat gw bersemangat atau at least nggak nolak untuk menontonnya lagi, serta selalu enjoy setiap kali menontonnya, walau sesedih dan sedepresif apapun temanya. So yea, bisa jadi karena filmnya memang "bagus secara kualitas", atau sekadar sangat menyenangkan gw, atau dua-duanya, yang pasti gw akan langsung bilang "yes I like that film" tanpa pikir panjang. Dan berikut adalah 25 minus 10 film dari dekade 2000-an yang paling membuat gw merasa demikian.





25. Star Trek (2009)
J.J. Abrams/Chris Pine, Zachary Quinto, Eric Bana
Pertama nonton di: bioskop
Star Trek versi baru ini bukanlah film sci-fi fantasy terbaik yang pernah ada, not even close. Jika senarai ini berdasarkan mutu sinematik saja, film ini mungkin akan gw taruh di luar 50 besar. Screw that, I looove this film. Reboot sekaligus sekuel ini adalah drama ekpedisi luar angkasa yang fun dan berwarna, baik dari visual maupun karakter-karakternya. Dengan plot yang ditata sedemikian rupa, film yang naskahnya (lucunya) ditulis oleh orang-orang yang juga terlibat dalam Transformers 2 ini dapat memfasilitasi perkenalan tokoh-tokoh awak pesawat Enterprise ini dengan sangat efektif, sekaligus memberikan keseruan yang menyenangkan dan  membodohi-bodohi amat. Ya, buat gw dalam film ini para tokohnyalah, terutama Kirk dan Spock yang jadi daya tarik utama—dan dieksekusi sangat berhasil, namun bagian action-nya pun masih sangat renyah untuk dinikmati. Ini bukti bahwa J.J. Abrams sukses menyuntikkan energi baru dalam seri legendaris ini sehingga mudah disukai, tidak merusak "tatanan" yang telah ada namun juga bisa merangkul penonton awam dengan ramah. Review


24. Atonement (2007)
Joe Wright/ James McAvoy, Keira Knightley, Saoirse Ronan
Pertama nonton di: DVD (pinjaman teman)
Dari looknya saja film ini memang sangat mengundang, sinematografi artistik dan berwarna menjadi keindahan yang paling mudah diingat dari film ini (terutama pada babak pertama). Namun tak hanya itu, film ini adalah sebuah drama tragedi cinta yang diceritakan dengan keren dari berbagai sisi. Kemasan dinamis dari naskah, penuturan, sinematografi (keren banget), art direction, editing, musik dan aktingnya seakan menyamarkan kecemasan dan kegetiran para karakter di dalamnya, walaupun tetep terasa emosional tanpa harus cegeng atau lebih-dari-puncak (over-the-top maksudnya =P). Dan meskipun bernuansa zaman dahulu, Joe Wright menyajikan film ini dalam ritme yang lincah, tidak berlama-lama berkutat pada hal yang itu-itu saja atau sekadar pamer superioritas teknik membuat film. Gaya tersebut membuat Atonement menjadi film drama yang agak berbeda, alih-alih menye-menye atau sok berkelas, film jadi ini tetap artistik, modern dan cool abis. Terdiri atas 4 babak yang disekat dengan asik, film ini ditata dengan anggun, artistik dan efektif pada tiap adegan, entah itu yang nyata, kenangan, maupun yang mengandung halusinasi. Not just your usual period drama. Review


23. Letters from Iwo Jima (2006)
Clint Eastwood/Ken Watanabe, Kazunari Ninomiya, Ryo Kase
Pertama nonton di: DVD
Film ini dibuat sebagai pelengkap kisah pertempuran pulau Iwo Jima pada perang pasifik 1940-an dari sisi Jepang, setelah sisi Amerikanya, Flag of Our Fathers, dirilis beberapa bulan sebelumnya. Meski statusnya demikian, Letters from Iwo Jima bukanlah film sembarang saja. Dengan mengangkat kisah seorang Jenderal yang agak berbeda gaya kepemimpinannya dengan tentara Jepang kebanyakan, dan seorang prajurit yang ogah-ogahan dalam berperang, film ini mengalirkan sisi kemanusiaan yang sangat menggugah. Bahkan, Mbah Eastwood dengan sangat tepat (atau setidaknya gw setuju) dalam menangkap dan mengungkapkan esensi watak bangsa Jepang yang antara mengagumkan dan menyedihkan sekali: apa yang mereka lakukan dan katakan tidaklah selalu yang benar-benar mereka inginkan dan rasakan. Takut, enggan, berontak, dan kerinduan untuk pulang kembali kepada keluarga bukannya jarang terbesit dalam benak mereka yang sedang berperang—yang kebanyakan rakyat biasa yang dicatut jadi tentara, tetapi itu harus bertabrakan dengan nilai-nilai yang telanjur tertanam begitu dalam, bahwa mereka seharusnya bangga kalau mati sebagai bentuk bakti negara (bagaimanapun caranya, bahkan tanpa alasan jelas sekalipun) dan seharusnya malu kalau masih hidup dalam kekalahan. They do things they think that they have to do even if it against their own will, bahkan tanpa disuruh sekalipun. Sebuah sisi humanis yang dikorek dengan luar biasa, melawan stereotipe berbau propaganda sepihak yang dikemas dalam kisah yang menyentuh dan eksekusi yang sangat rapi.


22. 21 Grams (2003)
Alejandro González Iñárritu/Sean Penn, Naomi Watts, Benicio del Toro
Pertama nonton di: VCD sewaan
Tragedi dapat menghancurkan manusia. Mungkin itulah yang coba digambarkan dalam 21 Grams ini. Sebuah kejadian naas yang menghubungkan 3 manusia, dan kehidupan ketiganya semakin merosot karenanya. Kalau dipikir-pikir film ini melodramatis dan depresif sekali, namun kreativitas pembuat filmnya sukses membuatnya menjadi tontonan berkesan dan keren. Mulai dari bentuk kehancuran masing-masing karakter yang diracik sedemikian rupa lengkap dengan emosi yang nyata, hingga dari penuturannya yang acak kayak VCD rusak yang diputar di player yang kepanasan (gambarnya lompat-lompat bolak balik)—bisa jadi ini cara agar filmnya nggak berjalan standar, biar penonton terus “bangun” karena harus memacu otak dalam menyusun kesinambungan adegan yang ditampilkan tak berurut, but what do I know. Sebuah film yang memunculkan sisi gelap manusia akibat tertuduh oleh kedukaan dan rasa bersalah dari diri sendiri, namun juga memunculkan secercah harapan, hidup manusia terlalu singkat untuk diisi dengan penghancuran diri *serius amad*.


21. Closer (2004)
Mike Nichols/Julia Roberts, Jude Law, Natalie Portman
Pertama nonton di: bioskop (Bangkok)
Closer adalah opera sabun mini yang dihiasi dialog-dialog “cakep” serta akting kelas kakap yang tepat sasaran. Apa sih inti film ini? Entahlah. Yang jelas proses saling mengikat dan saling menikam perasaan antar 4 orang tokoh utama ini dibuat anggun dan sangat memikat untuk ditonton. Tidak ada protagonis-antagonis, semua sama-sama baik, dan sama-sama brengsek. Kekuatan verbal benar-benar dimaksimalkan, tak perlu adegan-adegan penjelas, hanya butuh diselipkan dalam dialog baik dari penanda waktu sampai petunjuk akan apa yang telah mereka lakukan di dalam jarak waktu antar adegan itu—gw menghitung bahwa film ini hanya terdiri dari belasan adegan saja yang agak lompat jauh waktunya, namun gw dibuat sanggup untuk paham segala situasi yang ada dalam filmnya. Film ini cakep meskipun secara penggarapan terlihat sederhana, cakep udah dari sononya, yaitu dari segi rancangan kata lewat naskah yang diadaptasi dari drama panggung ini. Melodrama bermulut kotor yang mampu mencengkeram emosi meski hanya dari obrolan-obrolan beberapa orang. Can’t take my mind off it =).


20. Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004)
Michel Gondry/Jim Carrey, Kate Winslet, Tom Wilkinson
Pertama nonton di: bioskop
Ada sebuah ide yang gw temukan sangat menarik dari film ini, melebihi menariknya konsep dasar ceritanya yang menggabungkan romansa dan fiksi-ilmiah, melebihi jeniusnya naskah karya Charlie Kaufman yang dirancang dengan menakjubkan, melebihi ajaibnya penggarapan visual yang ditata Michel Gondry yang mengasyikkan, melebihi pula kekuatan akting, terutama Kate Winslet dan Jim Carrey yang sangat meyakinkan. Bahwa kita mungkin bisa memanipulasi pikiran kita, namun—mau bagaimanapun—tidak demikian dengan hati. Eternal Sunshine of the Spotless Mind adalah film luar biasa, yang tidak membuat keganjilan bercerita menjadi tembok pemisah antara film dengan penontonnya, malahan merasuk begitu dalam. Brilliance with a heart, enough said.


19. Fa Yeung Nin Wa (花樣年華) a.k.a. In the Mood for Love (2000)
Wong Kar Wai/Tony Leung, Maggie Cheung, Rebecca Pan
Pertama nonton di: unduhan bajakan
Dilihat sekilas, film berseting Hong Kong 1960-an ini kayak centil banget dalam menampilkan teknik dan style, entah dari sinematografinya (yang harus diakui sangat bagus), editing, tata artistik dan kostum, maupun dari ritmenya yang naik turun, kadang cepet banget, kadang malah ada slow motion. Sok cihuy banget deh. Namun, In the Mood for Love adalah salah satu contoh ketika sebuah penceritaan yang tidak utuh, bila ditangani dengan tepat, akan menimbulkan pesona kecantikan yang merekah. Tidak ada penjelasan komplet, banyak adegan yang seperti terlongkap dan dipotong seenak jidat sutradaranya, namun penonton tahu jelas apa yang terjadi antara tokoh perempuan istri orang dan lelaki suami orang yang nyewa kamar di rumah yang bersebelahan itu, dan tahu juga perasaan mereka masing-masing. Juara kelasnya adalah akting effortless dari Maggie Cheung dan Tony Leung, hanya dari tatapan dan gestur mereka, kita tahu, tanpa perlu dikasih tahu. The film teases us so often. Namun justru itulah yang membuat film ini unik dan manis.


18. Revolutionary Road (2008)
Sam Mendes/Leonardo DiCaprio, Kate Winslet, Michael Shannon
Pertama nonton di: DVD
Menonton Revolutionary Road itu layaknya ditampar, ditoyor, ditusuk lalu diuwel-uwel. Betapa gw yang seorang pekerja galau paham betul apa yang dirasakan tokoh suami istri Wheeler di sini yang capek main rumah-rumahan, atau yang lebih dikenal bagi sebagian besar orang dengan istilah “hidup mapan”. Sure, pasti banyak yang akan menuduh bahwa mereka adalah tipe yang tidak bersyukur akan apa yang ada. Wong udah hidup enak kok masih nggak seneng. Terserah sih, "enak" 'kan kata orang, tetapi hati nggak bisa dibohongi. Mencoba menikmati apa yang ada, dari pindah rumah sampai punya 2 anak dalam rangka memenuhi ilusi keluarga kecil sejahtera nyatanya tidak berefek pada ketenteraman sejati dalam diri mereka. Absennya ketenteraman inilah yang memicu berbagai konflik yang malah membuat kehidupan mereka semakin runyam dan tertekan, ditambah lagi tiadanya kesepahaman. Apalah artinya mendapatkan uang banyak dan posisi tinggi kalau kalau hal yang paling krusial tidak dimiliki: kebahagiaan. Ini film berseting Amerika 1950-an, namun permasalahan yang ditampilkan sungguh timeless. They wanted more than just to survive, they wanted to live. Aren’t we all? Kepiawaian naskah dan penyutradaraannya dengan sukses mengentalkan ide itu dalam bentuk sajian sinema yang cantik sekaligus bikin gelisah, ditambah lagi performa Kate Winslet dan Leonardo DiCaprio yang menggetarkan, pantaslah film ini masuk dalam jajaran drama terbaik dekade lalu, termasuk juga salah satu film paling mengena buat gw secara pribadi. Siaul. Review


17. The Bourne Ultimatum (2007)
Paul Greengrass/Matt Damon, Joan Allen, David Strathairn
Pertama nonton di: bioskop
Gw nggak nyangka bahwa film ini bakal menjadi episode petualangan si agen lupa ingatan, Jason Bourne yang paling awesome. Waw. Ketika nonton The Bourne Identity (2002) di VCD sewaan dulu, gw nggak membayangkan sekuelnya akan sampai pada level The Bourne Ultimatum ini. Sangat sangat intens dan tegang memacu adrenalin dari awal hingga akhirnya dalam ritme yang sangat luar biasa exciting. Film ini menaikkan bobot tema kejar-kejaran yang selama ini menjadi konsep dasarnya, dengan cara melontarkan aksi-aksi maksimal dan tetap terasa realistis. Dan sebagai nilai plus, intrik internal dari pihak-pihak yang memburu Bourne (C.I.A.) pun ditata sama ciamiknya dengan pelarian Bourne untuk memnyingkap jati diri yang sebenarnya di lapangan. Memang film ini masih terkait dengan seri sebelumnya, terutama The Bourne Supremacy (2004), sehingga ada beberapa bagian yang hanya bisa dilengkapi jika menonton 2 film terdahulu tersebut. Meski demikian, Ultimatum secara mandiri akan selalu menjadi seri yang paling diingat, sebagai film dengan bobot aksi dan plot yang mumpuni dan keren melebihi film-film serupa. It's the new standard. Saking terpukaunya bahkan gw nggak sempat untuk mendebat implausibilitasnya ataupun mengeluh pada the infamous kocokan kameranya =).


16. The New World (2005)
Terrence Malick/Colin Farrell, Q’orianka Kilcher, Christian Bale
Pertama nonton di: unduhan bajakan
One of the most beautiful films I’ve ever seen. Bukan hanya gambar-gambarnya yang subhanallah cantiknya menggambarkan “dunia baru” yang indah nan permai dan belum tunduk pada kuasa manusia atas nama peradaban, namun juga caranya bercerita. Dituturkan bagai air mengalir, memangkas proses peristiwa yang berkesinambungan dengan hanya menyisakan potongan-potongan gambar layaknya slideshow memori, dialog hanyalah aksesori, selebihnya ekspresi tubuh yang banyak berbicara. Begitu membuai dan seakan pelan-pelan mempenetrasi otak hingga gw nggak bisa gitu aja melupakan pernah nonton film ini. Sebagai penonton yang nggak terlalu familiar sama gayanya Terrence Malick, menyaksikan The New World adalah pengalaman yang sangat menarik dan membekas buat gw. Caranya menceritakan ulang kisah Pocahontas begitu berbeda dari film-film drama sejarah yang selama ini gw tonton. Cakepnya lagi, film ini tidak hanya berhenti pada riwayat Pocahontas saja, tetapi juga melukiskan sebuah pemikiran bahwa, melalui pertemuan dan persinggungan dua kelompok manusia dengan kebudayaan masing-masing, sesungguhnya “dunia baru” itu tergantung dari sudut pandang, dan sudut pandang manapun akan melihat “dunia baru” itu mengagumkan, just like the film itself. Review


15. Y Tu Mamá También (2001)
Alfonso Cuarón/Gael García Bernal, Diego Luna, Maribel Verdú
Pertama nonton di: DVD screening (Bentara Budaya Jakarta)
Y Tu Mamá También merupakan film komedi road trip asal Meksiko berbumbu erotisme, dan tak jarang bagian erotismenya itu yang paling diingat. Maksud gw, menampilkan adegan-adegan persenggamaan real time tanpa cut dan aktor-aktornya jelas terlihat sama-sama telanjang, gimana nggak bikin nyebut coba =D. Akan tetapi dibalik kesemibokepannya, film ini begitu cemerlang dalam bercerita dengan nuansa realistis yang kental petualangan sepasang sahabat remaja tengil bersama seorang wanita mature yang habis ditimpa hal-hal yang bikin frustrasi. Yang dua cowok bermotivasi kepenasaranan, yang satu wanita bermotivasi pelampiasan. Diisi dengan dialog dan narasi yang sangat kaya dan well-structured, aktor-aktor yang berperforma total (somewhat figuratively), dibalut lagi oleh eksekusi menakjubkan dari Alfonso Cuarón yang sering menampilkan long take dengan brilian bikin gregetan, film ini keluar sebagai tontonan yang unggul di semua aspeknya. Menghibur dengan caranya sendiri, serta penggarapannya yang artistik dengan caranya sendiri pula. Review


14. Gosford Park (2001)
Robert Altman/Maggie Smith, Kelly Macdonald, Hellen Mirren
Pertama nonton di: VCD sewaan
Gosford Park otomatis sering gw tonton ulang, bukan saja karena gw ingin, tetapi film ini memang harus ditonton berulang kali. Entah ada berapa puluh karakter yang ambil bagian dan tampil (bukan cuman numpang lewat) dalam kisah sebuah rangkaian acara akhir pekan sebuah puri di Inggris 1930-an ini. Para majikan—rata-rata kalangan bangsawan—dengan segala keangkuhannya, para pelayan dengan segala dedikasinya, terhubung secara kompleks dalam intrik-intrik dan berbagai kepentingan, setiap karakter pasti ada ceritanya masing-masing. Poin brilian di sini adalah Robert Altman dengan “kurang ajar” melebur semuanya ini sekaligus dengan porsi yang seimbang, semua pasti kebagian. Menonton satu kali saja kayaknya nggak cukup untuk memahami kenapa si anu begini atau si itu begitu dan seterusnya, tapi bukannya karena tidak ditunjukkan, justru sudah ada di sana, hanya saja mungkin ada yang kayak gw *nyari temen* yang akan kagok kalo dijejelin kisah jamak berkait tanpa pemisah yang jelas seperti ini. But worry not, menonton ulang amatlah membantu, buktinya gw semakin kagum akan kepiawaian naskah, pengarahan, hingga ensemble aktingnya setiap kali menontonnya, dan semakin “ooh...gitu toh” pada bagian-bagian yang sebelumnya gw ketinggalan. Dan untungnya lagi, film ini dibawakan santai dan cukup jenaka juga, selalu enjoyable. Review


13. WALL•E (2008)
Andrew Stanton/Ben Burtt, Elissa Knight, Jeff Garlin
Pertama nonton di: bioskop
Tentu saja gw harus memasukkannya dalam daftar ini. This is an amazing film. WALL•E sejauh ini bisa jadi salah satu puncak prestasi studio animasi Pixar. Konsep, gambar dan animasinya sangat kompleks dan detil namun bisa mudah dipahami tanpa perlu penjelasan bertele-tele. Bahkan, kisah utamanya tidak perlu dialog aktif, tak lain tak bukan adalah love story dua robot WALL•E dan EVE yang sangat kocak, manis dan unbelievably romantic. Kita baru dihadapkan pada dialog aktif ketika bertemu manusia, which is 40-an menit setelah film mulai. Gimana nggak sinting, gw masih survive pada hampir separuh awal yang hanya mengandalkan gerak-gerak tokoh robot dan beberapa patah kata, dan tidak mengendur pada paruh kedua yang diisi dengan keseruan-keseruan yang asyik di dalam pesawat luar angkasa. Memang sih film ini agak terlalu dewasa dan berat pada bagian latar belakangnya yang menggugat konsumerisme modern dan perlakuan manusia terhadap bumi (ya ampyun serius amat sih ya =P), namun bukan berarti film ini tidak menghibur, justru film ini dikemas dengan sangat menghibur, ritme pas, karakterisasi handal, dan menyentuh hati. Suka banget adegan “ciuman”nya =D.


12. The Pianist (2002)
Roman Polanski/Adrien Brody, Thomas Kretschman, Emilia Fox
Pertama nonton di: VCD sewaan
Segala definisi "film bagus" secara umum ada di film ini. Bermodalkan jalan cerita yang kuat dan menyentuh, pengarahan yang rada old fashioned bercitarasa tinggi, dan akting yang luar biasa, layaklah The Pianist didapuk sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat pada dekade 2000-an lalu (indikasinya, jarang-jarang sebuah film dapet penghargaan penting di dua perhelatan film terbesar, festival Cannes dan Oscar, ya toh?), dan gw pun sepakat. Biografi pianis Yahudi-Polandia, Władysław Szpilman yang lolos dari ancaman kamp konsentrasi Nazi dan selamat dari perang dunia II meski berada di tengah-tengah medan perang ini dibangun dengan struktur yang mungkin tidak terdengar istimewa. Dituturkan dengan lurus mengikuti perjalanan keluarga Szpilman dari awal negerinya diserang pihak Jerman, di"ungsi"kan ke lokalisasi tertutup, kehidupan tak pasti selama di dalam sana, hingga akhirnya sang pianis ini berhasil kabur, kemudian bersembunyi sendiri di ruang tertutup dalam waktu saaangat lama berkat pertolongan sahabat-sahabatnya yang justru non-Yahudi. Namun setiap pengalaman dan peristiwa yang ditampilkan sungguhlah menggugah, dirangkai satu persatu dengan cukup detil dan lugas juga sopan. Tidak ada satu pun adegan yang tidak powerful di sini, dirancang dengan sangat baik dan artistik, semakin bergulir semakin memberikan depth yang berarti. A fine filmmaking. Kisah survival yang kadang bikin miris dan turut menimbulkan rasa frustrasi, sekaligus kagum akan ketabahan dan keteguhan (serta keberuntungan) seseorang yang bisa bertahan berkat satu-satunya harta yang tersisa padanya: talenta.


11. Munich (2005)
Steven Spielberg/Eric Bana, Geoffrey Rush, Daniel Craig
Pertama nonton di: VCD sewaan
Film ini panjang namun memaku perhatian gw hingga usai, seakan mementalkan keraguan yang sempat terbesit—di pikiran gw setidaknya—akibat proses produksinya yang kilat (untuk ukuran film berseting 1970-an dan syuting di rupa-rupa negara lho ya). Keren, banget. Temanya cukup kontroversial, tentang agen-agen Mossad yang direkut untuk operasi hitam menghabisi para dalang penyanderaan dan pembantaian kontingen atlet Israel di Olimpiade Munich 1972. Ditata dengan superb dari berbagai sisi: naskah, tata artistik, sinematografi, editing, pengarahan adegan (banyak long take keren) dan lainnya, film ini sekali lagi membuktikan kualitas seorang Steven Spielberg, tak hanya mampu membuat film-film "menyenangkan", ia juga lebih dari sanggup bikin film "berisi" yang kualitasnya bertanggungjawab, bahkan dalam tekanan deadline mepet sekalipun. Merajutkan drama manusia, drama politik, thriller dan aksi spionase ala Mission: Impossible (tentu saja minus kecanggihan-kecanggihan nghayal, mengingat film ini (mungkin) berdasarkan kisah nyata), Munich adalah film yang terus memunculkan ketegangan mumpuni, sekaligus memunculkan pemikiran-pemikiran yang akan sulit dijawab oleh siapa saja yang masih terjebak pada keberpihakan, termasuk pihak dimana Avner dan kawan-kawan bernaung: aksi terorisme dan kontra-terorisme kok secara teknis sama saja ya? Kapan selesainya kalo gitu caranya? Salah satu karya highlight seorang Spielberg, IMO. Rapid review



get ready for the top 10
bersambung ...

sebelumnya:
Foreword
Part 1: no. 100-76
Part 2: no. 75-51
Part 3: no. 50-26

selanjutnya:
Part 5: no. 10-1

Komentar

Posting Komentar