My Top 100 Films of the 2000's: Part 2 (no. 75-51)

Hai hai, maaf kalau agak lama. Melanjutkan daftar 100 film dekade 2000-2009 paing top versi gw, berikut akan gw gelar 25 film selanjutnya, dari posisi 75 hingga 51, sebelum nantinya kita masuk ke 50 besar. Film apa sajakah itu, mangga atuh diklik read more nya =):




75. Janji Joni (2005)
Joko Anwar/Nicholas Saputra, Mariana Renata, Rachel Maryam
Pertama nonton di: bioskop
Di era menggeliatnya film-film nasional awal dekade 2000-an ini, Janji Joni bisa dibilang film Indonesia yang paling menghibur buat gw, ada perasaan puas dan senang seusai menontonnya. Bukan film yang "bagus banget" memang—setelah ditonton lagi dialognya cerewet juga ya ^_^;, namun dengan ide cerita yang segar dan visual vintage nan cute (se-cute senyumnya Mariana Renata *blush*), film ini membuat gw masih yakin bahwa sektor film Indonesia bisa maju.


74. A Beautiful Mind (2001)
Ron Howard/Russell Crowe, Jennifer Connelly, Paul Bettany
Pertama nonton di: bioskop
Sebuah drama biopik yang dikemas dengan lembut dan dihiasi akting mumpuni dari Russell Crowe (yang menurut gw seharusnya dia dapat piala Oscar untuk film ini, bukan Gladikotor-ator itu). A Beautiful Mind digelar tidak dengan menuturkan tentang riwayat seseorang semata, tetapi dengan pandai diikat dalam permasalahan penyakit schizophrenia yang dialami profesor matematika John Nash yang mempengaruhi kehidupannya, keluarga dan lingkungannya, dengan cara penyampaian yang sophisticated.


73. Shrek (2001)
Andrew Adamson, Vicky Jenson/Mike Myers, Eddie Murphy, Cameron Diaz
Pertama nonton di: bioskop
Dapat dipastikan bahwa Shrek ini meminjam—atau memparodikan, lebih tepatnya—tokoh -tokoh, dunia dan logika dongeng demi menceritakan kisah komedi romantis antara si cantik dan si hoeek rupa. Gw terhibur banget dulu waktu nonton pertama ketika masih ABG, bahkan sampe ngakak, eh ternyata sesudah *ehem* dewasa sekarang masih tetap bisa tertawa setelah tahu banyak sekali selipan-selipan humor dewasanya (yang tersamar bagi anak-anak di bawah umur apalagi yang tidak berbahasa Inggris). Tidak ada yang istimewa dari segi gambar animasinya, apalagi bila dilihat lagi sekarang, namun film ini akan tetap diingat sebagai film animasi yang segar dan brilian dalam bercerita.


72. Watchmen (2009)
Zack Snyder/Jackie Earle Haley, Jeffrey Dean Morgan, Billy Crudup
Pertama nonton di: bioskop
Watchmen ini menang di style. Bukan dalam arti buruk, karena style-nya yang mencolok namun kelam itu berhasil membuahkan tontonan (yang maunya) mirip komik yang apik dan selaras akan kekelaman kisahnya. Film ini "penuh" dengan berbagai lapis cerita, namun pembagian porsi karakter, latar belakang, juga plot utamanya terjalin mulus membuat gw menikmati begitu saja adegan demi adegan yang ditampilkan film adaptasi komik ini, bahkan sampai mengesampingkan segi akting yang so-so (kecuali Jackie Earle Haley yang keren), alur yang slow—dan banyak slow-motion ^_^;—dan lemahnya sinyal emosi. Sebuah pengalaman menonton yang mengasyikan meski bobot kisahnya sendiri agak terlalu berat. Review.


71. Black Hawk Down (2001)
Ridley Scott/Josh Hartnett, Ewan McGregor, Tom Sizemore
Pertama nonton di: VCD sewaan
Ada pesona tersendiri dari film ini. Look-nya benar-benar keren terima kasih kepada departemen sinematografi dan editing, serta tentu saja tata suara. Ada kesan ikut-ikutan Saving Private Ryan dalam soal aksi seseruan medan peperangan, tetapi Black Hawk Down bukan dibangun atas dasar melankoli, dia adalah film dengan statement, film yang seru tapi menyakitkan. Sebuah misi "menegakkan perdamaian" Somalia (yea rite) yang harusnya sederhana ternyata gone wrong menjadi sebuah kekacauan, ketakutan, serta korban jiwa yang di luar perhitungan. Dengan segala usaha, darah dan keringat yang tertumpah, toh kemenangan secuil pun tidak tergapai, sampai detik ini. Sia-sia.


70. The Imaginarium of Doctor Parnassus (2009)
Terry Gilliam/Christopher Plummer, Heath Ledger, Lily Cole
Pertama nonton di: bioskop
Gw akui film ini aneh, hanya saja sutradara Terry Gilliam lewat Imaginarium punya daya magnet tersendiri dalam desain artistik dan tata adegannya. Gw terpesona oleh simbol-simbol yang ditampilkan dalam gambar-gambar keren, imajinatif dan seru—cenderung gila malah, terhibur dengan humor-humor yang tersemat dalam interaksi tokohnya, dan respek terhadap akting para aktor yang tak memalukan sama sekali. Film dengan konsep nyentrik tetapi terlihat santai-santai saja dalam eksekusinya, padahal mengakali porsi peran yang dimainkan mendiang Heath Ledger yang belum selesai dan digantikan Johnny Depp, Jude Law dan Colin Farrell sekaligus pasti pusingnya bukan main. But it’s just worked. Review.


69. Gran Torino (2008)
Clint Eastwood/Clint Eastwood, Bee Vang, Christopher Carley
Pertama nonton di: VCD sewaan
Film ini adalah penanda kualatnya gw sama mbah Eastwood sebagai sutradara. Gw yang gak ada suka-sukanya sama Mystic River lebih lagi Million Dollar Baby, dengan kesadaran penuh harus mengakui bahwa film anu (nanti akan terungkap) dan Gran Torino ini film adalah yang bagus dan gw sukai, dan semenjak itu gw jadi menantikan karya-karya si mbah selanjutnya. Gran Torino agak terkesan sunyi dan lusuh, tetapi menyimpan drama kemanusiaan yang menyentuh dan kuat tentang interaksi antar etnis dan generasi. Meski terbilang lempeng secara alur, film ini terus mengikat perhatian gw ke layar dan menantikan nasib dari tokoh-tokohnya yang simpatik. Review.


68. I, Robot (2004)
Alex Proyas/Will Smith, Alan Tudyk, Bridget Moynahan
Pertama nonton di: VCD sewaan
Tidak boleh tertipu sama kerapihan detil dunia futuristik, serunya aksi dan silaunya efek visual film ini. I, Robot tampil sebagai film hiburan cool yang juga berbobot, terutama ketika gw menemukan ada metafora filsafat dan religi di dalamnya—nampaknya Alex Proyas senang dengan hal-hal seperti ini, untungnya disampaikan tidak terlalu membebani penonton (nice). Ritme yang ditampilkan mantap menimbulkan ketegangan yang konsisten, sinematografi yang kinclong, akting yang luwes (kecuali setelan muka Bridget Moynahan =P), film ini punya punya segala syarat untuk menjadi salah satu di jajaran film sci-fi action Hollywood terbaik dekade lalu. Benar sekali, film terbaik yang mempertemukan kumpulan robot dengan Shia LaBeouf adalah film ini, bukan yang lain.


67. Avatar (2009)
James Cameron/Sam Worthington, Zoe Saldana, Sigourney Weaver
Pertama nonton di: bioskop
Avatar punya hampir segalanya: efek visual tingkat maksimal, desain yang apik, kecanggihan sinema yang paling pol dan bijak penggunaannya, kisah yang mudah diikuti, aksi yang seru, dan status sebagai film dengan pendapatan kotor tertinggi di dunia—tentu saja karena tiket 3-Dimensi lebih mahal =P. Jika ada kekurangannya, itu terletak pada jalan cerita dan konflik yang terlalu pengulangan dari film-film kebanyakan. Namun, Avatar tetaplah sebuah tontonan yang layak ditonton bagaimanapun juga, pun teknologi visualnya masih belum tertandingi dan masih menyisakan decak kagum. Review.


66. El Laberinto del Fauno a.k.a. Pan’s Labyrinth (2006)
Guillermo del Toro/Ivana Baquero, Maribel Verdú, Sergi López
Pertama nonton di: bioskop
Sungguh aneh, kalo dipikir-pikir, dua sisi film Pan's Labyrinth bisa gw nikmati masing-masing. Ada drama cenderung thriller tentang pemberontakan terhadap tentara fasis yang ditegaskan dengan adegan-adegan berdarah, dan ada fantasi seorang gadis kecil yang katanya adalah seorang putri dunia "lain" yang harus menjalankan pelbagai misi agar bisa pulang kembali ke dunianya. Seperti terpisah-pisah, namun pada akhirnya semua menyatu...eh, bersandingan deing, karena masing-masing sisi, gelap dan terang hadir secara simultan. Hingga saat ini gw juga nggak yakin apakah bagian fantasinya hanya khayalan semata atau memang beneran, namun itulah indahnya film ini, ketika dunia dongeng yang serba heran ditabrakkan dengan dunia nyata yang serba kejam. 


65. There Will Be Blood (2007)
Paul Thomas Anderson/Daniel Day-Lewis, Paul Dano, Ciarán Hinds
Pertama nonton di: DVD
Gw menangkap film ini sebagai film tentang ambisi. Menariknya, bukan soal ambisi yang membabi buta, melainkan dimainkan dengan terstruktur dan mulus dari karakter-karakternya, Daniel Plainview si pengebor minyak bumi dan Eli Sunday si pemimpin spiritual karismatik. Mungkin desa kecil yang ternyata kaya minyak itu terlalu kecil bagi ambisi mereka berdua *ciailah*. Diperkuat oleh penceritaan lamban tapi jelas, akting juara, serta tata adegan dan sinematografi yang apik menjadikan There Will Be Blood film drama murung yang cukup disturbing dan patut disimak lebih seksama. Review.


64. Brokeback Mountain (2005)
Ang Lee/Heath Ledger, Jake Gyllenhaal, Michelle Williams
Pertama nonton di: unduhan bajakan
Tema romansa koboi homoseksual membuat Brokeback Mountain jadi semacam icon, yang membuatnya dipuji atau justru dijauhi. Akan tetapi bila tidak terlalu mempermasalahkan isu itu, film ini adalah contoh drama sendu yang rapi dan berhasil dalam membawakan kisahnya yang melankolis. Salah satu sebabnya adalah bagaimana film ini menempatkan isu homoseksualitas itu tidak hanya asik di dunianya sendiri, melainkan memberi pengaruh besar pada seluruh kehidupan dan lingkungan sekitar tokoh-tokoh utamanya. Para aktornya yang muda (pada waktu itu) berhasil unjuk gigi dalam perannya, melengkapi unjuk kepiawaian Ang Lee menyajikan rangkaian adegan yang subtil namun mencengkeram kuat.


63. (500) Days of Summer (2009)
Marc Webb/Joseph Gordon-Levitt, Zooey Deschanel, Chloë Moretz
Pertama nonton di: bioskop (JIFFest)
Jatuh cinta putus cinta, senang hati sakit hati, manis pahit, tawa amarah. Itulah kira-kira gambaran hubungan asmara Tom si cowok biasa-biasa dengan Summer si cewek yang tampak biasa tapi empunya berjuta pesona. Dengan penceritaan yang random, 500 Days adalah film tentang riwayat cinta Tom dan Summer, mulai dari awal hingga akhirnya, walaupun dalam filmnya tidak berurutan seperti itu, dan itulah yang membuatnya unik. Film ini biasa, biasa banget, entah tokoh maupun ceritanya, tetapi mari kita ganti kata 'biasa' menjadi 'wajar'. Bagusnya, Marc Webb dan penulis naskahnya membuat segala hal yang wajar itu dalam bentuk yang berbeda, menjadi sajian yang menyenangkan dan pop sekaligus bikin geregetan. Review.


62. Master and Commander: The Far Side of the World (2003)
Peter Weir/Russell Crowe, Paul Bettany, James D'Arcy
Pertama nonton di: bioskop
Terus terang Master and Commander bukanlah jenis film yang "menarik". Kering banget nih film, laki semua isinya. Dan unlike its Johnny Depp's counterpart released in the same year, film ini lebih mendekat pada realita, yang langsung membuat orang-orang berpikir, dan gw pikir, akan membosankan. Namun demikian film ini adalah termasuk jenis yang akan membuat penontonnya duduk dan terus memperhatikan serta mengikuti apa yang terjadi di layar. Drama kru kapal angkatan laut Inggris yang hidup dekil dan peliket berdesak-desakan namun patuh pada kharisma si kapten kapal ini memuat apa yang baik untuk ditampilkan dalam sebuah kisah petualangan samudera: karakterisasi yang kuat dan manusiawi, penggambaran riil suasana kapal perang abad ke-19 (gimana perbaikin kapal, operasi orang dsb) hingga strategi-strategi perang nan keren, tata artistik dan sinematografi apik, pengarahan jempolan, dan ternyata eh ternyata adegan-adegan perang yang seru meski tidaklah mendominasi durasi.


61. About A Boy (2002)
Chris Weitz, Paul Weitz/Hugh Grant, Nicholas Hoult, Toni Collette
Pertama nonton di: bioskop
About a boy, which boy? Ada pria dewasa yang telanjur hidup enak sehingga tak pernah terpikir untuk mapan entah itu dalam “bekerja” atau asmara, ada anak cowok SMP yang sering dikerjain di sekolah dan hidup bareng ibu hippie yang suicidal sehingga berpikir “sok gede” menjadi pelariannya, bertemu dalam rangkaian kejadian geblek tapi natural. Kekuatan film ini terletak pada pembawaan santai dan tidak mengada-ada, terutama dari Hugh Grant dan Nicholas Hoult—yang masih kecil, dan naskah yang cerdas dan kocak,  mungkin dari sumber bukunya sudah demikian, tapi setidaknya film ini mereka ulang dengan pantas dan sangat menghibur. Didukung akting fine dan musik keren, film ini begitu hangat di tengah seting London menjelang musim dinginnya. Kasihan itu bebek.


60. Crash (2005)
Paul Haggis/Sandra Bullock, Don Cheadle, Matt Dillon
Pertama nonton di: bioskop
Crash hanyalah ingin meng-highlight isu prasangka antarras dari berbagai sisi, tidak ada cerita utamanya, tokoh utama pun tidak ada. Paul Haggis ingin memeriksa kemanusiaan—termasuk relevan untuk gw dan bangsa gw—yang masih sering terkungkung pada pola pikir bedasarkan prasangka dan keberpihakan. Bagi sebagian orang film ini memang terlihat mengkhotbahi (meskipun menurut gw dialog-dialognya tidaklah mengada-ada, in real life people actually say those things), apalagi yang sering ditunjukkan hanya bersitegang antar tokoh, tensi banget deh. Namun, yang gw suka dari film ini adalah, tidak hanya tokoh-tokoh di dalamnya yang diuji tentang prasangka, tetapi penonton juga. Apa yang kita nilai di awal belum tentu mewakili keseluruhannya.


59. Babel (2006)
Alejandro González Iñárritu/Brad Pitt, Cate Blanchett, Koji Yakusho
Pertama nonton di: bioskop
Film ini bukan tentang pengaruh sebuah kejadian terhadap orang-orang yang berkaitan secara terpisah. Walau masih dengan nuansa melodramatis depresi nan galau, dan berisi kisah berbagai tokoh secara terpisah dengan plot yang tidak urut, Alejandro González Iñárritu menjadikan film ini bukan merupakan pengulangan dari film-filmnya sebelum ini, dengan cara yang mungkin tak mudah dimengerti. 4 plot di 4 tempat berbeda yang terpisah jauh bukan karena iseng, namun mengungkapkan ke-universal-an temanya yang dapat terjadi di berbagai belahan bumi manapun: salah paham. Kesalahpahaman tak hanya berpangkal pada perbedaan bahasa atau perbedaan budaya, bahkan dalam satu keluarga yang cuma terdiri dari 2 orang pun bisa demikian, dan ya, kesalahpahaman memang berbahaya dalam segala skala kehidupan manusia, termasuk antara pembuat film dan penonton =D. Hence, “Babel”.


58. Changeling (2008)
Clint Eastwood/Angelina Jolie, John Malkovich, Jeffrey Donovan
Pertama nonton di: DVD
Sepengetahuan gw, jarang banget film karya si mbah Eastwood yang happy ending, palingan Invictus. Changeling menjadi spesimen film-film sendu ala si mbah, kali ini dengan nilai jual penampilan prima Angelina Jolie. Dengan kisah (nyata) ibu yang kehilangan anak lalu dipaksa—dengan berbagai cara—untuk mengakui seorang anak temuan polisi adalah anaknya demi pencitraan institusi kepolisian yang korup, film ini bisa jatuh ke jebakan penceritaan over-dramatis-depresif berisi orang marah-marah melulu terus nangis. Sebaliknya, alurnya lembut, believable, serta perlahan mengiris-iris di saat-saat yang diperlukan. Efeknya sampe juga tuh, tetep simpati sama tokohnya (sepertinya si mbah emang jagonya membuat penonton care sama tokoh film-filmnya), tetep memilukan, namun diimbangi optimisme yang tidak mengada-ada. 


57. The Aviator (2004)
Martin Scorcese/Leonardo DiCaprio, Cate Blanchett, Kate Beckinsale
Pertama nonton di: bioskop (Bangkok)
Berfokus pada 3 hal besar dalam hidup pengusaha dan juga sutradara/produser film Hollywood ternama, Howard Hughes: penyakit kejiwaannya (OCD, fobia kuman, gelisah akut), wanita, dan passion utamanya di bidang pesawat-pesawatan, The Aviator hadir sebagai kisah biopik yang sebenarnya standar naskahnya, tetapi menjadi istimewa dengan sentuhan antik dan apik dari Martin Scorcese yang terkenal—atau perasaan gw aja sih—sangat perhatian dalam merancang setiap adegan di film-filmnya sampai ke detil-detilnya sehingga punya “momen” masing-masing. Jika film biopik tokoh terkemuka harus bercerita tentang pencapaian, maka melalui rangkaian adegan berisi performa aktor dan gambar-gambar tokcer, film ini sukses dalam menggarisbawahi satu pencapaian yang memang paling penting bagi Hughes, bukan film yang sukses, bukan revolusi badan sensor, bukan mengencani bintang-bintang film terkenal, melainkan mewujudkan mimpi terbesarnya di bidang aviasi. Tahu pesawat Hercules, ‘kan? =)


56. Inside Man (2006)
Spike Lee/Denzel Washington, Jodie Foster, Clive Owen
Pertama nonton di: bioskop
Salah satu film perampokan dan penyanderaan terkeren yang pernah gw tonton. Intrik-intrik dan adu strategi antara para perampok dan kepolisian terbilang brilian. Nilai plusnya, Spike Lee berhasil menambahkan kritik-kritik sosial terutama dari kaum minoritas—untung nggak terlalu cerewet, yang terintegrasi dengan keseluruhan film. Digarap dinamis dengan penggabungan gambar-gambar “rapih” dan gritty secara bergantian dan efektif, menjalin drama, ketegangan dan sesekali kelucuan alami yang enjoyable, dan untuk kali ini, nama besar para aktornya memang jaminan kualitas, saling adu akting mereka adalah salah satu senjata paling substansial dari film yang lumayan underrated ini. Chaiyya chaiyya, chaiyya chaiyya, chaiyya...


55. Ratatouille (2007)
Brad Bird/Patton Oswalt, Lou Romano, Janeane Garofalo
Pertama nonton di: bioskop
Pixar almost never fail. Bahkan kisah absurd tentang seekor tikus got yang punya kesukaan aneh memasak seperti layaknya manusia bisa jadi tontonan menghibur dan berkesan. Ratatouille punya segalanya yang diharapkan dari sebuah kartun (ya, ini kartun. Mau protes? *asahspatula* *eh*): karakter yang lovable, desain yang menarik, gambar-gambar yang (luar biasa) menyenangkan mata, animasi mulus, humor, dan resep paling ampuhnya adalah naskah yang baik sekali dalam merangkai kisah dengan tak membosankan, pun mengandung nilai-nilai baik yang bisa diambil. Well, bagian terakhir emang agak berat untuk sebuah kartun yang ditujukan bagi keluarga, ending-nya juga agak gimana gitu. Nevertheless, film Pixar ini salah satu animasi yang paling orisinil dan digarap maksimal di semua sisi, bahkan tata suaranya. Jadi laper.


54. Frost/Nixon (2008)
Ron Howard/Frank Langella, Michael Sheen, Sam Rockwell
Pertama nonton di: unduhan bajakan
Konsep dasarnya saja sudah lain daripada yang lain, dramatisasi wawancara terkenal mantan presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dengan seorang presenter/komedian terkenal Inggris, David Frost. Apa yang bisa didramatisasi dari sebuah wawancara televisi? Jika narasumbernya adalah seorang mantan penguasa yang diduga suka menghalalkan segala cara yang lolos dari proses hukum skandal yang dituduhkan, dan pewawancaranya “hanyalah” presenter variety/talk show yang dianggap tak pernah serius, maka yang terjadi adalah sebuah duel dan adu strategi dalam mencapai tujuannya masing-masing, disaksikan berjuta mata penonton televisi. Adu pencitraan lah. Eh, serunya gak kalah sama film action lho, ketika yang satu ingin menjatuhkan yang lain lewat pertanyaan dan jawaban, Ron Howard, penulis naskah Peter Morgan, serta Frank Langella dan Michael Sheen yang tampil luar biasa, mengerahkan kemampuan mereka dalam meraih perhatian penonton dengan menggarap semua itu dengan begitu kuat dan efektif.


53. Michael Clayton (2007)
Tony Gilroy/George Clooney, Tilda Swinton, Tom Wilkinson
Pertama nonton di: bioskop
Gw menangkap Michael Clayton ini adalah showcase kelihaian penulisan skenario terutama dalam perancangan plot. Awalnya film ini kayak terlalu serius dan banyak omong banget, kenyataannya merangkaikan berbagai peristiwa yang harus dihadapi Michael Clayton sebagai seorang advokat maupun dalam kehidupan pribadi, yang sepertinya tidak nyambung, tetapi ternyata kemudian berpengaruh besar pada konklusinya, membuat daya tarik film ini semakin meninggi seiring jalannya durasi. Dieksekusi dengan rapi (gambarnya antara adem dan mencekam), diisi akting jempolan, film ini sukes tidak hanya sebagai film yang solid, namun juga sebagai sentilan nyeri bagi dunia korporasi kapitalis.


52. The Hurt Locker (2009)
Kathryn Bigelow/Jeremy Renner, Anthony Mackie, Brian Geraghty
Pertama nonton di: unduhan bajakan
The Hurt Locker hadir sebagai sebuah rangkaian kisah skala kecil di sebuah medan perang besar, digarap sangat solid dan cukup berbeda dari penuturannya, plus performa mantap dan (serasa) otentik dari aktornya. Eksekusinya senyap membangun ketegangan, ada sih adegan adu tembak, namun yang membuat film ini tetap berkesan adalah kuatnya perhatian pada karakter. Menyaksikannya kala mengalami kegalauan pribadi membuat film ini semakin memperlihatkan nilai istimewa, seakan berbicara pada gw. Kalau orang-orang anggap sersan James itu “suka” suasana perang, gw malah menganggap bukan perangnya yang dia sukai, tetapi menjinakkan bomnya, and he’s great at it. Pilihan yang sulit memang, antara di medan perang yang berisiko namun melakukan apa yang paling disukai, atau tinggal aman nyaman di rumah tetapi merasakan kehampaan batin. Review.


51. Doubt (2008)
John Patrick Shanley/Meryl Streep, Philip Seymour Hoffman, Amy Adams
Pertama nonton di: DVD
Ada kalanya film "ketutupan" sama persona aktor-aktor ternama berkualitas wahid yang terlibat di dalamnya, Doubt bukan salah satunya. Meryl Streep, Philip Seymour Hoffman, Amy Adams—udah bau Oscar—juga Viola Davis tampil prima jiwa raga, namun diboost lagi oleh kekuatan naskah adaptasi drama panggung ini. Sebagaimana layaknya masuk ke kelas di sekolah berbasis Katolik yang berdisiplin tinggi, film ini tampaknya rapi dan teratur, namun di dalamnya terdapat "perang dingin" antar personal yang bisa sampai tahap menakutkan. Adu dialog sangat krusial, dan film ini membuatnya begitu deep dan melibatkan penonton, termasuk melibatkan untuk ikut ragu-ragu. Begitu pandainya naskah film ini ditulis sehingga meskipun tidak ada kesimpulan pasti untuk masalah utamanya, gw tidak merasa terganggu dengannya, karena film ini adalah sebuah persembahan seni peran yang ditulis, diarahkan dan dilakoni dengan luar biasa. Itu cukup. Review.



bersambung ...

sebelumnya:
Foreword
Part 1: no. 100-76

selanjutnya:
Part 3: no. 50-26
Part 4: no. 25-11
Part 5: no. 10-1

Komentar

  1. Haaha akhirnya ada (500) Days of Summer, salah satu film favorit gw juga tuh

    BalasHapus
  2. @rasyidharry, mudah2an bukan pengalaman pribadi ya #eh #gimana =)

    BalasHapus
  3. yooooh....ada tikus! Untung ada Mas Boy

    BalasHapus
  4. @curhatsinema: tikusnya gak gigit kok, cuman masak =D

    BalasHapus
  5. nice list,
    ada Doubt juga..slah 1 film dgn pertunjukan akting terbaik dekade lalu..

    *ijin link ya gan...

    BalasHapus
  6. @nugrosinema, benar, Doubt itu aktor2nya "garang" *asem kali garang*
    thanks sudah mampir dan linknya =)

    BalasHapus
  7. Konbawa!!!
    Kamiya Desu !! (berhayal)

    hati hati kna tipes klo nonton ratatoule (kasian gudang bahan makanan di habisin ratusan tikus wkwkwkw)

    Arigato Gosaimazu!!!

    BalasHapus
  8. Di luar dugaan, ada banyak film yang aku kenal! Setelah membacanya, aku langsung hunting di lapak CD (ehm, bajakan) dan mencari beberapa judul yang menarik. Baru sadar kalau dulu, "i, robot" pernah diputar di TV swasta dan aku suka banget! Ada semacam perasaan ce-el-be-ka ketika mengikuti senarai di bagian kedua ini =D.

    BalasHapus
  9. @kamiya, nonton saja aman kok, tikusnya sudah cuci tangan =)

    @rafael, terima kasih, semoga berkenan. Nantikan daftar selanjutnya *iklan* =)

    BalasHapus

Posting Komentar