Sutradara Perempuan Penggerak Sinema Indonesia Masa Kini

Seiring dengan meningkatnya produksi film Indonesia belakangan ini, terdapat satu fenomena menarik, yaitu banyaknya film yang dibuat oleh sutradara perempuan. Salah satu dampaknya, dalam penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) sejak tahun 2004, kategori Sutradara Terbaik selalu ada minimal satu nomine perempuan, kecuali pada tahun 2007. Tentu saja keberadaan sutradara perempuan dalam perfilman nasional bukanlah hal baru. Namun, ramainya produksi film Indonesia yang dikomandoi perempuan dalam satu dasawarsa ini tetap saja mengundang perhatian. Apalagi, sebagian besar hasil karyanya mendapat sambutan positif, baik secara komersial maupun kritikal, nasional maupun internasional. Ini bisa jadi bukti bahwa kompetensi sutradara perempuan Indonesia tidak bisa dianggap remeh.

Nama Nan T. Achnas adalah salah satu sineas perempuan Indonesia yang banyak disorot pada awal dekade 2000-an, terutama karena pengakuan internasional yang didapatkannya. Salah satu sutradara film Kuldesak (1998) ini sukses membawa film panjang perdananya, Pasir Berbisik (2001) melanglangbuana di festival-festival film internasional. Bahkan, film ini menerima beberapa penghargaan di Deauville (Prancis), Singapura, dan tiga penghargaan dalam Asia Pacific Film Festival 2001 di Jakarta.

Nan T Achnas
(foto dari Karlovy Vary International
Film Festival)

Nan selanjutnya membuat film anak-anak bertema nasionalisme, Bendera (2002), yang sayangnya kalah tenar dari lagu temanya sendiri yang dinyanyikan band Cokelat. Karya Nan selanjutnya, film drama The Photograph (2007), lagi-lagi berbuah penghargaan internasional, seperti NETPAC Award dalam Taipei Golden Horse Film Festival 2008 serta dua penghargaan di Karlovy Vary International Film Festival 2008 di Republik Ceko.

Sutradara perempuan Indonesia yang juga mencuat di milenium baru ini adalah Nia Dinata. Memulai debut layar lebar dengan adaptasi novel Ca-Bau-Kan (2002), yang didaftarkan sebagai wakil Indonesia dalam ajang Academy Award atau Oscar, Nia lalu semakin disorot lewat film komedi satir perkotaan Arisan! (2003). Film ini menarik perhatian publik karena kisahnya juga memuat problem pasangan gay, sesuatu yang terbilang berani untuk film Indonesia di kala itu. Arisan! terbilang sukses, bahkan lima Piala Citra dalam FFI 2004 termasuk Film Terbaik berhasil diraih.

Nia Dinata
(foto dari www.indonesianfilmcenter.com)

Nyaman dengan karya berbau satir, Nia semakin vokal membela kaum perempuan lewat film ketiganya, Berbagi Suami (2006), yang juga merupakan sebuah kritik terhadap praktik poligami. Film ini juga cukup sukses dalam ajang FFI 2006, dan menerima penghargaan di beberapa festival film di Hawaii (Amerika Serikat), Lyon (Prancis), dan Brussels (Belgia). Belum lama ini Nia merilis sekuel Arisan, Arisan! 2 (2011) yang disambut cukup baik oleh penonton dan sempat ditayangkan di festival film internasional di Los Angeles dan Amsterdam.



BERAGAM TEMA DAN GENRE

Namun, bila sorotan mengarah pada karya-karya yang lebih pop, saat ini nama Upi (dahulu Upi Avianto) paling segar di ingatan. Sutradara ini unik karena, kecuali komedi romantis 30 Hari Mencari Cinta (2003), karya-karyanya banyak berkarakter maskulin, rebelious, dengan hiasan visual vintage dan musik yang keras. Tengok saja Realita, Cinta, dan Rock n Roll (2005), Radit dan Jani (2008) yang membawa Vino G. Bastian dan Fahrani meraih Piala Citra, juga Serigala Terakhir (2009). Setelah mencoba rupa-rupa genre, termasuk komedi-laga Red Cobex (2010), belum lama ini Upi merilis film terbaru yang diklaim sebagai genre impiannya, yaitu film thriller Belenggu (2013), yang juga sempat ikut serta di Puchon (Bucheon) International Fantastic Film Festival 2012.

Jika membicarakan kuantitas, maka Lasja Fauzia Susatyo merupakan salah satu nama yang sering terdengar karena jadi salah satu yang paling produktif. Sutradara yang mengawali karier di bidang video musik ini telah menyutradarai enam film, sebagiannya berhubungan dengan musik, selain terlibat dalam dua film omnibus Perempuan Punya Cerita (2007) dan Kita versus Korupsi (2012). Lasja yang kerap berkolaborasi dengan Upi ini memulai debut layar lebar dengan romansa remaja Lovely Luna (2004), dilanjutkan dengan kisah anak band Dunia Mereka (2006), musikal pop Bukan Bintang Biasa: The Movie (2007), musikal anak-anak Langit Biru (2011), hingga Mika (2013) yang meraih cukup banyak penonton di triwulan pertama tahun ini. Karya Lasja selanjutnya yang bakal rilis tahun ini juga adalah Cinta dari Wamena (2013) yang mengusung isu HIV/AIDS.

Akan tetapi, ragam tema dan genre dalam filmografi sutradara perempuan Indonesia mungkin tidak ada yang semenarik Viva Westi. Sesungguhnya, langkah Viva sebagai sutradara dimulai cukup menjanjikan ketika bergabung dengan Garin Nugroho dalam dokumenter tentang dampak tsunami Aceh, Serambi (2005), yang sempat masuk segmen Un Certain Regard di Festival Film Cannes 2006, Prancis. Namun, rupanya Viva juga sempat mencoba “ikut arus” dengan mengarahkan film horor Suster N: Dendam Suster Ngesot (2007), dan horor komedi Pocong Keliling (2010).

Viva Westi (kiri) bersama Titi Rajo Bintang di lokasi pengambilan gambar
Rayya, Cahaya di Atas Cahaya

Untung saja bakat sejati Viva untuk membuat karya “penting” tidak benar-benar hilang. Terbukti dengan film tentang dampak kerusuhan Mei 1998, May (2008) sukses meraih dua Piala Citra FFI 2008 dan sembilan nominasi lainnya; serta film puitis yang underrated, Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2012). Karya Viva terbaru yang tahun lalu sempat dicekal akhirnya tayang beberapa waktu lalu, yaitu Mursala (2013), yang mengangkat tema budaya dan masyarakat Batak.



MENYEBERANG KE PENYUTRADARAAN FILM

Perfilman Indonesia memasuki tahun 2000-an juga diramaikan oleh orang-orang dari beragam latar belakang profesi yang menjajal penyutradaraan film, tak terkecuali kaum perempuannya. Sekar Ayu Asmara misalnya, yang sebelumnya dikenal sebagai pencipta lagu, telah sukses melepas tiga judul film garapannya, yaitu Biola Tak Berdawai (2003) yang didaftarkan sebagai wakil Indonesia dalam Oscar 2004, drama psikologis Belahan Jiwa (2005), serta Pesan dari Surga (2006).

Sutradara teater panggung Ratna Sarumpaet juga sempat menelurkan versi film Jamila dan Sang Presiden (2009) yang dibintangi putrinya sendiri, Atiqah Hasiholan. Film ini berhasil menerima satu penghargaan di Asia Pacific Film Festival 2009 di Taipei dan NETPAC Award di Asiatic Filmmediale 2009 di Roma, Italia, selain memperoleh enam nominasi Piala Citra FFI 2009 dan didaftarkan jadi wakil Indonesia di Oscar 2010.

Untuk generasi yang lebih muda, ada pengarang Djenar Maesa Ayu yang menggarap adaptasi karya tulisnya sendiri, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008). Meski hanya berskala independen, film ini sukses meraih tiga Piala Citra FFI 2009 dan mengangkat nama Titi Sjuman (kini bernama Titi Rajo Bintang) sebagai aktris Indonesia berbakat. Djenar, yang merupakan putri sutradara legendaris Sjuman Djaya ini, juga diberi penghargaan khusus sebagai Sutradara Baru Terbaik.

Demikian pula aktris Lola Amaria yang kini lebih sering duduk di belakang layar. Karya penyutradaraan perdananya, Betina (2006) memang hanya diputar gerilya dan jarang terekspos. Tapi, film keduanya, Minggu Pagi di Victoria Park (2010) sukses menuai pujian dan dinilai berhasil dalam mengangkat kehidupan tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong. Lewat film ini pun Lola diganjar penghargaan Sutradara Terbaik Film Indonesia di JIFFest 2010, selain meramaikan FFI 2010 dengan satu Piala Citra dan enam nominasi yang diraihnya. Tahun ini Lola juga memproduseri film terbaru tentang kehidupan buruh perempuan, Kisah 3 Titik (2013).

Lola Amaria (tengah) diapit sinematografer Yadi Sugandi (kiri) dan
Titien Wattimena (kanan) di lokasi pengambilan gambar
Minggu Pagi di Victoria Park (foto dari lolaamaria.blogdetik.com)

“Penyeberangan” paling anyar dilakukan oleh salah satu penulis skenario paling produktif di perfilman Indonesia saat ini, Titien Wattimena, yang sebenarnya adalah lulusan jurusan Penyutradaraan di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Setelah sebelumnya sudah pernah menjabat sebagai co-director untuk film Love (2008) dan Minggu Pagi di Victoria Park (2010), debut penyutradaraan penuh Titien dalam Hello Goodbye (2012) tampak begitu matang dan menjanjikan. Tak sia-sia, film yang tayang perdana di Busan International Film Festival 2012 ini disambut hangat oleh penonton dan berhasil menerima sebuah Piala Citra FFI 2012 beserta empat nominasi lainnya.



BAKAT MUDA YANG MENJANJIKAN

Kemunculan sutradara muda perempuan bertalenta dan berprestasi di Indonesia seakan tak pernah berhenti. Misalnya saja sineas independen Sammaria Simanjuntak, yang walaupun tidak memiliki latar belakang formal dalam bidang film, berhasil mendapat sorotan dari pemerhati dan pecinta film nasional lewat film debutnya tentang cinta beda suku dan agama, cin(T)a (2009) yang sukses meraih Piala Citra FFI 2009 untuk Skenario Asli Terbaik. Sambutan lebih hangat pun didapat lewat film keduanya, Demi Ucok (2013), lagi-lagi berhasil meraih sebuah Piala Citra ditambah tujuh nominasi lainnya dalam FFI 2012.

Mouly Surya
(foto dari commeaucinema.com)

Belum lama ini juga ada film Indonesia pertama yang berhasil ikut kompetisi ajang film independen terbesar di dunia, Sundance Film Festival 2013 di Utah, Amerika Serikat. Film itu adalah Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta/What They Don't Talk About When They Talk About Love (2013), karya kedua dari sutradara Mouly Surya yang mengangkat romansa remaja penyandang disabilitas. Film ini menjadi sebuah kelanjutan yang manis dari film debut Mouly, Fiksi. (2008). Film thriller psikologis ini sukses meraih empat Piala Citra FFI 2008, termasuk untuk Film dan Sutradara Terbaik, sekaligus menobatkan Mouly sebagai sutradara perempuan pertama dalam sejarah FFI yang meraih Piala Citra, pada tahun ketika nominasinya terdiri dari empat orang perempuan dan seorang laki-laki.

Sutradara muda Kamila Andini (putri dari Garin Nugroho) pun tak kalah gemilang. Ia mendulang pujian untuk film debutnya, The Mirror Never Lies (2011). Film yang mengangkat kehidupan masyarakat Bajo di kawasan Wakatobi, Sulawesi Tenggara ini meraih dua Piala Citra FFI 2011, ditambah penghargaan khusus untuk Kamila sebagai Sutradara Baru Terbaik. Pun film ini mendapat gelar Film Terpuji di Festival Film Bandung 2012. Tak berhenti di sana, film bermisi lingkungan ini juga menuai sambutan hangat bahkan penghargaan di pelbagai festival film dunia, seperti di Mumbai International Film Festival 2011, Asia Pacific Screen Awards 2012 di Brisbane, Australia, serta dua nominasi Asian Film Awards 2012 di Hong Kong. Karya-karya Kamila selanjutnya, sebagaimana juga Sammaria dan Mouly, tentu layak dinantikan oleh para pecinta film.

Kamila Andini
(foto dari gift4earth.wwf.co.id)

Hanya dalam kurun waktu 12 tahun, terbukti sudah banyak film-film karya sutradara perempuan Indonesia yang berkualitas dan menorehkan prestasi membanggakan. Kita juga patut berbangga karena luasnya ruang berkarya dan tingginya nilai saing sutradara perempuan di Indonesia, dalam profesi yang dulunya didominasi kaum lelaki ini.

Melihat segala catatan tadi, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kaum perempuan turut berperan langsung dalam mengangkat derajat perfilman nasional di generasi ini. Bahwa mereka juga penggerak kemajuan perfilman Indonesia, dan tentu kita harapkan akan demikian seterusnya, bahkan lebih lagi.


Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Muvila.com 8 Mei 2013.
Penyuntingan oleh Angga Rulianto, dengan penyesuaian seperlunya.
Lihat artikel di sini

Komentar