Langsung ke konten utama
[Movie] Minggu Pagi di Victoria Park (2010)
Minggu Pagi di Victoria Park
(2010 - Pic[k]lock Production)
Directed by Lola Amaria
Written and Co-Directed by Titien Wattimena
Produced by Sabrang Mowo Damar Panuluh, Dewi Umaya Rachman
Cast: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Damara, Donny Alamsyah, Imelda Soraya, Permata Sari Harahap
We thought we knew, but we had no idea. Minggu Pagi di Victoria Park adalah film tentang TKI (Tenaga Kerja Indonesia), atau TKW (Tenaga Kerja Wanita), atau buruh migran, atau apapun sebutannya, khususnya yang bekerja di Hong Kong. Kita tentu sering mendengar soal TKI—terutama soal penyiksaan oleh majikan atau korban penipuan di bandara ketika tiba kembali ke tanah air, dan dii sisi lain ada juga propaganda pemerintah mengenai TKI yang sukses dan berhasil membangun kampung halamannya (dulu ada deh iklannya). Akan tetapi, correct me if I’m wrong, belum pernah ada satu pun media atau karya yang sukses menggambarkan kehidupan TKI kita di negeri orang dari sudut pandang TKI itu sendiri di medan perjuangan mereka. Dengan demikian, Minggu Pagi di Victoria Park boleh berbangga sebagai perintis konsep ini. Dan para sineasnya pun boleh lebih berbangga lagi, bahwa karya mereka yang terbilang berbeda dan belum ketahuan pangsa pasarnya ini merupakan karya yang sama sekali tidak tercela.
Naskah Minggu Pagi dengan cukup strategis menempatkan tokoh Mayang (Lola Amaria) yang baru bekerja di Hong Kong selama 3 bulan sebagai agen bagi penonton untuk membuka pikiran kita terhadap seluk beluk dunia TKI di Hong Kong. Apa saja yang mereka kerjakan, sedikit mekanisme bagaimana mereka bisa bekerja, interaksi mereka dengan orang sekitar maupun sesama TKI, isi kamar mereka (ada cover MP3 “The Verry Best of Kangen” di kamar Mayang, dan bukan saya yg salah mengeja, huehuehue), cara bicara mereka, apa yang mereka bicarakan, tempat mereka pergi dan berkumpul, pelayanan publik (bank, warung, swalayan) yang mereka gunakan, bahkan sampe cara mengirim uang ke kampungnya (oh, ini iklan banget lho, produknya disebut pula, tapi gw baru sadar pas adegan ini selesai, cukup relevan sih ^_^;). Judul film ini pun mengambil potret pemandangan menarik di Victoria Park, ketika TKI yang mayoritas wanita ini saban hari Minggu (libur) ngariung di sana, dengan kegiatan, gaya dandanan dan pembicaraan yang seringkali mengundang senyum. Kita dan Mayang perlu tahu itu, karena selain jadi pembelajaran bagaimana hidup sebagai TKI, juga sebagai jalan dalam menuntaskan tujuan Mayang menjadi TKI di Hong Kong.
Mayang rupanya mengemban amanah sang ayah untuk mencari sang adik, Sekar (Titi Sjuman, not Siluman) yang lebih dahulu berangkat jadi TKI ke Hong Kong namun sudah sangat lama hilang tanpa jejak berita. Lewat jejaring sesama TKI, plus kenalan orang Konsulat Jenderal RI, mas Gandi (Donny Damara) dan pedagang muda keturunan,Vincent (Donny Alamsyah…ho, The Donnys?), sebenarnya menemukan Sekar bukan tidak mungkin—meski sulit, hanya saja justru Mayang sendiri yang antara pengen-nggak-pengen menemukan Sekar, mengingat Mayang telanjur sakit hati seumur hidupnya sama kesenjangan perhatian sang ayah pada mereka berdua, apalagi ketika mengetahui apa yang jadi duduk perkara yang membuat Sekar menghilang di negeri kecil nan ramai itu.
Namun selain plot utama di atas, sebagai pelengkap gizi Minggu Pagi di Victoria Park juga menampilkan subplot2 tentang permasalahan yang dialami rekan TKI Mayang yang lain, tapi untungnya, porsinya tidak mengganggu, malah jadi memperkaya keseluruhan film ini. Untungnya lagi, eksekusinya enak2 aja, mengalir cukup lancar tanpa ada kesan memperlambat cerita. Bagi gw menarik sekali film ini menampilkan penggalan2 kehidupan TKI di Hong Kong sana, seperti teman paling dekat Mayang, Sari (Imelda Soraya) yang punya pacar sesama buruh migran dari..err..Bangladesh mungkin (?) yg demen banget mlorotin si cewek, lalu ada Yati (Permata Sari Harahap) yg merahasiakan pengetahuannya tentang keberadaan Sekar, yang menjalin cinta lesbiola, kemudian Tuti (lupa nama pemerannya) yang ramah dan agak know-it-all yang tampil layaknya “babu” di hari biasa, tapi berdandan ala “Christina Agwilera” di setiap Minggu pagi (hehehe). Lalu ada pula semacam rahasia bahwa tak jarang TKI di sana terlibat utang (perusahaan semacam “Super Kredit” ini beneran ada gak ya?) yang mungkin luput dari pengetahuan sebagian besar kita di tanah air. Namun sekali lagi, film ini nggak lantas gegabah dalam menceritakan semua itu dengan bertubi-tubi, semua tepat takarannya dan dirangkum sedemikian rupa sehingga mudah sekali diikuti, nggak berat.
Kalau boleh gw juga mau salut sama sang sutradara yang juga merangkap pemeran utama, Lola Amaria. Situ oke banget lho mbak. Gw tadinya mikir Lola akan bikin film “kelewat idealis” mengingat resume film garapan perdananya, Beth yang bahkan nggak tayang di bioskop, serta dulu dia mantannya Aria Kusumadewa *biang gosip* (I don’t like Identitas), tapi ternyata Minggu Pagi merupakan sajian yang sangat nikmat dilahap oleh—menurut hemat saya—siapa saja. Dengan syuting on location di Hong Kong (tanpa harus kasih cap “Asli 100% Hong Kong” di posternya *wah kayak film apa tuh?*), Minggu Pagi berhasil menyodorkan adegan demi adegan yang realistis dan membumi tanpa dramatisasi berlebih, apalagi didukung dialog-dialog dengan bahasa yang sedekat mungkin digunakan oleh para TKI kita di sana yang mayoritas dari Jawa Timur. Pujian pun harus diberikan bagi para pemerannya yang mayoritas sukses dalam membawakan perannya. Tiga orang yang pelru gw catet adalah Lola yg oke dan intens, Titi Sjuman yang luar biasa hebat, dan si pemeran Tuti yang tampil sangat natural terkesan layaknya tidak berakting.
Namun, film bagus ini bukannya tanpa kelemahan. Dari akting, The Donnys sungguh jadi pengganjal film ini bagi gw. Donny Damara adalah miscasting yang fatal untuk jadi mas Gandi yang harusnya simpatik dan mengayomi para TKI—kalo gw akan memilih Tio Pakusadewo atau Rudy Salam mungkin untuk peran ini. Gestur dan cara penyampaian dialognya sinetron banget. Donny Alamsyah, yah sama aja lah kayak gw liat film2 dia sebelumnya, datar, terlepas dari karakternya yang memang hanya pemanis saja (whoa, cowok cuman pemanis di film? Jarang2 nih ^_^ *agak nggak terima*). Naskahnya yang secara keseluruhan bagus pun tetap memiliki beberapa spot, gw itung minimal 3 spot, yang agak misplaced dan bikin gw mikir “opo seh?” karena kurang believable dan mengawang-awang, mungkin karena dari naskahnya atau karena penyampaian oleh si aktor yang kurang sreg. Di bagian akhir pun ada satu permasalahan yang kurang dijelaskan gimana jadinya (utang Sekar?).
Akan tetapi gw berusaha tidak terlalu mempermasalahkan kelemahan2 di atas untuk memberikan tepuk tangan tulus buat Lola Amaria dan kawan2. Sinematografinya yang ada dibawah pengarahan Yadi Sugandi cakeeep banget, dengan sound yang bening, presentasi di bioskop pun oke sekali—mungkin karena pascaproduksinya diproses di Hong Kong. Sektor musik yang ditangani Aksan Sjuman terbilang powerful, nggak salah konteks dan didukung beberapa lagu dari beberapa artis yang terasa pas sekali, ditambah lagu soal TKI dari Kangen band yang konon sempat jadi hits di antara TKI di Hong Kong sana, yang terkesan sangat relevan (mungkin bila Kangen band dikedepankan dalam promosi film ini, bisa jadi filmnya akan laku keras *hehehe*, gw kmaren nonton 1 bioskop cuman 6 orang, man…ya jam 9 malem sih). Kesimpulannya, Minggu Pagi di Victoria Park adalah sebuah film nasional yang sangat layak dan patut dan perlu ditonton. Bukan karya sempurna, tetapi jadi karya penting karena wawasan yang ditawarkan, menggugah karena kisahnya yang mengena dan nggak kacangan, dan menghibur karena kebersahajaannya, serta harus dihargai karena niat baik dan eksekusi yang baik pula. Seriously, please watch it.
My score: 8/10
oh gitu yah ceritanya
BalasHapusBTW Pertamax :D
Saya setuju sekali dengan pendapat Anda. Saya berpikir hal yang sama. Sayangnya, saya menduga film ini tidak akan laku dan Lola akan kesulitan mendapat penanam modal untuk film seperti ini di masa depan.
BalasHapus@Film Ajah
BalasHapusmobil saya pake solar =P
@Anonim
Memang saya juga merasa ada sesuatu yg bikin film ini tidak akan laris padahal udah disokong oleh BCA dan Depnakertrans: Promosi. Promosinya terkesan rendah diri, kurang gencar dan terlalu singkat, bahkan Kangen band pun nggak "dipakai" jadi alat promosi (^_^;). Film seperti ini butuh promosi gencar, karena filmnya sendiri tidak punya hal yang umumnya menarik banyak penonton Indonesia secara otomatis: horor dan mesum. Yah maklum juga sih mungkin dananya habis buat produksi filmnya sendiri.
saat ini sepertinya hanya Miles Films saja yang tau caranya berpromosi yang gencar dan efektif untuk film yang di atas kertas kurang menjual.
...dan film ini sekarang udah turun dari bioskop
BalasHapus(-_-)
@adithiarangga
BalasHapusper hari ini (Jumat 18 Jun 2010) masih ada kok di beberapa kota, di Jabodetabek ada di Blitz Serpong sama Bekasi Trade Center =P
sayang, gw (jg) gak kebagian karena udah turun dari bioskop. parah deh... terpaksa nunggu VCD
BalasHapus