The Mirror Never Lies
Laut Bercermin
(2011 - Pemda Kabupaten Wakatobi/WWF Indonesia/SET Film)
Directed by Kamila Andini
Written by Kamila Andini, Dirmawan Hatta
Produced by Garin Nugroho, Nadine Chandrawinata
Cast: Atiqah Hasiholan, Reza Rahadian, Gita Lovalista, Eko, Zainal
Entah ada yang merasa seperti yang gw rasa, Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara bisa jadi adalah pemerintah daerah paling ekseeis di Indonesia setahun ini. Buktinya? Setelah jadi tuan rumah konferensi kelautan dunia, nama "Wakatobi" yang terkenal dengan wisata selamnya ini juga makin ke sini sering muncul di infotainment lewat liputan selebritis dan selebritis
Di sebuah kampung suku Bajo, dikisahkan seorang anak perempuan bernama Pakis (Gita Novalista) yang begitu merindukan ayahnya yang tak kunjung pulang, sampe dia sering terjaga hingga larut malam menunggu ayahnya pulang. Suku Bajo memang menggantungkan hidupnya dengan melaut—bahkan kampung mereka bangun di atas laut dangkal bukannya di darat. Bahwa kepala keluarga akan sering pergi melaut jauh dalam waktu yang panjang sudah menjadi kebiasaan. Tak jarang pula, mengenal bahwa laut begitu luas dan juga ganas, apapun bisa terjadi bagi mereka yang pergi mengarunginya, termasuk kehilangan nyawa. Itulah yang ditekankan ibu Pakis, Tayung (Atiqah Hasiholan) kepada putrinya, bapak tidak pulang sudah terlalu lama, artinya bapak sudah tidak ada, tinggal mereka berdua. Karena itu Tayung kini harus berusaha keras menghidupi diri dan putrinya dan itu bukanlah hal mudah. Pakis masih belum dapat menerima “dugaan” ayahnya tewas atau apalah, dia tetap terus berharap, memikirkan sang ayah serta cerita dan pesan2nya sebagai pelampiasan kangennya, termasuk membawa-bawa cermin pemberian ayahnya, bahkan sampe membawa cermin itu ke dukun dengan harapan bisa setidaknya melihat sang ayah. Suatu hari, datanglah Tudo (Reza Rahadian), seorang “peneliti lumba-lumba” dari Jakarta yang dalam rangka pekerjaannya akan menginap di rumah yang tadinya ditinggali ayah Pakis. Pakis agak nggak rela dengan kedatangan Tudo, seakan-akan ayahnya sudah tidak akan tinggal di rumah itu lagi. Namun lambat laun Pakis bisa menerima kehadiran Tudo, bahkan mungkin mengobati kesepiannya. Mungkin.
The Mirror Never Lies sepertinya memperpanjang “formula” film di Indonesia yang tampak “artistik” tapi juga berusaha menghibur: use the kids =D. Melanjutkan apa yang sudah dilakukan Denias Senandung di Atas Awan dan Laskar Pelangi, film ini memperkenalkan sebuah daerah dan budaya yang eksotik di Nusantara yang belum banyak diketahui, dan menggunakan anak2 sebagai penggerak ceritanya, serta memanfaatkan kepolosan anak2 untuk (dengan harapan) menghibur penontonnya. Nggak ada yang salah dengan itu, tapi ya kalo bisa 3 kali formula yang sama tuh kayaknya udah maksimal deh, bapak ibu produser =). Anyway, dibandingkan dua judul yang gw singgung tadi, The Mirror Never Lies mungkin film yang paling “bukan anak2”, mulai dari laju cerita dan eksekusinya yang agak ala film “nyeni”, juga karena isu yang diangkat agak rumit: kehilangan. Konfliknya memang minim kalau bisa dibilang hampir nggak ada, hanya penantian seorang Pakis pada ayahnya, yang sering adu teriak sama ibunya yang menyuruhnya berhenti mengingat-ingat ayahnya—padahal Tayung juga merasakan kesepian yang sama besarnya. Apa yang mereka lakukan sehari-hari atas perasaan itu wajar2 saja sebenarnya, berselisih pendapat antara ibu dan anak, serta kenakalan2 khas anak. Kedatangan Tudo pun tidak menambah drama yang gimana gitu, hanya mungkin ada saling ketertarikan Tudo dan Tayung, serta kemudian jadi objek “puber”nya Pakis. Intinya Tudo, yang menyimpan gaun putih di kamarnya itu (which is kalau pikiran gw sedang tidak positif akan mengganggap itu agak aneh, hiii), menjadi “sekedar alat” penegasan betapa Pakis dan juga Tayung sedang merasa kehilangan. Bagi yang mengharap lebih, hmm, maap2 aja. Film ini mengalir begitu wajar dan nggak dibuat-buat, namun saking wajarnya memang jatuhnya film ini jadi agak “sunyi” karena kurangnya letupan2 yang kentara agak berasa lama jadinya.
Meski demikian, nggak bisa dipungkiri bahwa The Mirror Never Lies adalah sebuah karya yang rapih dan patut dipuji. Dari eksekusinya di layar, gw menemukan tata adegan yang terbilang artisik—terutama adegan yg berhubungan dengan Tayung dan bedaknya (mungkin mbak Kamila belajar dengan baik dari bapaknya, hehe), selain bahwa keseluruhan film ini ditangkap oleh sinematografi yang ciamik dan top markotop, banyak gambar2 cantik dan keren tidak hanya dari pemandangan alam (adegan bawah airnya, waduuuh ckckckck), tetapi juga dari lingkup sempit sebuah kampung suku Bajo tempat Pakis dan Tayung dll berada. Gw punya shot favorit yaitu di bagian akhir, pokoknya yang ada perahu dan cermin yg diambil dari bawah air, wooooww.... Penampilan para aktornya pun dengan sukses membuat gw sedikit mengesampingkan ceritanya yang sepi itu. Atiqah Hasiholan tetap tampil meyakinkan sebagai meski wajahnya terus menerus dilapisi bedak putih, karakternya tetap keluar dari cara bicara, gestur, dan kerja fisik yang dilakukannya (bagian ngebersihin rumput laut itu keren deh, mbak =)). Akting anak2 yang asli suku Bajo pun sangat nyaman dilihat karena begitu natural. Gita Novalista harus dipuji pada tugasnya sebagai pemeran utama yang dibawakan dengan baik, namun mungkin yang paling “cacthy” adalah tokoh Lumo yg dimainkan oleh Eko (nanti tambah nama di belakangnya ya dik, biar nggak ketuker sama sejuta Eko se-Indonesia =D) yang tampil jenaka. Adegan2 yang melibatkan tokoh Pakis, Lumo dan Kutta (Zainal) memang poin paling menghibur dari film ini, nggak pernah gagal =D. Sedangkan Reza Rahadian berperan seperti halnya...Reza Rahadian, usual stuff =P.
Di luar itu, gw terkesan dengan sutradara dkk yang mampu memfungsikan beberapa aspek dari budaya suku Bajo yang padu dengan ceritanya. Mulai dari cara hidup keluarga—ayah dan ibu tidak satu rumah, ayah pergi melaut cari ikan dan ibu menjual hasil tangkapan di pasar, Tayung yang memakai bedak di wajah (mungkin sebagai lambang duka), berbalas pantun, ritual perdukunan, ritual perjodohan hingga pemakaman, semuanya bukan asal ditampilkan tetapi ada relevansi yang sama sekali tidak terasa dipaksakan. Dan bagusnya lagi, film ini juga tidak meninggalkan “kepentingan” lain selain sekedar bercerita, yaitu memamerkan keindahan alam bahari wilayah Wakatobi, serta membuat penonton merasa sayang untuk merusak keindahannya. The Mirror Never Lies ternyata berhasil merangkum apa yang diinginkan masing2 pihak pendukungnya. Sebuah film yang mengerahkan sisi artistik pembuatnya, memotret sebuah kebudayaan dengan adil—terutama dari bahasa yang digunakan secara wajar, serta menimbulkan efek yang sesuai dan positif. Dan perlu diingat lagi, ini karya perdana seorang sutradara wanita muda seusia Agnes Monica. Not perfect but definitely watchable, with patience. Bonus 1 poin untuk niat baik. Kirim gih ke Oscar =).
My score: 8/10
Komentar
Posting Komentar