Gran Torino
(2008 – Warner Bros.)
Directed by Clint Eastwood
Screenplay by Nick Schenk
Story by Dave Johannson, Nick Schenk
Produced by Clint Eastwood, Bill Gerber, Robert Lorenz
Cast: Clint Eastwood, Bee Vang, Christopher Carley, Ahney Her, John Carroll Lynch
Marathon VCD sewaan gw (silahkan liat 3 postingan sebelumnya) ditutup dengan menonton film yg konon terakhir kalinya kita akan melihat Clint Eastwood sebagai aktor. Meskipun begitu, Gran Torino nyatanya menjadi “kenang2an” akting Clint Eastwood yg jempolan, dan membuktikan bahwa jika nggak jadi aktor pun beliau akan tetap survive sebagai sutradara film2 berkualitas. Ih, padahal gw tadinya gak suka lho film2 yg diarahkan Clint Eastwood sebelumnya, karena endingnya nyelekit bikin depresi dan alurnya lamaaaaa banget macem Mystic River dan Million Dollar Baby. Anggapan itu berubah waktu gw nonton Letters From Iwo Jima yg digarap apik (dan endingnya nggak terlalu bikin depresi), dan Gran Torino ini pun bikin gw sama sekali nggak membenci kakek timurkayu ini.
Film Gran Torino tidaklah segahar judulnya—yg adalah jenis mobil klasik yg masih banyak diincar orang krn nilai pretisenya. Film ini mengisahkan Walt Kowalski (Clint Eastwood), seorang veteran perang Korea, sepeninggal istrinya. Walt bukanlah orang yg menyenangkan, hubungannya dengan kedua putranya yg masing2 sudah berkeluarga pun tidak bisa dibilang dekat. Sebelum wafat, istrinya juga "menitipkan" sang suami pada pastur Janovich (Christopher Carley) yg masih muda, yg penasaran dengan kekerasan hati Walt. Di lain pihak, kompleks rumahnya (di Detroit, Massachusets, kota asalnya Eminem kalo nggak salah) kini jadi lingkungan komunitas etnis Hmong bermukim (suku yg aslinya di China selatan, Vietnam, Myanmar, Thailand dkk). Tak hanya itu, geng2 brandalan merajalela di sana.
Tetangga sebelah Walt pun adalah keluarga Hmong, dan suatu hari Walt menangkap basah anak laki2 tetangganya itu mau mencuri mobil Gran Torino miliknya. Anak laki2 itu bernama Thao (Bee Vang), dan dia sering diintimidasi sepupunya yg anggota geng. Ketika terjadi keributan antara Thao dan keluarga vs gang sepupunya yg sampe menginjak halaman rumah Walt, Walt turun tangan dan mengusir anak2 sok bandel itu. Perbuatan itu dianggap heroik sehinga Walt mau tak mau menerima beragam bentuk tanda terima kasih dari komunitas Hmong, plus kakak Thao, Sue (Ahney Her), menyuruh adiknya kerja apa aja deh sama Walt sebagai bentuk balas jasa sekaligus hukuman. Walt tadinya enggan, tapi lama2 hubungannya dengan Thao juga Sue menjadi dekat—sama Thao kayak anak, kalo sama Sue kayak tmen ngobrol yg klop. Thao yg tadinya gak punya tujuan hidup yg pasti (mnurut Sue, kalo perempuan Hmong-Amerika banyak yg masuk kuliah, yg laki2 banyak masuk penjara ^_^), dari Walt belajar banyak mengenai keterampilan teknik dan konstruksi —karena kalo tetangga minta perbaikin apa sama Walt, malah si Thao yg disuruh hehehe, bahkan berhasil mendapatkan kerja jadi pekerja konstruksi (a.k.a. kuli bangunan, tapi klo di Amerika kesannya agak lebih elit yah?) dari kenalan Walt, selain bagaimana menjadi bagian dari masyarakat dan juga cara menghadapi cewek yg ditaksir ^.^'. Tapi perkembangan menggembirakan ini tidak menghilangkan gangguan dari anak2 geng. Thao masih saja diincar, hanya saja kini ia punya Walt yg ternyata mau melindunginya dengan caranya sendiri. Tapi apakah itu baik, mengingat anak2 geng ini adalah orang2 nekad?
Jalan cerita film Gran Torino dibangun lewat kejadian sehari-hari, mungkin agak terkesan lambat, tapi bagi gw nggak mboseni (mungkin istilahnya: captivating). Rasanya enak aja melihat Walt yg sesepuh keras kepala dan dingin mulai mencair ketika mengenal lebih dekat tetangganya, juga serasa mengembalikan sifat “keayahannya” lagi ketika Thao hadir di hidupnya. Ia tidak terlalu bangga dengan anak2nya sendiri, tapi ia merasa berharga ketika membantu Thao. Kecuali dialog Walt dan si pastur yg terlalu filosofis mengenai hidup dan mati selepas kematian si nyonya, apa yg ditampilkan di film ini mengalir baik dan menyentuh. Perubahan diri Walt sangat mengundang simpati, dan simpati kita terhadap orang2 di sekitar Walt terutama Thao dan Sue pun tak terhindarkan, apalagi ketika “sesuatu” terjadi pada mereka *oops*, waduh, gw jadinya sama marahnya kayak Walt. Salut buat penulis naskah dan kakek Clint sebagai sutradaranya yang membuat kisah yang kuat, membumi dan tidak basi ini. Gw mau menekankan sesuatu soal endingnya dengan berusaha tidak meng-spoil banyak2, bahwa adegannya agak “bikin depresi”, tapi dengan ending “demikian” di saat yg bersamaan Walt telah berbuat sesuatu yang besar buat Thao, Sue, bahkan lingkungannya. See for yourself, it’s beautiful T—T.
Secara teknis filmnya nggak terlalu istimewa, bahkan kesan artistik pun tampaknya agak absen—atau jangan2 pengaruh nonton di VCD yg notabene formatnya fullscreen. Sinematografi dan tata artistiknya tampak apa adanya (bukan pas2an yah), mungkin agar kesannya sederhana dan lebih believable. Music scorenya pun minim. Letak kualitas film ini memang terletak pada cerita, alur penceritaan dan akting Clint Eastwood. Pemeran Thao, Sue dan orang2 Hmong lainnya bisa dibilang kaku, maklum hampir semuanya bukanlah aktor betulan dan ini film pertama mereka, but that's okay. Film ini juga sedikit membuka wawasan gw bahwa ternyata ada etnis yg bernama Hmong yg jadi sekutu Amerika waktu perang Vietnam, lalu untuk menghindari pengusiran/pembasmian etnis (karena Amerika kalah, tentu saja) beberapa dari mereka diungsikan ke Amerika dan sampai kini membentuk komunitas etnis Hmong terbesar di luar benua Asia. Secara keseluruhan, Gran Torino adalah film bagus yg sekaligus menjadi “grand exit” bagi karir akting Clint Eastwood, serta menawarkan inspirasi agar manusia tidak menyia-nyiakan hidupnya dengan menjadi berarti bagi orang lain. Malahan, di film ini amanah tersebut bagi gw lebih mengena daripada film Up yg punya pesan serupa, jelas minus rumah terbang. Worth to watch.
My score: 8/10
Komentar
Posting Komentar