Festival Film Indonesia 2014: Catatan Hati Seorang Rookie

Sesuai tradisi gw sendiri, gw harusnya posting tentang Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) di blog ini. Tapiiii...berhubung sebuk bangget gyetoh, jadinya baru bisa posting sekarang. Maaf ya.

Well, sebenarnya sibuknya juga karena FFI 2014 ini sih. Lho kok bisa? Ya gitu deh, ehehehehe. Setelah bertahun-tahun cuma liat di TV, akhirnya gw untuk pertama kalinya berkesempatan datang menghadiri FFI langsung di lokasi, kali ini di Palembang, Sumatra Selatan, 5-6 Desember 2014 lalu. Karena kebetulan sekarang gw kerja di sebuah media online khusus film. It's a bit of a dream come true, tapi agak waswas juga karena ini FFI, sebuah ajang penghargaan film nasional gelaran pemerintah yang pasti addddaaa aja masalahnya tiap tahun.

Kita kesampingkan itu dulu, karena gw mau mengungkapkan bahwa Piala Citra FFI 2014 mungkin adalah yang paling memuaskan dari FFI yang terdahulu. At least sejak revival-nya tahun 2004 lalu. Menggunakan sistem baru berupa preferential voting per bidang (yang sebenarnya udah dilakukan Piala Maya sejak 2012, hehe), dan ditabulasi akuntan publik, ternyata menghasilkan daftar nominasi yang sangat memuaskan. Sebagian besar film-film yang masuk nominasi udah gw tonton dan gw rasa mereka cukup pantas mendapatkannya. Ada satu kendala sih ketika Maudy Koesnaedi sempat masuk di dua kategori untuk Soekarno, yaitu pemeran utama dan pendukung, you know simply karena masing-masing kelompok jurinya merasa she belongs in their group, namun kemudian dianulir. Ya ini pelajaran sih bahwa baik si voter maupun si akuntan publik (yup) harus sudah di-briefing siapa masuk kategori mana. Kalau ada salah kamar langsung dieliminasi. Gitu deh.


Dan kendala satu lagi adalah dengan sistem ini, bisa jadi nama-nama underdog akan luput, karena belum ada kampanye "for your consideration" ala-ala Hollywood gitu. Atau, kalau dalam sistem juri panel, nggak ada satu anggota yang bisa ngotot untuk memasukkan satu nominasi yang tidak diperhatikan anggota lain, tapi kalau yang ini sih lebih rawan kongkalikong ye.

Anyway, kesimpulan yang gw dapat dari pengalaman meliput FFI ini adalah....hasilnya amat sangat memuaskan. Dari pemenang Film Terbaik sampe ke Perancang Busana, gw bener-bener nggak ada komplain yang terlalu gimana gitu. Serius, Piala Citra FFI 2014 bisa jadi penyelenggaraan pasca-revival yang paling "bener", melampaui tahun 2011 dan 2008. Ya, mungkin gw agak bias karena pemenang Film Terbaiknya adalah Cahaya dari Timur: Beta Maluku, yang so far adalah film Indonesia paling gw sukai tahun ini. Tapi tetep aja seneng. Gw nggak pernah sesenang ini terhadap FFI. Well done, Badan Perfilman Indonesia (BPI) sebagai panitia.

Saking seneng sama hasilnya, sampe-sampe itu bisa menutupi uring-uringan gw tentang kendala penyelenggaraannya. Yup, kayak gw bilang, namanya FFI, pasti aaaadddda aja problemnya. Kali ini, problemnya terletak pada organizing, baik acara maupun akomodasi. Yang kasat mata adalah malam penganugerahan, yang menurut gw formatnya udah benar (iya saudara-saudara, award show itu emang ditakdirkan untuk boring bagi yang tak paham sama bidangya, sudahlah), tetapi ada kendala-kendala kecil nggak penting tapi nggak enak. Salah amploplah, udah di panggung amplopnya belum adalah, VT-nya typo-lah, VT yang keluar suara doanglah, pemenang yang kebetulan menang lagi keburu masuk ruang pers jadi gak denger kalau dia menang lagilah, dan yang agak parah sih skrip untuk MC acaranya yang kurang teliti.

Contoh, MC Steny Agustaf di awal coba menjelaskan sistem penjurian Piala Citra, dia bilang jurinya dari berbagai profesi. Itu mah Piala Maya cuy! Padahal kan jurinya dari para pekerja film profesional pemenang Piala Citra, plus juri tambahan dari bidang terkait--kritikus, budayawan, jurnalis, direktur festival, dll. Dan masih banyak lagi miss di sektor skrip acara, yang melebar ke beberapa bidang lain. Malah kayaknya acara di Piala Vidia cenderung lebih smooth. Untunglah musiknya baguuusss banget (pimpinan Ricky Lionardi. Perlu dicatet nih namanya), terutama pas segmen sejarah film Indonesia.

Ini belum lagi ada miss di organizer bidang akomodasi. Gw kayaknya nggak perlu permasalahin gw dan beberapa orang media lain yang dari luar Palembang kayak nggak ada yang ngurusin pas di sana mau ke mana-mana kayak anak ilang. Yah kita mah apa atuhlah -_-'. Tapi, seperti yang sempat diberitakan beberapa media, masak beberapa nomine dan juri (!) banyak yang nggak keangkut ke Palembang. Entah karena miscoordination atau, kayak dicurigai beberapa orang, "sabotase", beberapa dari mereka nggak terima undangan atau tiket sampai H-1. Nomine dan jurinya, loh. Ini kan seharusnya acara mereka, kok malah nggak diurus juga? Ini baru kelihatan jelas pas penganugerahan Piala Vidia 5 Desember, dari 13 kategori, yang ambil piala langsung cuma 5! Yang lain? Diwakilin, karena nggak keangkut. Gilingan. Akhirnya diambil solusi, yang seharusnya datang diminta tetap datang dengan biaya sendiri untuk nanti ditebus ke penyelenggara di tempat. Itulah kenapa, acara Piala Citranya terlihat lebih semarak. Untunglah.

Dengan segala kendala itu, gw jadi merasa bahwa FFI ini kayak dikutuk untuk selalu bermasalah. Entah siapa yang ngutuk atau bagaimana melepaskan kutukannya, gw sebenarnya tidak berharap itu terjadi. Seriusan, itu problem-problem bisa banget loh dihindari. Itu mah kendala macam pensi anak sekolahan, kok masih aja kejadian di event nasional yang berumur hampir setengah abad dan pake dana negara. Gregetan gw jadinya *uwel-uwel rumput*.

Untunglah, untuuung banget, hasil Piala Citranya memuaskan. Kalau enggak, pasti keungkit lagi keungkit lagi bahwa FFI bersimba kontroversi selalu. Dan untuuuung event ini semacam di-endorse oleh Presiden Joko Widodo yang datang (mungkin) sebagai simbol kepedulian negara terhadap film Indonesia. Segala drama yang berada di baliknya jadi agak terpinggirkan dari ingatan. Dan untuuuuunglah FFI 2014 jadi event rekonsiliasi geng yang dulu sempat nolak ikut FFI (Miles, Nia Dinata, Joko Anwar dkk), sehingga kompetisinya jadi lebih sahih. Pemandangan yang menyenangkan. Seakan human error yang terjadi terselamatkan oleh semesta.

And you think ngedadahin artis lewat is so last century.
Gw tadinya pengen melempar saran agar FFI dibikin di satu tempat/kota aja, biar meminimalisir keteledoran bidang organizing tadi. Rempong beb, musti ngangkut ratusan orang ke luar Jakarta, itu pun kalau keangkut semua. Paling jauh Bekasi lah, lumbung film Indonesia tuh =P. Tetapi, gw tahu itu bakal sedikit egois. Melihat langsung animo orang lokal dengan kehadiran para artis yang berpawai (ini again ciri khas kita), gw bener-bener bisa ngerasain excitement-nya. It's really something. Ini baru di Palembang. Bayangkan kalau di kota-kota lain. Kalau di Jabodetabek nyari artis kan tinggal pilih mau nemu di mal mana (hint: Plaza Senayan, fX, Pacific Place, Plaza Indonesia =P), sementara yang luar kota atau luar pulau, kapan lagi? Ya begitulah. Kalau mau tetap dengan konsep roadshow begini, panitia dan organizer-nya harus lebih bertanggung jawab lagi.

Okelah, setelah berpanjang-panjang curhat, gw akan ingatkan lagi para pemenang Piala Citra FFI 2014, plus beberapa komentar gw, hehehe. Selamat ya buat para pemenang.



I was there *pamer*

Film Terbaik:
Cahaya dari Timur: Beta Maluku
Gw agak hopeless ketika film ini kalah di banyak kategori teknis. Tadinya gw pikir, karena Tabula Rasa nggak masuk nominasi Film Terbaik, palingan yang paling berpotensi adalah Soekarno atau Sokola Rimba. Eeehh, film ini yang menang. Sorak sorailah beta.

Pemeran Utama Pria Terbaik:
Chicco Jerikho - Cahaya dari Timur: Beta Maluku
Very well-deserved. Dengan beberapa proyek film menarik dari bapak ini ke depannya, minimal Indonesia akhirnya punya leading man baru, nggak stuck di Reza atau Nico lagi. Oh, he did the Agnez Mo thing by thanking Jesus =).

Pemeran Utama Wanita Terbaik:
Dewi Irawan - Tabula Rasa
Gw pribadi jagokan sekali Atiqah Hasiholan di 3 Nafas Likas. Tetapi, aktris sekelas Dewi Irawan mungkin harusnya sudah punya 5 Piala Citra, so gw tetep senang karena filmnya juga cukup pas momennya. 

Pemeran Pendukung Pria Terbaik:
Yayu Unru - Tabula Rasa

Pemeran Pendukung Wanita Terbaik:
Tika Bravani – Soekarno

Sutradara Terbaik:
Adriyanto Dewo - Tabula Rasa
Gw udah ada feeling ketika ibu Dewi dan pak Yayu menang Citra. Tumbenlah feeling gw tepat di ajang semisterius FFI ini.

Penulis Skenario Adaptasi Terbaik: 
Riri Riza - Sokola Rimba
Cieeee sekalinya ikut FFI lagi langsung dapet Piala lagi =D.

Penulis Skenario Asli Terbaik:
Tumpal Tampubolon - Tabula Rasa

Penata Musik Terbaik:
Fajar Yuskemal, Aria Prayogi – Killers

Penata Suara Terbaik:
Fajar Yuskemal, Aria Prayogi, Yusuf A. Patawari – Killers

Pengarah Sinematografi Terbaik:
Nur Hidayat - Sebelum Pagi Terulang Kembali


Penyunting Gambar Terbaik:
Cesa David Luckmansyah, Wawan I. Wibowo – Soekarno
Mudah-mudahan yang dimaksud adalah Soekarno Extended Version. Lebih suka (dan lebih bagusan) yang itu tuturannya daripada yang versi biasa.

Penata Efek Visual Terbaik:
Eltra Studio, Adam Howarth – Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
ya kasihlah...

Pengarah Artistik Terbaik:
Allan Sebastian – Soekarno
Menurut gw bapak ini harusnya menang di Soegija. But, ini tetep well-deserved.

Penata Busana Terbaik:
Retno Ratih Damayanti – Soekarno

Film Pendek Terbaik:
Onomastika (sutr. Loeloe Hendra)


Film Dokumenter Terbaik:
Dolanan Kehidupan (sutr. Afina Fahtu M., dan Yofa Arfi)


Film Animasi Terbaik:
Asia Raya (sutr. Anka Atma Adinegara)


Lifetime Achievement Award:
Slamet Rahardjo


Penghargaan Khusus Juri untuk Pemeran Anak:
Tissa Biani Azzahra – 3 NafasLikas
Nengkabau – Sokola Rimba


Penghagaan Khusus Juri Film Dokumenter:
Garis Depan: Yang Terlupakan di Ujung Atambua (Kompas TV)


Penghargaan Khusus Juri Film Animasi:
The Demits (sutr. Ruben Adriano)

Komentar