Soekarno
(2013 - Multivision Plus)
Directed by Hanung Bramantyo
Written by Ben Sihombing, Hanung Bramantyo
Produced by Raam Punjabi
Cast: Ario Bayu, Maudy Koesnaedi, Lukman Sardi, Tika Bravani, Tanta Ginting, Ferry Salim, Mathias Muchus, Nobuyuki Suzuki, Agus Kuncoro, Argo, Sujiwo Tejo, Emir Mahira, Osa Aji Santoso, Ayu Laksmi, Norman Akyuen, Rukman Rossadi, Patton
Kayaknya membuat film biografi tokoh terkenal di Indonesia akan selalu problematik, apalagi kalau tokohnya sebesar Soekarno, presiden pertama RI. Problematik bisa dari tokoh/pendukungnya nggak mau sisi negatif si tokoh digambarkan dalam film karena entar dibilang pencemaran citra *yeah sure*, atau dinilai tidak betul-betul akurat/kurang faktual *kayak paling tau aja*, atau dari sisi pembuatan filmnya sendiri kesulitan mencari benang merah yang membuat kisah hidup si tokoh menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Film-film biografi Indonesia akhir-akhir ini pasti punya setidaknya salah satu dari problem di atas. Habibie & Ainun masih ada sedikit unsur "pembelaan diri" dari tokoh yang bersangkutan. Sang Kiai mengandalkan banyak tulisan untuk menggambarkan peristiwa sejarah sampe capek bacanya, banyak typo lagi. Yang paling "selamat" adalah 9 Summers 10 Autumns, karena di sana ada kejujuran, ada inti cerita, dan detil kisahnya dijaga dengan cukup baik. Yah tokohnya juga belum terkenal-terkenal amat sih =P.
Nah, sekarang hadir Soekarno, kolaborasi kolosal sejarah kedua dari sutradara Hanung Bramantyo dan produser kesayangan kita semua, Raam Punjabi, setelah Sang Pencerah. Proyek ini terbilang risky kalau menurut gw. Pertama, karena gw belum pernah benar-benar puas terkesan sama film-filmnya Hanung, filmnya nggak pernah sampe membuat gw rela kasih ponten sampe 8/10. Kedua, ini soal Ir. Soekarno, tokoh yang banyak diidolakan dan dijaga betul citranya, khususnya oleh anak-anaknya yang sebagian besar terjun ke politik. Berbagai persoalan, penolakan, kecaman, bahkan tuntutan terhadap film ini sepertinya bukan lagi hal yang mengejutkan. Film besar, tentang tokoh besar, pasti semua orang ingin ambil bagian, atau setidaknya ikut komentar seakan kebenaran hanya mereka punya. Sayang, Bunda Dorce tidak tampil di TV lagi untuk selalu mengingatkan bahwa kesempurnaan hanya milik Yang di Atas.
Gw pernah mendengar statement dari Hanung Bramantyo tentang alasan pemilihan cerita dalam film Soekarno ini. As you know, Ir. Soekarno punya kehidupan yang penuh dengan cerita, kepribadiannya pun sangat berwarna, dari lahir hingga wafatnya. Karena itulah, Hanung memilih bagian yang "paling nggak bikin tersinggung", tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia...walau ternyata masih ada aja yang tersinggung. Anyway, berangkat dari pernyataan itu, gw pun mencoba menangkap jalan cerita film Soekarno dari sudut itu. Dan memang iya, seperti Sang Pencerah yang berinti pada terbentuknya Muhammadiyah, Soekarno juga (maksudnya) mengambil proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno sebagai benang merah cerita di samping menceritakan tentang sosok Soekarno sendiri. Secara konsep, ini bagus.
Meski lahir dari keluarga Jawa (dengan ibu dari Bali) yang berada, Soekarno (Ario Bayu, versi kecilnya Osa Aji Santoso, versi remajanya Emir Mahira) sudah menyadari ketidakadilan pemerintahan kolonial Belanda, termasuk diskriminasi yang dialaminya ketika berkunjung ke rumah anak cewek Belanda yang ditaksirnya. Itu more or less memotivasinya untuk ikut dalam gerakan nasionalis menuju kemerdekaan Indonesia ketika besar. Persoalan apakah semua proses menuju itu diungkap dengan akurat sesuai sejarah, itu gw kurang tahu. Gw sih emang merasa ada beberapa bagian seperti ke-skip, atau sengaja di-skip, seperti cara Soekarno bisa terkenal dan dihormati seantero Hindia Belanda, pembuangannya di Ende, juga peran penting istrinya, Inggit Ganarsih (Maudy Koesnaedi) dalam perjuangan Soekarno, dan lain-lain lah. Mungkin, pembuat film ini agak keteteran karena saking banyaknya detil yang harus diangkat. Hence, film ini terjangkit masalah "kurang lengkap" seperti yang gw singgung di atas. Apa mungkin karena terlalu banyak referensi berbagai versi jadi penulis naskahnya jadi keblinger? Perhaps.
Meski lahir dari keluarga Jawa (dengan ibu dari Bali) yang berada, Soekarno (Ario Bayu, versi kecilnya Osa Aji Santoso, versi remajanya Emir Mahira) sudah menyadari ketidakadilan pemerintahan kolonial Belanda, termasuk diskriminasi yang dialaminya ketika berkunjung ke rumah anak cewek Belanda yang ditaksirnya. Itu more or less memotivasinya untuk ikut dalam gerakan nasionalis menuju kemerdekaan Indonesia ketika besar. Persoalan apakah semua proses menuju itu diungkap dengan akurat sesuai sejarah, itu gw kurang tahu. Gw sih emang merasa ada beberapa bagian seperti ke-skip, atau sengaja di-skip, seperti cara Soekarno bisa terkenal dan dihormati seantero Hindia Belanda, pembuangannya di Ende, juga peran penting istrinya, Inggit Ganarsih (Maudy Koesnaedi) dalam perjuangan Soekarno, dan lain-lain lah. Mungkin, pembuat film ini agak keteteran karena saking banyaknya detil yang harus diangkat. Hence, film ini terjangkit masalah "kurang lengkap" seperti yang gw singgung di atas. Apa mungkin karena terlalu banyak referensi berbagai versi jadi penulis naskahnya jadi keblinger? Perhaps.
Gambar filmnya memang tampak sekeren still photos-nya. |
Tetapi, jika merujuk pada judul Soekarno, menurut gw film ini sudah cukup seimbang dalam hal menggambarkan pribadi Ir. Soekarno. Again terlepas dari akurat atau enggaknya, secara gw juga belum lahir waktu itu, just like most people, tapi gw lumayan bisa put the pieces together tentang pribadi Soekarno yang ada di dalam film ini. Sebelum ini, gw nggak pernah menyaksikan kisah Soekarno sang pejuang kemerdekaan dan Soekarno yang rumah tangganya yang penuh dinamika diceritakan dalam satu platform, dan bagaimana kedua sisi itu saling memperngaruhi. Kita tahu Soekarno itu penuh wibawa, bervisi jelas, tiap pidato selalu berapi-api, tegas, dan tahu apa yang dia lakukan meski diragukan banyak pihak. Tapi, kita juga banyak tahu kalau Soekarno terkenal sebagai pengagum kaum wanita, yang terkadang menimbulkan permasalahan. Di film ini, gw melihat bahwa di tengah-tengah perjuangan yang berat menuju kemerdekaan, ia juga harus mengalami masalah rumah tangga yang pelik, yang di sini direpresentasikan lewat dilema antara mempertahankan Inggit yang tak mau dimadu, atau tetap menikahi mantan muridnya di Bengkulu, Fatmawati (Tika Bravani). Menurut gw, drama rumah tangga ini direpresentasikan dengan menarik, at least dramatis, sehingga membuat sosok Soekarno di sini jadi membumi. Gw senang, karena jadinya tidak ada pencitraan berlebihan.
Film Soekarno mungkin masih kurang komplit, entah itu kurang komplit data dan faktanya, ataupun kurang komplit sebagai sebuah film cerita yang utuh. Tetapi, untuk memperkenalkan kembali sosok Soekarno kepada audiens yang luas masa kini, I think it's fine. Gw suka banget production value-nya, gw suka look dan warna visual film ini yang kelihatan kayak "film beneran", gw pun menikmati setiap performance dari para aktornya. Highlight-nya sih buat gw adalah Ario Bayu yang terbukti bisa mempertanggungjawabkan perannya sebagai seorang tokoh bangsa yang besar dengan serius. Meski dari segi muka jauh, tetapi sikap, gestur, dan pembawaan karakternya pas. Tidak serta merta meniru, mungkin karena sadar dirinya nggak mirip Soekarno, tapi passable-lah untuk jadi Soekarno dalam era itu, bikin gw lumayan percaya untuk sementara bahwa seorang Soekarno bisa saja seperti yang diperankan Ario. Wibawanya oke, gombalnya juga oke =D. Metode apapun yang Ario gunakan untuk peran ini, it works.
Jadi, kalau mau dirangkum ocehan 6 paragraf gw tadi, gw suka melihat film ini, tapi gw kurang dapat informasi cukup dari ceritanya yang agak skip-skip, but then again gw suka sama pembawaan para aktornya, dan suka sama penggambaran drama rumah tangga Soekarno, something that I know everybody has been looking forward to see in a film. Directing-nya oke, tapi agak lucu juga sih kalau gw inget satu adegan Soekarno, Hatta (Lukman Sardi), dan Sutan Sjahrir (Tanta Ginting) lagi diskusi, mereka bergantian mengujarkan dialog sambil berdiri balik badan menghadap jendela, classic XD. Di luar semua itu, gw masih menikmati jalannya film ini sehingga 2 jam 15-an menit lebih durasinya nggak berasa-berasa amat. Gak rugi lah bayar tiket nontonnya. Tapi, mas Hanung, pontennya masih belum 8/10 ya dari saya =P...
Film Soekarno mungkin masih kurang komplit, entah itu kurang komplit data dan faktanya, ataupun kurang komplit sebagai sebuah film cerita yang utuh. Tetapi, untuk memperkenalkan kembali sosok Soekarno kepada audiens yang luas masa kini, I think it's fine. Gw suka banget production value-nya, gw suka look dan warna visual film ini yang kelihatan kayak "film beneran", gw pun menikmati setiap performance dari para aktornya. Highlight-nya sih buat gw adalah Ario Bayu yang terbukti bisa mempertanggungjawabkan perannya sebagai seorang tokoh bangsa yang besar dengan serius. Meski dari segi muka jauh, tetapi sikap, gestur, dan pembawaan karakternya pas. Tidak serta merta meniru, mungkin karena sadar dirinya nggak mirip Soekarno, tapi passable-lah untuk jadi Soekarno dalam era itu, bikin gw lumayan percaya untuk sementara bahwa seorang Soekarno bisa saja seperti yang diperankan Ario. Wibawanya oke, gombalnya juga oke =D. Metode apapun yang Ario gunakan untuk peran ini, it works.
Jadi, kalau mau dirangkum ocehan 6 paragraf gw tadi, gw suka melihat film ini, tapi gw kurang dapat informasi cukup dari ceritanya yang agak skip-skip, but then again gw suka sama pembawaan para aktornya, dan suka sama penggambaran drama rumah tangga Soekarno, something that I know everybody has been looking forward to see in a film. Directing-nya oke, tapi agak lucu juga sih kalau gw inget satu adegan Soekarno, Hatta (Lukman Sardi), dan Sutan Sjahrir (Tanta Ginting) lagi diskusi, mereka bergantian mengujarkan dialog sambil berdiri balik badan menghadap jendela, classic XD. Di luar semua itu, gw masih menikmati jalannya film ini sehingga 2 jam 15-an menit lebih durasinya nggak berasa-berasa amat. Gak rugi lah bayar tiket nontonnya. Tapi, mas Hanung, pontennya masih belum 8/10 ya dari saya =P...
My score: 7,5/10
Akhirnya...., review nih film keluar juga. Uda gua nanti-nanti review di ajirenji tentang film yang bikin penasaran ini. Menarik sih kalo dari reviewnya(blum nonton).
BalasHapus*dipikir pikir Indonesia ini negeri penuh kepentingan ya(sensitif), alias banyak menabukan dan merasa terusik dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu/kurang prioritas. Sedangkan hal-hal prioritas justru sering hanya ada di omongan, kenyataannya justru terbengkalai. Padahal untuk menjadi bangsa yang sejahtera dan disegani, adalah penting memperbaiki permasalahan utama yang memang prioritas ketimbang mengurusi urusan2 lainnya.Aku bisa bilang banyak orang macam begini di Indonesia(tulisan ini berbau curcol dan OOT.., wkwk).
Haha, curcolnya oke juga nih. Jadi teringat bahwa film ini juga menunjukkan Soekarno (dan Hatta yang mengambil keputusan-keputusan dengan prioritasnya jelas, sekalipun awalnya dianggap keliru oleh orang-orang lain. Boleh lho ditonton filmnya =)
Hapusuda nonton sih, intinya puas.., emang bagus IMO
Hapus