Sanubari Jakarta
(2012 - Kresna Duta Foundation/Ardhanary Institute/Ford Foundation)
Directed by Tika Pramesti ("1/2"), Dinda Kanyadewi ("Malam Ini Aku Cantik"), Lola Amaria ("Lumba-Lumba"), Alfrits John Robert ("Terhubung"), Aline Jusria ("Kentang"), Adriyanto Dewo ("Menunggu Warna"), Billy Christian ("Pembalut"), Kirana Larasati ("Topeng Srikandi"), Fira Sofiana ("Untuk A"), Sim F. ("Kotak Cokelat")
Written by Laila "Lele" Nurazizah
Produced by Lola Amaria, Fira Sofiana
Cast: Hernaz Patria, Irfan Guchi, Pevita Pearce, Dimas Hary CSP, Dinda Kanyadewi, Ruth Pakpahan, Agastya Kandou, Permatasari Harahap, Illfie, Gia Partawinata, Haffez Ali, Rangga Djoned, Albert Halim, Gesata Stella, Herfiza Novianti, Deddy Corbuzier, Arswendi Nasution, Miea Kusuma, Reuben Elishama Hadju
Lagi ngehit nih di Indonesia yang namanya film omnibus, sebuah film yang terdiri atas segmen-segmen berupa film-film pendek bertema sama, atau kalo istilah kaset tuh "kompilasi". Sebelumnya tahun ini sudah ada Dilema yang bertema kriminalitas, lalu baru saja ada Hi5teria yang bergenre horor. Sekarang hadir lagi Sanubari Jakarta yang berisi 10 film dari 10 kru berbeda yang mengusung tema kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Kasusnya mirip film Mata Tertutup kemarin, konon film ini tidak direncanakan tayang secara komersial, toh seperti terlihat di kredit produksinya film ini merupakan "proyek yayasan" yang tadinya cuman untuk ditayangkan dalam forum, komunitas dan festival-festival, eh ternyata bisa juga untuk tayang secara komersial yang artinya bisa ditonton secara lebih luas. Meskipun masih isu ini tabu dalam masyarakat dan hukum kita, LGBT bukanlah tema yang baru, malah kayaknya hampir semua film Indonesia era 2000-an pasti ada unsur ini. Sanubari Jakarta secara khusus menyampaikan rupa-rupa cerita yang berkaitan dengan kaum LGBT dengan pendekatan dan presentasi yang berbeda pula satu dengan yang lainnya, tapi rata-rata drama sih.
Dibuka dengan "1/2", bergaya simbolik tentang kebersamaan dua orang pemuda (Hernaz Patria, Irfan Guchi), namun secara simultan ada sosok perempuan (Pevita Pearce) menggantikan salah satu dari mereka melewati kejadian yang serupa. Gw langsung menyatakan karya Tika Pramesti inilah segmen favorit gw, karena menggunakan simbol-simbol visual yang agak ganjil tapi cantik dan punya makna di akhir cerita begitu semua terungkap, halus sekaligus jelas apa maksudnya, sangat cocok sebagai materi film pendek. Agak mirip video klip, tetapi setidaknya membuatnya jadi sebuah segmen pembuka yang nendang dan impresif. Dan benar saja, segmen-segmen selanjutnya tidak ada yang sampai mengesankan gw seperti "1/2". Mungkin yang cukup mengesankan adalah segmen kelima, "Kentang" karya Aline Jusria, tentang sepasang cowok muda (Gia Partawinata, Haffez Ali) yang niatnya bercinta di sebuah kamar kost tapi selalu terganggu oleh situasi serta pertengkaran mereka sendiri. Segmen ini mungkin paling diingat karena paling lucu entah dari cerita, dialog, pemain, maupun simbol yang digunakan—yang satu pake atribut "khas" tapi yang satunya lagi memakai atribut yang lazim dianggap "laki banget".
Beberapa segmen lainnya menurut gw lumayan, nggak jelek tetapi masih kalah mengesankan dari yang dua tadi. Ada yang ceritanya biasa tapi penggarapannya menarik, atau sebaliknya. Segmen ketiga, "Lumba-Lumba" karya Lola Amaria mengisahkan seorang guru TK (Dinda Kanyadewi) yang saling tertarik dengan seorang ibu dari muridnya (Ruth Pakpahan), diberi satu poin unik bahwa mereka bisa "klik" gara-gara sebuah fakta soal seksualitas lumba-lumba, hewan yang digambar oleh anak-anak di TK. Label unik juga perlu disematkan pada segmen ketujuh, "Pembalut" karya Billy Christian, tentang sepasang wanita yang memadu kasih terakhir kali karena salah satunya akan menikah, namun semua karakter ini dimainkan oleh satu orang aktris saja (Gesata Stella). Pendekatan berbeda juga digunakan Adriyanto Dewo dalam "Menunggu Warna", berkisah tentang perjalanan cinta pasangan pria sesama pekerja pabrik (Rangga Djoned dan Albert Halim)...or is it? *hehe*. Segmen ini dipresentasikan dengan gambar hitam-putih dan menggunakan gaya kayak film 3-Iron, yaitu dua tokoh utamanya tidak terlihat berbicara. Segmen kesembilan, "Untuk A" karya Fira Sofiana simply bercerita tentang seorang pria paruh baya (Arswendi Nasution) yang tiba-tiba membuka kembali mesin tik lama lalu mengetik kenangannya tentang cinta pertamanya sekaligus mengungkapkan masa lalunya. Segmen terakhir, "Kotak Cokelat" karya Sim F. sebenarnya terlihat seperti drama romantis biasa namun kisahnya cukup menarik, tentang hubungan cinta seorang pria (Reuben Elishama) dan wanita perancang busana (Miea Kusuma) yang ternyata sewaktu kecil pernah bertemu dalam situasi yang jauh berbeda.
Sedangkan tiga segmen lainnya menurut gw pribadi sih masih dalam vonis "coba lagi deh". "Malam Ini Aku Cantik" karya Dinda Kanyadewi, tentang kegiatan seorang waria tuna susila (Dimas Hary CSP) dan rahasia dibalik identitasnya, di luar kisahnya yang provokatif tapi familiar, nggak istimewa segitunya. Segmen "Terhubung" karya Alfrits John Robert tidaklah kuat di cerita, hanya tentang dua perempuan dalam ruang berbeda dan pergumulan masing-masing (Permatasari Harahap, Illfie) yang di ujung cerita bertemu di tempat beli BH, tauk dah jadian atau enggak (eh spoiler =P). Dan mungkin yang paling menimbulkan kernyit dahi adalah segmen "Topeng Srikandi" karya Kirana Larasati, berkisah tentang seorang wanita yang jadi pria di kantornya. Meski cukup meyakinkan dengan adanya footage narasi wayang kulit, tetapi eksekusinya tidak meyakinkan, malah jadi menkhotbahi. Efek dramatisnya juga menguap, mungkin karena udah di-spoil sejak awal bahwa tokoh yang dimainkan Herfiza Novianti itu wanita...dan yang paling mengesalkan adalah Deddy Corbuzier nggak mau lepas dari make-up biasanya =b.
Menarik bahwa secara keseluruhan film kembali mengingatkan bahwa kaum termarjinalkan seperti kaum LGBT sesungguhnya punya permasalahan mendasar yang nggak beda jauh sama orang-orang kebanyakan, dan bahwa LGBT itu tidak pernah terbatas pada lingkup ekonomi, profesi, usia, suku/ras, sosial atau agama...ataupun selera musik =P. Diproduseri oleh Fira Sofiana dan Lola Amaria (yang sukses unjuk kebolehan lewat Minggu Pagi di Victoria Park), dengan masing-masing segmen berdurasi kurang dari 10 menit, secara pengurutan sih gw merasa fine-fine aja dengan film ini, nggak terlalu ngebosenin, mungkin karena udah ada setelan kesadaran bahwa kalau ngebosenin pun bentar lagi abis segmennya =D. Kecuali Lola Amaria, rata-rata sutradara tiap segmen belum dikenal publik awam, namun bukan berarti tidak dikenal sama sekali. Ada Aline Jusria, yang sebelum ini dikenal sebagai editor pemenang piala Citra dua tahun berturut-turut (Minggu Pagi di Victoria Park, Catatan Harian Si Boy), lalu ada aktris Kirana Larasati serta bintang sinetron whom people love to hate Dinda Kanyadewi. Jadi gw akan memberikan selamat dan salut kepada para penggarap 10 segmen film dalam Sanubari Jakarta ini karena sudah cukup baik menjalankan tugasnya, menyampaikan pesan sekalian menjadi ajang unjuk potensi dan kemampuan mereka di bidang sinema. Not bad at all. Big applause untuk kru "1/2" khususnya penata artistik dan sinematografi-nya, keren =).
My score: 7/10
Untuk daftar judul, pemain dan kru yang lengkap silahkan mampir ke artikel di Tempo.co
pingin nonton filmnya juga....
BalasHapuspingin nonton filmnya juga....
BalasHapus