Mata Tertutup
(2012 - Maarif Production/SET Film)
Directed by Garin Nugroho
Written by Tri Sasongko
Produced by Asaf Antariksa, Endang Tirtana
Cast: Jajang C. Noer, M. Dinu Imansyah, Eka Nusa Pertiwi, Kukuh Riyadi
Mata Tertutup mungkin pada dasarnya sebuah film "titipan". Diprakarsai lembaga humaniora nasional berbasis Islam, Maarif Institute (didirikan oleh mantan ketua Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif), Mata Tertutup ingin dijadikan sarana pembelajaran dan...yah sekaligus propaganda tentang bahaya dari suatu gerakan radikal yang dikenal sebagai NII, Negara Islam Indonesia. Dengan tema dan "niatan" tersebut, sangat wajar bila film yang sudah kelar tahun 2011 ini awalnya berkeliling untuk diputar di kampus-kampus, komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Namun kemudian, film ini akhirnya dirilis di bioskop komersial tahun ini, wow berani banget ya....berani bukan soal temanya yang provokatif, tapi berani ambil risiko nggak laku, hehehe. Film beginian gitu loh. Pemain yang terkenal di sini cuman Jajang C. Noer, sisanya konon adalah aktor "comotan" dari teater-teater di Jogja dan Solo, pun seterkenal-terkenalnya nama sutradara Garin Nugroho, maap-maap nih, beliau terkenalnya sebagai pembuat film "nyeni" yang jarang laku secara bisnis. Tetapi melihat sendiri Mata Tertutup—dengan mata terbuka tentu saja B-)—gw mendapatkan hal yang cukup ridiculous, dimana pesan titipan+pemain tak terkenal+citarasa seni Garin Nugroho malah menghasilkan sebuah karya yang mudah dicerna, berbobot dan menggugah, tanpa terlihat terpaksa.
Mata Tertutup menggelar 3 plot terpisah dalam satu seting ruang kota Jogjakarta, namun semuanya dituturkan secara selang-seling. Kalau gw boleh menalar, 3 plot ini mewakili 3 sisi berbeda terkait dengan NII. Dari sisi "perekrutan", ada Jabir (M. Dinu Imansyah), sehabis DO dari pondok pesantren karena ibunya sudah tidak bisa lagi membiayai, bersama sahabatnya yang gemar ngebodor, Husni (Kukuh Riyadi) mulai coba kerja serabutan di terminal, hingga mereka bertemu dengan seorang sales buku Islami, yang kemudian pelan-pelan mengajak mereka ke pengajian kelompoknya sampai menawarkan untuk berbuat "sesuatu" sebagai bakti kepada agama dan orang tua. Kemudian sisi "di dalam NII" melalui pengisahan tokoh Rima (Eka Nusa Pertiwi), seorang pemudi aktif berpikiran cukup kritis yang sebenarnya berasal dari keluarga yang fine-fine aja dan berkecukupan. Ia direkrut NII hingga dirinya menjadi kader yang berprestasi, karena dapat mengumpulkan banyak anggota baru beserta dana besar dalam waktu cepat. Kisah Rima inilah yang menjadi insight akan apa itu NII, dari cara perekrutan, cara indoktrinasi, prinsip-prinsip, ritual-ritual, hukum-hukum berlaku, dan penjabat-pejabat yang berwenang. Ketiga dari sisi dampak pada keluarga, ada seorang ibu perantau asal Minang, Asimah (Jajang C. Noer) yang mendapati putrinya yang seorang mahasiswi kedokteran bernama Aini mengambil sejumlah uang lalu kabur dari rumah tak kunjung pulang. Asimah begitu panik apalagi mengingat belum lama ini suaminya juga pergi meninggalkan anak-istrinya. Kabar kawan dan pihak kampus mengatakan Aini diduga tergabung dalam NII. Asimah nggak tau apa itu NII selain bahwa itu semacam kelompok sesat, yang pasti ia berusaha dengan segenap kekuatannya untuk dapat menemukan putrinya itu.
Tadinya gw udah siap-siap aja memilih satu plot favorit, tetapi gagal. Kenapa? Karena ketiga kisah yang disampaikan film ini sama-sama bikin terenyuh. Terenyuh sama Jabir, wakil dari kalangan miskin yang terbentur keadaan hidup yang tenang namun keras, yang seakan nrimo banget walau sebenarnya itu karena kebingungan. Terenyuh sama Asimah yang susah payah mencari putrinya dengan keterbatasan daya upaya. Terenyuh pula pada Rima yang mencari "tempat" bagi cita-citanya, memperbaiki keadaan dan kesetaraan kesempatan pada perempuan. Lho maksudnya? Ya, terenyuh karena gw paham juga kenapa ia bisa mengira NII dapat mewadahi aspirasinya. Terlepas dari kegiatan NII yang sesat dan sebagainya, motivasi orang-orang hingga akhirnya bisa masuk jadi anggota NII sesungguhnya didasarkan pada argumen-argumen kuat. Negara kita saat ini memang tampak payah, sangat kurang rasa aman nyaman damai apalagi sejahtera, nah datangnya NII, yang mengklaim sebagai solusi tentu tidak sukar dalam menarik perhatian dan simpati, apalagi pake bawa-bawa agama—di Indonesia 'kan masih banyak orang yang ciut nyali berpikir kritisnya kalo ada yang bawa-bawa agama, jadi kerap mudah terpedaya oleh pihak-pihak yang memanfaatkan itu untuk kepentingan tersendiri, including politics and businesses—terutama bagi orang-orang yang sedang gundah, entah itu karena keadaan ekonomi (Jabir) dan sosial (Rima) negara ini, atau bahkan "hanya" masalah keluarga (Aini).
Sebenarnya akan panjang kalau membicarakan apa yang tersajikan dalam film ini. 90-an menit durasi Mata Tertutup memang mengusik perhatian dan perenungan kita terhadap keadaan di sekitar. Apalagi isu-isu dalam Mata Tertutup terlalu nyata untuk dicuekin, kejadian-kejadian serta prosesnya yang ada di film ini bukan karang-karangan belaka. NII memang ada, yang bertujuan mengambil alih pemerintahan RI yang dianggap "salah", perekrutan anak-anak kampus itu pun betulan terjadi karena teman-teman gw semasa kuliah ada yang pernah bersentuhan langsung dengan gerakan campuran separatis, kudeta, dan kultus relijius ini. Film ini memberi wawasan yang agak lebih luas dari apa yang sudah gw pernah denger. Mungkin yang paling striking adalah kegiatan-kegiatan NII dalam kisah Rima. Teman-teman Muslim mungkin akan lebih berasa, karena secara gamblang ditunjukkan bahwa para pejabat dan pemimpin NII ini memanfaatkan penggalan ayat-ayat kitab suci sebagai dasar (dan pembenaran) tindakan-tindakannya, mulai dari cara mengadili sampai cara memotivasi anggotanya mengumpulkan dana sebanyak mungkin dengan cara apapun (termasuk mengambil harta milik keluarga, malah di-encourage lho) untuk NII. Namun terlepas dari itu, seperti gw singgung sebelumnya, film ini bukan sekadar bilang "NII itu sesat", tetapi juga memancing pemikiran alasan mendasar kenapa gerakan-gerakan seperti ini muncul dan orang-orang yang tumbuh dalam otoritas Republik Indonesia mau saja berpindah haluan ke gerakan-gerakan ini. Ini yang membuat Mata Tertutup jauh dari kesan "menggurui" (kecuali di end credit, hehe), lebih ke "mendoseni" mungkin =P.
Enough about that terlalu serius stuff =). Apa yang sekilas disangka tak beda dari iklan layanan masyarakat, kampanye anti-separatisme atau contoh kasus dalam pelajaran Kewarganegaraan ternyata disajikan dalam 3 kisah yang masing-masing terbilang rinci, emosional, serta mengikat perhatian. Penonton memang dijejali dengan informasi-informasi (yang gw sebut "titipan" tadi), namun ini tetap "film betulan", yang mempunyai dimensi artistik yang dapat menyentuh sisi kemanusiaan, nggak sekedar ngasih tau atau "ngajarin" doang. Visual dan tata adegan khas Garin yang artistik (dan seperti tidak terpikirkan oleh sineas lain) tetaplah mencuat, tak kalah menonjol dengan konten cerita filmnya, sinematografinya bagus. Performa pemain pun sangat meyakinkan sekaligus tidak dibuat-buat, kalo istilah gw real acting *halah sok banget*—konon saat syuting harus banyak improvisasi karena skenarionya cuman garis besar adegan doang. Mungkin ini keuntungan memakai aktor yang terlatih di teater, mereka selalu mengisi layar dengan sikap dan tindakan yang bebas tapi tidak di luar konteks, bukannya cuman bengong doang dengan ekspresi palsu kayak para pemain sinetron kita. Oh ya, ada juga "konten daerah" seperti (konon) kebiasaan Garin yang tercakup di sini, yaitu penggunaan bahasa Jawa (dalam berbagai variasi), juga bahasa Minang yang dibawakan dengan leluasa oleh Jajang C. Noer.
Jadi kalo mau dibikin catatan, Mata Tertutup ini film yang hampir ideal: punya cerita yang mudah dicerna dan dipahami, eksekusi audio visual serta akting ciamik, tema penting dan aktual, penggambaran realita yang realistis, ada pengetahuan, ada pesan moral (heuheuheu), ada representasi ke-Indonesia-an yang bukan cuma ibukota, ada lucunya juga (tokoh Husni yang menyanyikan lagu pop Indonesia pake bahasa Jawa, sama gerak-gerik panik ala emak-emak tokoh Asimah =D) jadi yah relatif menghibur, nggak bikin ngantuk (ritmenya pelan tapi pasti), dsb dsb. A good movie, sekaligus sarana pengetahuan yang efektif nan dewasa, harusnya ditonton oleh kalangan luas. Sekarang masyarakat pada mau nggak datang untuk menonton film bertema serius kayak gini?
My score: 8/10
Hmmm, cukup menyentuh juga ya, tapi gw masih nunggu The Raid aja nich...
BalasHapus