[Movie] Jenderal Soedirman (2015)


Jenderal Soedirman
(2015 - Padma Pictures/Mabes TNI-AD/Yayasan Kartika Eka Paksi)

Directed by Viva Westi
Written by Viva Westi, TB Deddy Safiudin
Produced by Handi Ilfat, Sekar Ayu Asmara, M. Nolizam, Ratna Syahnakri
Cast: Adipati Dolken, Ibnu Jamil, Gogot Suryanto, Hans de Kraker, Anto Galon, Surawan Prihatnolo KA, Gregorius Andika SN, Angga Riyadi, Wawan Cenut, Anintriyoga Dian P, Abdus Samad, Ahmadulloh, Anggi Agus S, Ahmad Ramadhan A., Mathias Muchus, Baim Wong, Nugie, Lukman Sardi, Eric van Loon, Annisa Hertami


Naiknya jumlah produksi film Indonesia memasuki milenium berimbas pula pada semakin seringnya film biografi tokoh sejarah Indonesia dibuat belakangan ini. Salah satu keuntungan dari film jenis ini adalah bahan-bahan untuk menyusun cerita relatif sudah tersedia. Tetapi, tantangannya adalah memilih mana yang mau diceritakan, sisi apa yang mau ditunjukkan, dan bagaimana mengolahnya menjadi sebuah tontonan yang utuh sekaligus appealing untuk penonton luas. Film Jenderal Soedirman garapan Viva Westi mungkin yang paling jeli dalam menyiasati tantangan itu.

Dalam beberapa film sejarah atau biografi, langkah yang umum diambil adalah menceritakan satu tokoh dari awal hingga akhir hidupnya. Atau, ada juga yang mengisahkan perjalanan panjang dari hal yang diperjuangkan tokoh tersebut, seperti bisa dilihat di film Sang Pencerah, Soekarno, atau Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Namun, Jenderal Soedirman mengambil jalur yang lebih mikro, yaitu tentang perang gerilya yang dilakukan Soedirman sebagai respons atas agresi militer kedua Belanda di Indonesia tahun 1948, hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia di tahun 1949.

Film ini dibuka dengan latar belakang singkat soal Soedirman sebagai pemimpin tentara Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, Soedirman (Adipati Dolken) terpilih menjadi panglima besar tentara Indonesia. Soedirman sendiri menyatakan tunduk pada pemerintahan Republik Indonesia yang sah pimpinan Soekarno dan Hatta. Akan tetapi, keadaan negara tidaklah mulus karena masih berprosesnya pembentukan pemerintahan, yang kerap menimbulkan gejolak politik dan perpecahan. Ditambah lagi, pemerintah Belanda masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia—pemerintahan Indonesia dan pendukungnya dianggap sebagai kriminal pemberontak pemerintah kolonial.

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua ke ibukota Indonesia saat itu, Yogyakarta. Belajar dari pengalaman agresi militer pertama Belanda di tahun 1947, Soedirman hendak turun langsung dalam perang gerilya, mengingat personel, keahlian, dan persenjataan yang tak seimbang dengan tentara Belanda. Presiden Soekarno (Baim Wong) sendiri lebih memilih jalan perundingan, dan membujuk Soedirman untuk tinggal di Yogyakarta karena sang jenderal tengah sakit parah. Akan tetapi, Soedirman tetap teguh pada rencana semula, dan dimulailah strateginya memimpin gerilya bersama hanya belasan anggotanya melintasi hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, demi menunjukkan bahwa Indonesia masih punya kekuatan dan tak akan menyerah pada Belanda.

Mulai dari sana, film ini menuturkan tentang perang gerilya yang dilakukan Soedirman dalam rentang waktu tujuh bulan. Ini kesempatan bagi pembuat film untuk menyajikan nilai-nilai hiburan sekaligus memberikan pengetahuan tentang apa itu perang gerilya. Gerilya memang bukan perang terbuka, sehingga yang banyak ditunjukkan dalam bagian ini adalah pasukan Soedirman melintasi hutan, dari dusun ke dusun, mencoba bertahan dan menghindari sergapan Belanda, meski dengan berbagai keterbatasan.

Tetapi, film ini memakai potensi hiburan yang lain, yaitu suspense dari kejar-kejaran antara pasukan Soedirman dan tentara Belanda yang memburunya. Di sinilah film ini menunjukkan kekuatannya dan membuat ceritanya terus bergulir tanpa harus menjenuhkan. Kesan bahwa Soedirman tak pernah aman sehingga harus terus bergerak, dapat dieksekusi dengan baik di film ini, tanpa perlu dramatisasi yang kelewatan.

Di luar itu, film ini tidak melupakan tugasnya untuk menggambarkan siapa dan bagaimana itu Soedirman. Cara penggambarannya pun digarap dengan aman dan cukup menyeluruh, tanpa terlalu mengglorifikasi. Memang benar bahwa keteguhannya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tutur kata yang lembut namun tegas, dan kesetiaan pada pemerintahan Soekarno-Hatta membuat penonton mudah untuk mengerti kenapa sosok Soedirman layak disebut pahlawan.

Tetapi, film ini juga tidak malu-malu untuk menunjukkan Soedirman memilih merokok daripada minum obat saat menderita sakit paru-paru. Juga bahwa sebenarnya Soedirman tidak klop dengan Soekarno dan strategi-strategi politiknya, dan justru lebih hormat kepada Sultan Yogyakarta, sesuatu yang mungkin jarang diketahui orang. Sementara sosok Adipati Dolken mungkin masih terlihat terlalu belia sebagai pemeran sang jenderal karismatik, tetapi dibantu dengan kostum, tata rias, juga usahanya dalam menampilkan gestur dan aksen yang berbeda, ia tetap berfungsi dengan baik untuk film ini dapat terus bercerita.

Meski demikian, yang patut disayangkan adalah film ini kurang menunjukkan tokoh Soedirman menyusun strategi dan bagaimana eksekusinya. Bahkan, penyerangan aktif terhadap markas Belanda di sini hanya ditunjukkan satu contoh saja. Padahal, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan apa yang membuat Soedirman begitu dihormati, sekaligus menjelaskan mengapa Belanda begitu getol ingin menangkapnya. Di bagian akhir film ada keterangan bahwa gerilya Soedirman ini diakui sebagai strategi terbaik di dunia saat itu, tetapi penonton tidak berkesempatan melihat sendiri strategi yang disebut terbaik itu seperti apa.

Sementara itu, demi memperkuat konteks sekaligus menghindari penjelasan menggunakan tulisan di tengah-tengah film, film ini memutuskan untuk memanfaatkan beberapa tokoh dan dialognya untuk menggambarkan keadaan yang sedang terjadi di sekitar Soedirman. Semisal proses perundingan yang terjadi antara Belanda dan Indonesia, juga adanya sosok Tan Malaka (Mathias Muchus), pemimpin gerakan kemerdekaan dari ideologi komunis yang bertujuan sama dengan Soedirman, tetapi bergerak di luar pemerintahan Soekarno-Hatta. Beberapa dari itu disampaikan cukup kaku karena kelihatan sekali ingin menjelaskan sesuatu kepada penonton—atau pengujaran dari pemainnya yang membuatnya jadi kaku, sementara yang lainnya yang disampaikan lebih mulus.

Di antara unsur-unsur penjelas konteks itu, tokoh Karsani (Gogot Suryanto) mungkin yang paling mencuri perhatian—dan porsinya terbilang besar. Viva Westi sempat menyatakan bahwa Karsani merupakan tokoh fiksi yang diciptakan untuk mewakili pihak rakyat dalam perjuangan Soedirman. Bila dipandang secara politis, keberadaan Karsani seperti ingin menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia juga turut melibatkan orang-orang yang namanya mungkin sekarang tidak dikenang. Di sisi lain, secara filmis, Karsani menjadi salah satu comic relief karena kepolosannya di tengah-tengah situasi perang. Namun, rupanya fungsi Karsani tidak hanya sebatas itu.

Keadaan militer Indonesia saat itu juga bisa dilihat melalui keberadaan Karsani. Perlu diingat bahwa saat merdeka, kemiliteran Indonesia tidak terbentuk oleh satu garis komando dan instansi yang sama. Ada yang pernah dilatih sebagai tentara kolonial Belanda (KNIL), tentara bentukan Jepang (PETA) seperti Soedirman, ada juga yang memang tanpa pelatihan sama sekali. Ketika datang kepada Soedirman, pertanyaan yang diajukan hanya apakah Karsani pernah latihan militer atau pernah ikut perang sebelumnya.

Paling tidak, dari sini bisa menjelaskan mengapa tentara Indonesia di zaman Soedirman di film ini terkesan sangat beragam dan "kurang meyakinkan", tidak seperti impresi tentara zaman sekarang. Sekaligus cukup menjelaskan adanya berbagai jenis tentara (misalnya di sini ada yang disebut tentara merah dan tentara liar) yang mungkin perekrutannya mirip seperti Karsani. Ini adalah salah satu contoh cara film ini dalam memberikan informasi dan konteks sejarah dengan cara yang subtil tanpa menggurui.

Melengkapi semua itu, Jenderal Soedirman disajikan dengan nilai produksi yang tinggi dan penggarapan teknis yang bagus—dari kostum, tata artistik, sinematografi, tata suara, hingga visual effects, yang mungkin setara dengan film-film berlatar sejarah Indonesia yang telah ada. Namun, Jenderal Soedirman punya satu nilai lebih, yaitu sebagai film sejarah Indonesia era milenium yang konsepnya paling jelas dan konsisten, terlepas dari beberapa kelemahan dalam beberapa titik penuturannya. Film ini juga boleh dibilang paling seimbang antara menyampaikan pengetahuan konteks sejarah, dan unsur hiburannya yang mudah disantap oleh kalangan lebih luas, tidak hanya bagi pemerhati film sejarah.





My score: 7,5/10


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com

Komentar