Guru Bangsa: Tjokroaminoto
(2015 - Pic[k]lock Prictures/Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto/MSH Films)
Directed by Garin Nugroho
Screenplay by Erik Supit
Story by Garin Nugroho, Erik Supit, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Ari Syarif, Kemal Pasha Hidayat
Produced by Christine Hakim, Dewi Umaya Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Didi Petet, Nayaka Untara, Ari Syarif
Cast: Reza Rahadian, Putri Ayudya, Tanta Ginting, Ibnu Jamil, Deva Mahenra, Chelsea Islan, Christine Hakim, Sujiwo Tedjo, Maia Estianty, Alex Komang, Didi Petet, Egi Fedly, Alex Abbad, Ade Firman Hakim, Christoffer Nelwan, Jay Widjajanto, Gunawan Maryanto, Rendra Bagus Pamungkas, Arjan Onderdenwijngaard, Gerard Mosterd, Joanna Dudly
Film ini mengisahkan sosok Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, sesuatu yang mungkin bakal bermanfaat bagi kita yang cuma tahu nama itu sebagai nama jalan di kota-kota tempat tinggal kita. Dibesarkan di keluarga priyayi di Ponorogo, Jawa Timur, Tjokro (Reza Rahadian) telah lama menyaksikan ketidakadilan dan kekejaman yang menimpa kaum pribumi oleh para penguasa kolonial, dan umumnya para warga Belanda yang menduduki tanah Nusantara. Ia kemudian memulai gerakan kebangkitan rakyat pribumi menuntut keadilan dan kesejahteraan, yang dilakukannya lewat surat kabar yang dipimpinnya, juga mengepalai organisasi Sarekat Islam, yang menjadi wadah lahirnya pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia generasi selanjutnya, di antaranya Agus Salim (Ibnu Jamil) dan Soekarno (Deva Mahenra).
Meski sudah melihat nama Garin Nugroho, deretan aktor cukup ternama, juga fakta bahwa ini biopic sejarah berdurasi 3 jam kurang 15 menit, gw tidak menyadari betapa besarnya film Guru Bangsa: Tjokroaminoto ini, setidaknya dari segi produksi. Gw tadinya cuma membayangkan seperti Soegija, yang menurut gw skala produksinya juga udah cukup gede, walau pemainnya lebih tidak terkenal. Untuk Tjokroaminoto, memang terlihat ada usaha untuk go bigger dan lebih komersil, dengan para pemainnya pun bukan nama-nama sembarangan. Namun, beberapa teaser trailer yang beredar ternyata tidak meng-spoiled skala film ini.
Oh how I have fallen in love with this production. Tata visualnya gilak men, gw seakan lupa bahwa Indonesia sanggup bikin desain produksi, kostum, make up, properti, dan casting yang detail.dan menyeluruh seperti yang ditunjukkan film ini (asal ada dananya, tentu saja). Tapi juaranya buat gw adalah sinematografi dari Ipung Rachmat Syaiful (he did the brilliant Kala and Rayya Cahaya di Atas Cahaya) yang bisa menangkap itu semua dengan sangat sangat cantik dan berdampak. Warna-warnanya, komposisinya, pergerakannya, astonishing-lah. Juga dipoles oleh visual effects yang paling seamless yang pernah gw lihat dalam film Indonesia (iya, ada visual effects-nya lho, dikira itu pelabuhan betulan?) yang membuktikan bahwa Tjoktoaminoto adalah film dengan produksi terhebat yang pernah ada di Indonesia. Tambahkan dengan akting para (cukup banyak) pemain yang bagus-bagus dan saling melengkapi--tak terkecuali pendatang baru Putri Ayudya sebagai istri Tjokro, Soeharsikin, rasa grand film ini pun semakin sempurna.
Tapi, ada satu hal yang bikin gw cukup heran, yaitu film.ini nggak se-aneh-aneh-Garin seperti yang gw kira. Yes, the story is actually cukup berstruktur jelas. Diawali masa Tjokro ditahan dan diinterogasi pihak kolonial karena dituduh mendalangi pemberontakan kaum buruh kebun di Garut, lalu kisah dimulai dengan bagaimana Tjokro sampai pada titik itu. Penuturannya memang tidak berkutat pada Tjokro, melainkan juga bagaimana pemikirannya yang dituangkan lewat surat kabar dan organisasi berhasil mendorong gerakan kebangsaan, yang menjangkau semua kelas sosial yang ada. Untuk itulah ada tokoh penjual dingklik (Gunawan Maryanto) dan Stella (Chelsea Islan) yang porsinya lumayan signifikan.
Yah, aneh-aneh-Garin-nya masih ada sih, terutama kesukaannya menampilkan adegan orang nyanyi yang sebenarnya nyambung banget sama cerita juga enggak, tapi justru jadi pelipur jenuh yang cukup segar. Filmnya hampir 3 jam cuy. Ada juga gw ngerasa penuturan filmnya cenderung lebih ingin menggambarkan dan membuat statement ketimbang menuturkan plot. Tapi, balik lagi ke alinea sebelumnya, paling nggak semua berada dalam lingkup memahami perjuangan Tjokro. Simbol-simbolnya masih (agak) mudah dibaca dan dimengerti, masih aneh tapi nggak seaneh itu.
Jika ada yang gw anggap kurang, itu adalah pilihan kata dalam dialog yang mungkin terlalu textbook, isinya kata-kata bijak semua, jadi believability *apa itu* yang udah dibangun oleh desain produksinya jadi terganggu sama dialog-dialognya. Gw bahkan nggak yakin makna "hijrah" yang terus diucapkan tokoh Tjokro sudah diterapkan dalam cerita filmnya atau tidak. Yah bisa aja itu disanggah dengan argumen bahwa film seperti ini nggak harus terlihat grounded dan sehari-hari asalkan maksudnya sampai. Tapi, well, jadinya gw kurang enjoy aja. But then again, bahwa sebenarnya yang mengganggu gw bukan lagi cara pak Garin bercerita dan menata adegan, itu adalah sebuah prestasi tersendiri *tinggi kali cakapmu nak*. Oh iya, gw juga terganggu sama main title-nya yang nyicil-nyicil makan waktu di awal film =p.
Di luar itu, sebenarnya ada satu poin yang bikin gw tetap "ada hati" sama film.ini, yaitu cara dalam memandang sosok Tjokro sebagai manusia. Betul, ia guru yang dihormati, tapi ia juga bisa galak sama anak-anaknya, dan yang terutama adalah gerakan yang ia mulai akhirnya terpecah-pecah karena murid-muridnya makin nggak mengerti jalan pikirannya, yang kemudian mencari jalan sendiri-sendiri dalam berjuang. I mean, wow, sebuah film yang diinisiasi oleh keluarga sang tokoh sendiri berani menampilkan adanya, bisa dibilang, satu bentuk kegagalan dari sang tokoh dalam memimpin dan mempertahankan organisasinya. That's kinda brave, and that's good. Filmnya jadi nggak cuma berdimensi tunggal, dan nggak terjebak pada pemujaan berlebihan terhadap satu sosok. Namun, yang pasti tetap menunjukkan hormat pada semangat perjuangannya untuk mempersatukan dan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini.
My score: 7,5/10
Komentar
Posting Komentar