Directed by Christopher Nolan
Written by Jonathan Nolan, Christopher Nolan
Produced by Emma Thomas, Christopher Nolan, Lynda Obst
Cast: Matthew McConaughey, Anne Hathaway, Jessica Chastain, Casey Affleck, Michael Caine, John Lithgow, David Gyasi, Mackenzie Foy, Wes Bentley, Topher Grace, Ellen Burstyn, Timothée Chalamet, David Oyelowo, Matt Damon
Written by Jonathan Nolan, Christopher Nolan
Produced by Emma Thomas, Christopher Nolan, Lynda Obst
Cast: Matthew McConaughey, Anne Hathaway, Jessica Chastain, Casey Affleck, Michael Caine, John Lithgow, David Gyasi, Mackenzie Foy, Wes Bentley, Topher Grace, Ellen Burstyn, Timothée Chalamet, David Oyelowo, Matt Damon
Sejak Batman Begins (atau mungkin The Dark Knight), film-film Christopher Nolan jadi semacam event bagi sebagian penggemar film, bahkan berefek pada karya orisinalnya seperti Inception, dan sekarang Interstellar ini. Well, sebenarnya karena Nolan selalu menggarap film-film yang "besar" dan selalu punya sesuatu yang memicu pembicaraan, dan menurut gw sih emang pantas. Doi kalau bikin film emang dirancang sedemikian rupa sehingga menyolek intelejensia *haissh* tetapi masih menghibur. Now, di sini gw nggak akan mengulang apa yang udah gw sampein di review versi jaim di sini, tetapi gw ingin mengungkapkan beberapa hal yang gw dapet setelah nonton kali kedua....di IMAX *somboooong*.
Menonton kedua kali gw jadi menyadari bahwa film ini memuat banyak sekali hal. Buanyak sekali. Gw bisa mulai dari cara film ini menggambarkan bencana menuju "kiamat" kesudahan manusia yang dibuat perlahan-lahan (punahnya bahan makanan dan timbul penyakit, dsb), jadi nggak langsung jeder hancur semua, tetapi justru itu yang bikin ngeri. Belum lagi keadaan masyarakat yang hopeless karena diperkirakan manusia akan punah dua-tiga generasi lagi. Sampe-sampe dibuat supaya generasi sekarang jangan sampe terlalu mengangung-agungkan pencapaian masa lalu, kasihan kalau mimpinya ketinggian, makan aja susah. Semuanya worn-out, termasuk teknologi-teknologi futuristis yang digunakan, (dengan brilian) ditunjukkan sudah usang...atau mungkin karena berdebu kali ya. Gambaran dunianya okelah.
Lalu juga berlanjut pada fascination film ini untuk memvisualisasikan teori-teori ilmiah secara cukup rinci yang mungkin bagi penggiat sains akan sangat menyenangkan, tapi akan ya-udah-deh-iya-iya-aja bagi yang merasa itu terlalu ribet. Gw sih lebih ke yang kedua, tapi gw bukan yang tipe langsung menolak film ini. Karena "peragaan" sains di film ini, entah itu kenapa pesawat antariksanya harus muter-muter (karena supaya gaya sentrifugalnya jadi gaya gravitasi, atau semacam itu *otak berasap*), atau soal kenapa daya tarik dari black hole memperlambat penuaan *tendang Ponds*, ditunjukkan dengan cukup mudah dipahami dan cool. Dan btw, salah satu misi dalam cerita film ini adalah mencari rumus solusi untuk mengakali gravitasi bumi, supaya stasiun luar angkasa yang mengangkut berjuta-juta orang bisa terlaksana, dan itu hanya bisa diketahui di balik black hole. Gw nggak perlu tahu gimana caranya itu, ngeliat rumusnya aja udah mau pengsan, tapi setidaknya gw bisa tangkep the big idea.
Sampai di sana gw merasa, wah, film ini keren banget dan niat banget untuk memasukkan semua unsur itu. Nah, kemudian film ini masuk ke muatan yang satu lagi, yaitu soal human nature (naluri untuk sintas bagaimanapun caranya), termasuk juga soal cinta yang mampu melampaui ruang dan waktu. Oke, hold on. Gw mengerti sih bahwa isu human nature itu biar filmnya tambah seru, juga pembahasan cinta biar filmnya ada rasa "awww". Tapi di sini gw merasa film ini terlalu ambisius untuk mencakup segala hal, kalau nggak mau dibilang pretensius. Gimana ya, bagus sih, tapi mungkin penempatannya kurang mulus atau agak misplaced, atau gw aja yang nggak tahu bahwa memang seperti itulah isi pembicaraan orang-orang pintar. Di bagian ini, terlihat usaha film ini untuk menyampaikan "pesan" bahwa sains tidaklah terpisah dari kemanusiaan, bahwa yang tidak terjelaskan oleh sains bukan berarti meniadakannya. Gw sih setuju itu, cuma ya begitulah, gw tidak terlalu percaya bahwa topik-topik itu bisa muncul dalam keadaan yang ditunjukkan oleh film ini. Efeknya ke gw, meski film ini sedang berusaha merasuki sisi emosional gw, yang terjadi justru sebaliknya, jadi nggak "berasa"-lah kalo istilah gobloknya. Tanpa dibicarakan pun gw tahu kok kalau semua usaha ini karena cinta dan naluri manusia untuk bertahan hidup selama mungkin. Ini agak redundant dan nyinyir jadinya. Dan, ketika diungkit lagi dalam sebuah turning point di ceritanya, efeknya juga nggak beda, kayak dilempar tapi menguap dengan cepat. Kalau soal mengaduk emosi, Gravity menurut gw masih jadi juaranya...atau mungkin karena film itu nggak terlalu banyak cingcong soal teknis kali ya, hehe.
But, anyway, Interstellar tetap sebuah film yang keren buat gw. Gw masih bisalah memaafkan beberapa ganjalan itu. Film ini tetap disampaikan dengan memikat, dengan teknik-teknik old school minim CGI, penataan adegan action-nya yang seru paripurna, juga suspense-nya yang dirajut oke lewat editing dan musiknya. Dan, 2 jam 45 tanpa terasa jenuh itu something banget loh. I enjoyed the view (walau sinematografinya kayaknya nggak se-"klop" di Inception atau film-film The Dark Knight), the storytelling, the acting, the sound, juga gagasan-gagasan yang coba diangkat. Oh, juga yang paling jleb adalah si Cooper (Matthew McConaughey) menyaksikan anak-anaknya yang udah hilang harapan sama bapaknya dan mengucapkan kata-kata seakan dia udah mati, itu heartbreaking sekali buat gw.
Jadi, bisa dibilang film ini tentang akhir dunia, atau tentang keluarga, atau tentang sains, atau tentang waktu, atau tentang manusia, atau tentang harapan, atau tentang lagi-lagi Amerika menyelamatkan umat manusia *yaelah*. Film ini tentang banyak hal. Terkadang bisa terasa terlalu too much, tetapi in the end semuanya masih bisa gw terima dengan tanpa paksaan, ini tentang gw menonton sebuah film nyaris tiga jam dan merasakan berbagai macam rasa: kagum, tersentuh, bingung, lucu, takut, dan sebagainya. Sebuah film yang jauh dari kegagalan, malah jadi prekuel yang sempurna untuk After Earth =PP.
Menonton kedua kali gw jadi menyadari bahwa film ini memuat banyak sekali hal. Buanyak sekali. Gw bisa mulai dari cara film ini menggambarkan bencana menuju "kiamat" kesudahan manusia yang dibuat perlahan-lahan (punahnya bahan makanan dan timbul penyakit, dsb), jadi nggak langsung jeder hancur semua, tetapi justru itu yang bikin ngeri. Belum lagi keadaan masyarakat yang hopeless karena diperkirakan manusia akan punah dua-tiga generasi lagi. Sampe-sampe dibuat supaya generasi sekarang jangan sampe terlalu mengangung-agungkan pencapaian masa lalu, kasihan kalau mimpinya ketinggian, makan aja susah. Semuanya worn-out, termasuk teknologi-teknologi futuristis yang digunakan, (dengan brilian) ditunjukkan sudah usang...atau mungkin karena berdebu kali ya. Gambaran dunianya okelah.
Lalu juga berlanjut pada fascination film ini untuk memvisualisasikan teori-teori ilmiah secara cukup rinci yang mungkin bagi penggiat sains akan sangat menyenangkan, tapi akan ya-udah-deh-iya-iya-aja bagi yang merasa itu terlalu ribet. Gw sih lebih ke yang kedua, tapi gw bukan yang tipe langsung menolak film ini. Karena "peragaan" sains di film ini, entah itu kenapa pesawat antariksanya harus muter-muter (karena supaya gaya sentrifugalnya jadi gaya gravitasi, atau semacam itu *otak berasap*), atau soal kenapa daya tarik dari black hole memperlambat penuaan *tendang Ponds*, ditunjukkan dengan cukup mudah dipahami dan cool. Dan btw, salah satu misi dalam cerita film ini adalah mencari rumus solusi untuk mengakali gravitasi bumi, supaya stasiun luar angkasa yang mengangkut berjuta-juta orang bisa terlaksana, dan itu hanya bisa diketahui di balik black hole. Gw nggak perlu tahu gimana caranya itu, ngeliat rumusnya aja udah mau pengsan, tapi setidaknya gw bisa tangkep the big idea.
Sampai di sana gw merasa, wah, film ini keren banget dan niat banget untuk memasukkan semua unsur itu. Nah, kemudian film ini masuk ke muatan yang satu lagi, yaitu soal human nature (naluri untuk sintas bagaimanapun caranya), termasuk juga soal cinta yang mampu melampaui ruang dan waktu. Oke, hold on. Gw mengerti sih bahwa isu human nature itu biar filmnya tambah seru, juga pembahasan cinta biar filmnya ada rasa "awww". Tapi di sini gw merasa film ini terlalu ambisius untuk mencakup segala hal, kalau nggak mau dibilang pretensius. Gimana ya, bagus sih, tapi mungkin penempatannya kurang mulus atau agak misplaced, atau gw aja yang nggak tahu bahwa memang seperti itulah isi pembicaraan orang-orang pintar. Di bagian ini, terlihat usaha film ini untuk menyampaikan "pesan" bahwa sains tidaklah terpisah dari kemanusiaan, bahwa yang tidak terjelaskan oleh sains bukan berarti meniadakannya. Gw sih setuju itu, cuma ya begitulah, gw tidak terlalu percaya bahwa topik-topik itu bisa muncul dalam keadaan yang ditunjukkan oleh film ini. Efeknya ke gw, meski film ini sedang berusaha merasuki sisi emosional gw, yang terjadi justru sebaliknya, jadi nggak "berasa"-lah kalo istilah gobloknya. Tanpa dibicarakan pun gw tahu kok kalau semua usaha ini karena cinta dan naluri manusia untuk bertahan hidup selama mungkin. Ini agak redundant dan nyinyir jadinya. Dan, ketika diungkit lagi dalam sebuah turning point di ceritanya, efeknya juga nggak beda, kayak dilempar tapi menguap dengan cepat. Kalau soal mengaduk emosi, Gravity menurut gw masih jadi juaranya...atau mungkin karena film itu nggak terlalu banyak cingcong soal teknis kali ya, hehe.
But, anyway, Interstellar tetap sebuah film yang keren buat gw. Gw masih bisalah memaafkan beberapa ganjalan itu. Film ini tetap disampaikan dengan memikat, dengan teknik-teknik old school minim CGI, penataan adegan action-nya yang seru paripurna, juga suspense-nya yang dirajut oke lewat editing dan musiknya. Dan, 2 jam 45 tanpa terasa jenuh itu something banget loh. I enjoyed the view (walau sinematografinya kayaknya nggak se-"klop" di Inception atau film-film The Dark Knight), the storytelling, the acting, the sound, juga gagasan-gagasan yang coba diangkat. Oh, juga yang paling jleb adalah si Cooper (Matthew McConaughey) menyaksikan anak-anaknya yang udah hilang harapan sama bapaknya dan mengucapkan kata-kata seakan dia udah mati, itu heartbreaking sekali buat gw.
Jadi, bisa dibilang film ini tentang akhir dunia, atau tentang keluarga, atau tentang sains, atau tentang waktu, atau tentang manusia, atau tentang harapan, atau tentang lagi-lagi Amerika menyelamatkan umat manusia *yaelah*. Film ini tentang banyak hal. Terkadang bisa terasa terlalu too much, tetapi in the end semuanya masih bisa gw terima dengan tanpa paksaan, ini tentang gw menonton sebuah film nyaris tiga jam dan merasakan berbagai macam rasa: kagum, tersentuh, bingung, lucu, takut, dan sebagainya. Sebuah film yang jauh dari kegagalan, malah jadi prekuel yang sempurna untuk After Earth =PP.
My score: 8/10
Otakku LeLah, tapi mata segar nontonnya (  ̄▽ ̄)
BalasHapusbukan prekuel dari Wall-E ya bro? :)
BalasHapusbisa jadi =D
Hapus