Athirah
(2016 - Miles Films)
Directed by Riri Riza
Screenplay by Salman Aristo, Riri Riza
Based on the novel by Alberthiene Endah
Produced by Mira Lesmana
Cast: Cut Mini, Christoffer Nelwan, Arman Dewarti, Jajang C. Noer, Indah Permatasari, Nino Prabowo, Tika Bravani, Andreuw Parinussa, Dimi Cindyastira
Gw udah dengar proyek film Athirah dari awal 2015--ciee sok hipster =p, dan timbul excitement sekaligus sedikit keheranan. Kiprah Riri Riza bareng Mira Lesmana dalam Miles Films udah terkenal jempolan deh, paling tidak film-film mereka punya standar kualitas yang baik, entah itu yang pasarnya luas seperti Petualangan Sherina, Laskar Pelangi, AADC, ataupun yang spesifik seperti Atambua 39° Celsius, Sokola Rimba, dan mungkin juga Gie sekalipun filmnya tergolong muahal. Ada pola yang terbaca di sini bahwa Miles nggak ragu untuk mengangkat kisah tokoh nyata dan populer. Tetapi, mungkin gw nggak mengira aja bahwa mereka sampai ke tokoh yang dikenal secara nasional sebagai pejabat pemerintahan, dan masih menjabat. Entahlah, buat gw kisah kehidupan orang-orang yang seterkenal itu, apalagi dengan embel-embel "inspiratif" itu...apa ya...kayak udah kebal aja. Sebab, biasanya film-film begini polanya sama: oke fine situ lewati masa susah sampai akhirnya sukses, biar orang yang nonton termotivasi atau sekadar kagum. Untunglah, Athirah tidak memilih rute itu.
Film ini berdasarkan kisah hidup dari Athirah, ibunya Jusuf Kalla, wakil presiden kita sekarang. Sampai di sini mungkin masih akan muncul pertanyaan, apakah film ini dibuat hanya karena dia ibunya orang terkenal. Sebenarnya, angle berbeda bisa dilihat jika mengetahui bahwa nama Athirah juga cukup terpandang di Makassar, baik sebagai bagian dari keluarga Kalla yang empunya grup usaha besar di kawasan Indonesia bagian Timur, maupun namanya yang diabadikan untuk lembaga pendidikan di sana. Namun, bukan itu juga yang diangkat di film Athirah. Lalu apa dong? Well, kehidupan orang, sesukses apa pun, kadang tak berjalan sempurna. Dalam hal ini, Riri dan Mira serta penulis Salman Aristo (hey, Laskar Pelangi reunion!) tampak ingin menyorot salah satu bagian paling personal dari keluarga ini, yaitu berkutat pada masa-masa ketika Athirah dimadu oleh suaminya.
Sulawesi Selatan tahun 1950-an, pada awalnya kepindahan Haji Kalla atau disapa Puang Ajji (Arman Dewarti) dan istrinya, Athirah (Cut Mini) ke Makassar berjalan mulus tanpa kendala. Usaha dagang Puang Ajji berjalan sukses dan membuatnya jadi tokoh terpandang, sementara Athirah setia mendukung usaha itu sekaligus mengurus rumah dan anak-anak mereka yang saking banyaknya I lost count =D. Tetapi, suatu ketika Athirah mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi dengan wanita lain, dan naturally diikuti dengan suaminya tidak lagi selalu pulang ke rumah yang mereka tinggali bersama. Film ini mengikuti upaya Athirah, juga Ucu (Christoffer Nelwan) a.k.a. Jusuf Kalla remaja sebagai anak laki-laki tertua dalam menghadapi perubahan ini, dan bahwa upaya itu bukan dengan tetesan air mata atau amarah histerikal, far from that. Karena ternyata dari sinilah Athirah dimampukan untuk berdikari dan justru semakin mengokohkan keluarganya.
Gw suka sekali sama pilihan kreatif film ini, mulai dari angle cerita sampai pada penyajiannya. Membuat batasan khusus bahwa ini kisah Athirah yang dilanda problem rumah tangga yang spesifik membuat gw tidak kehilangan arah sama apa yang mau diceritakan film ini. Tahapan-tahapannya bisa gw ikuti dengan baik, dari awalnya yang tampak bahagia, dibenturkan dengan masalah poligami, lalu ke fase kecewa dan pergolakan Athirah yang masih ngharep suaminya kembali seutuhnya pada dirinya--disimbolkan sarung mas kawin dari suami tetap dieman-eman, sampai ke titik balik kebangkitannya yang seolah bilang "Whatever, dude, I'm gonna make my own money out of this sarung," =D. Ketika filmnya punya subplot tentang Ucu remaja, terutama pertemuan dengan wanita yang kemudian jadi istrinya, tetap terkait pada problem yang dibahas film ini.
Gw senang bahwa selain ceritanya terfokus, film ini tidak berusaha terlalu keras untuk menunjukkan bahwa kisah ini "inspiratif", malahan gw merasa bahwa hebat juga keluarga ini mau menunjukkan secuplik kisah pribadi mereka yang kemudian didramatisasi seperti ini. Bukan serba mengagungkan, melainkan justru sisi yang menurut gw paling vulnerable, yang membuat cerita dan tokoh-tokoh ini terasa hidup dan dekat. Bukan pula soal kesusahan-kesuksesan, melainkan soal perasaan. In the end, apakah filmnya inspiratif atau nggak, pilihan tokoh-tokohnya itu benar atau salah, tetap dikembalikan ke penonton--karena pasti ada yang mempertanyakan "Kenapa sih jeung udah digituin nggak ditinggal ajah?" tapi film ini nggak nyari-nyari pembenaran untuk itu. Speaking of pembenaran, salah satu hal lagi yang gw suka dari tema yang diangkat di film ini adalah nggak ditunjukkannya alasan spesifik untuk poligami. Karena menurut gw, kenyatannya, memang tidak pernah akan ada alasan yang tepat untuk berpoligami *uhuk film-filmya Fedi Nuril*. It's just because. Ditambah lagi dalam konteks film ini, pilihan tersebut dimaklumkan secara sosial, walau nggak juga bisa lolos dari pandangan miring sih.
Jika ada yang menyempurnakan apa yang gw suka dari hal-hal di atas, adalah cara penyampaiannya yang menurut gw puitis. Meskipun cerita dan temanya termasuk dalam ranah populer alias sering banget kita dengar sehari-hari, Athirah bukanlah tipe film yang di-deliver terlalu verbal. Ini bukan film yang banyak adu dialog, melainkan dialog menjadi pelengkap dari cerita yang sedang disampaikan. Sementara, ceritanya itu lebih banyak disajikan dalam bahasa gambar: dari situasi, ekspresi, gestur, benda, yang untungnya mudah dimengerti. Bersyukurlah, ini bukan film diem-dieman aneh yang malah bikin bingung dan kesal, bukan juga film cerewet yang segala-gala musti dijelasin pakai kata-kata, namun dengan takaran yang tepat--dari penataan adegan hingga editing yang punya ritme kadang cepat kadang ngerem plus musiknya yang luar biasa indahnya, film ini menyuntikkan maksud-maksudnya dengan mulus di pemahaman gw. Toh, dengan cara penuturan yang demikian gw paham apa yang sedang melanda hati Athirah dan Ucu, tetap bisa ketawa dan terharu juga, walau mungkin tidak dalam jenis terbahak atau tersedu.
Buat gw, Athirah adalah seindah-indahnya film Indonesia. Bukan cuma soal gambar dan pemandangan, apalagi dengan reputasi Riri dan Miles Films jelas sisi production value pasti jempolan--tata artistik-kostum-suara-musik-lagu, sinematografernya pak Yadi Sugandi pula. Melainkan juga dari apa yang dituturkan dan cara bertuturnya, yang juga "kawin" dengan akting bagus para pemainnya dan unsur-unsur lainnya--even the poster is one of the most brilliant and beautiful ones I've seen in years. Keindahannya itu bahkan sanggup membuat gw sedikit, well, memaafkan kekurangannya. Yang gw maksud adalah intensitas di adegan yang menurut gw itu adalah klimaks, tetapi nggak berasa klimaks karena begitu cepat berlalunya. Seperti adegan-adegan lain di film ini, I understood the idea of that scene, cuma ya itu, kurang nge-punch aja.
Akan tetapi, kembali lagi, gw sudah cukup dipuaskan dengan keindahan film ini. Hanya dalam 81 menit durasinya, film ini sudah menceritakan apa yang perlu diceritakan, dengan tambahan pada detail-detail yang menarik untuk digali di setiap adegannya. Dan, setelah dipikir lagi, film ini tetap konsisten dalam membuatnya kisah tentang sosok Athirah, karena gw perhatiin tokoh Ucu baru terlihat bicara setelah filmnya jalan separoh, hahaha. Definitely different than the JK we know today, mungkin supaya nggak terlalu mendistraksi, ya baguslah. Film ini nggak terbebani dengan "sosok terkenal" atau "inspiratif", tetapi kembali ke persoalan personal yang tak kalah matters, yang malah menurut gw lebih terhubung dengan banyak orang. Dan, yang paling penting, memperlakukan sebuah materi kisah yang sebenarnya nggak jarang diangkat menjadi punya karakter tersendiri, berkelas dan anggun.
My score: 8/10
bisa sy dibantu gan buat dapatin cd atau dvdnya, gimsna caranya ?
BalasHapuspengen sekali nomton film ini namun sudah tdak ada di bioskop.
terima kasih sebelumnya.