Pacific Rim
(2013 - Warner Bros.)
Directed by Guillermo del Toro
Screenplay by Travis Beacham, Guillermo del Toro
Story by Travis Beacham
Produced by Thomas Tull, Jon Jashni, Guillermo del Toro, Mary Parent,
Cast: Charlie Hunnam, Idris Elba, Rinko Kikuchi, Charlie Day, Burn Gorman, Max Martini, Robert Kazinsky, Clifton Collins Jr., Ron Perlman, Diego Klattenhoff, Mana Ashida
Banyak orang lain mungkin hanya memandang sekilas Pacific Rim sebagai film model-model Transformers, robot-robot besar bertarung di tengah kota dan sebagainya yang menjanjikan keseruan. But no, Pacific Rim bukan cuma itu. Bagi yang akrab sama budaya populer Jepang (while technically Transformers juga konsep aslinya dari Jepang), Pacific Rim adalah sebuah penggenapan harapan akan adanya perlakuan skala raya dari aksi fantastikal ala anime, tokusatsu, dan (yang istilahnya dipakai di film ini) kaiju. Bagi yang tumbuh di era 80-90-an sebagian pasti kenal akan aksi "Ultraman" atau "Goggle V" dan seri super sentai/rangers lainnya, atau "Voltes V" atau "Voltron", atau kalau mau rada serius dikit *halah* macam "Patlabor" dan seri "Gundam" (bacanya gan-dam), dan banyak lagi anime yang menampilkan robot tempur besar yang dikendalikan manusia dari dalam—istilahnya mecha, singkatan dari mechanical—manapun yang bisa ditemukan di majalah Animonster. Sementara udah berabad-abad rumor Hollywood mau bikin versi live action dari "Neon Genesis Evangelion" nggak jadi-jadi, maka saat ini juga, terimalah Pacific Rim, persembahan orisinil dari master fantasi Guillermo del Toro (Hellboy, Pan's Labyrinth), yang sendirinya mengaku sangat terpengaruh pada film-film monster raksasa/kaiju dari negeri sakura macam Godzilla dan Gamera. Dengan film ini, del Toro telah "bersalah" membangkitkan kembali fantasi masa kecil Anda sekaligus memperkenalkannya pada adik/anak Anda, with a big, big bang.
Pacific Rim dimulai dengan penggambaran situasi darurat global, well khususnya di garis pantai samudera Pasifik (thus, the title), karena monster-monster raksasa yang kemudian disebut Kaiju—dan masing-masing diberi kode nama lucu-lucu, datang dari portal di dasar laut yang terhubung dengan dimensi lain, menyerang kota-kota padat penduduk. Kesulitan dan kewalahan melawan dengan senjata konvensional (dan tentu saja bahaya kalau langsung pake nuklir), pemerintah-pemerintah dunia bersatu dan membuat Jaeger (bacanya yéy-ger), teknologi mecha raksasa yang mengikuti gerakan fisik dua orang (atau lebih) di dalamnya, agar dapat mengimbangi, berhadapan langsung, dan mengalahkan Kaiju lebih cepat dan efisien. Namun Kaiju semakin sering muncul dan semakin kuat, teknologi Jaeger kerap tertinggal. Lebih dari satu dekade sejak perang dimulai, pemerintah-pemerintah lebih berkonsentrasi membuat tembok pertahanan dan tidak menyokong teknologi Jaeger lagi, dan kini tinggal beberapa unit Jaeger yang berfungsi. But, surprise, tembok pertahanan pun nyatanya bisa ditembus Kaiju dengan mudahnya.
Kisah utama dimulai ketika mantan pilot Jaeger, Raleigh Becket (Charlie Hunnam) dipanggil lagi oleh Marshal Stacker Pentecost (Idris Elba) untuk naik Jaeger lagi. Raleigh awalnya menolak karena trauma mitra sekaligus kakaknya, Yancy (Diego Klattenhoff) tewas ketika bertugas bersamanya, namun Pentecost berhasil membujuknya karena mengaku punya rencana dan berjanji akan menemukan mitra yang baru. Raleigh kemudian diangkut ke markas terakhir Jaeger di Hong Kong yang disebut shatterdome *tsaah* untuk bersama pilot-pilot dan unit-unit Jaeger yang tersisa—ada dari Hong Kong, Australia dan Rusia—mempersiapkan sebuah skema menghancurkan portal yang menghubungkan Bumi dengan tempat asal Kaiju, untuk menghentikan peperangan ini selama-lamanya *latar musik heroik*
This shot screams anime. |
Jika dikatakan Pacific Rim adalah the closest thing to live action version of mecha anime, itu ada benarnya. Buat gw Pacific Rim itu anime banget. Entah disengaja atau tidak, selalu ada feel anime di sepanjang filmnya, baik dari cerita, karakterisasi, dialognya, ke-sok-serius-annya, bentuk wajah para aktornya, bahkan sampai pada adegan ngobrol/makan berlatar mecha yang sedang parkir, dan juga tokoh-tokoh multinasional dengan nama aneh-aneh kecuali nama orang Jepangnya =D. Dalam situasi lain, hal seperti ini akan sangat cheesy, tetapi dalam situasi dunia diserang monster dari dimensi lain, why the hell not? Ketimbang terlalu serius dan merasa terganggu dengan minimnya pengembangan karakter dan plotnya yang ringan dan tidak revolusioner, gw malah semakin terbawa masuk dalam dunia Pacific Rim yang luas dan penuh warna serta memuat berbagai elemen mendetil dari penjabaran tentang asal muasal Kaiju, ke mana larinya penduduk awam ketika kota porakporanda, sampai ke dampak sosialnya (komersialisasi, pasar gelap, dan sebagainya). Memang muatan yang sebenarnya banyak itu tidak bisa ter-cover sempurna jika harus menjaga durasinya. Tapi buat gw, dalam durasinya yang mencapai 2 jam 10 menit di hasil akhirnya, penyederhanaan kisahnya masih oke dan mudah diikuti tanpa ada kehilangan yang terlalu. Human story-nya tetap menggerakkan laganya, laganya pun terarah dan tidak tak beralasan, nggak ada kebingungan whatsoever. Dan itu bagus.
Akan tetapi menurut gw yang jadi jawara dari Pacific Rim adalah penataan gambarnya. Sure, pertarungan Jaeger vs Kaiju-nya spektakuler—and I mean extreeemely spectacular—dengan berbagai efek visual canggih ditambah tata suara yang apik yang bikin gw "waah" "aish" "oughh" "iigh" dan seterusnya. Namun di atas semuanya itu, gw lebih jatuh cinta pada padunya kinerja sinematografi dan tata artistik dalam memproyeksikan dunia fantasi Guillermo del Toro ini. Permainan warna yang sangat bold dari tata cahayanya yang merupakan signature dari sutradara Meksiko yang satu ini tampil lebih "liar" lagi. Hampir pasti nggak cuma ada satu warna dalam satu gambar, pasti ada warna-warna yang saling kontras menyala (misalnya latar biru tapi aktornya kuning) yang menyatu apik dalam satu bingkai, terutama di dalam ruangan, apalagi di dalam kokpit Jaeger, dan lebih lagi di jalanan kota Hong Kong di malam hari. Color coordination yang ayu tenan ini semakin memaksimalkan feel fantasinya. Demikian pula konsistensi skalanya, perbandingan ukuran robot dan manusia ditata sedemikian rupa sehingga terasa banget itu gedenya—dan juga efek gerakannya yang agak lambat karena beratnya =D—yang sayangnya sedikit terdistraksi kalau disaksikan dalam format 3-dimensi.
So, Pacific Rim ini memenuhi ekspektasi gw. Kekurangannya mungkin hanyalah dia tidak melebihi ekspektasi gw itu. Jalan ceritanya nggak unexpected, kurang mengeksplorasi emosi lebih mendalam atau juga humornya nggak sampai "meledak", tetapi itu bukanlah masalah besar buat gw. Pacific Rim bisa membawa ceritanya dengan solid dan hubungan antar tokoh yang cukup jelas, penjelasan fiksi ilmiahnya juga logis, production value superkeren, tata musik yang juga asyik. Permainan aktornya sih nggak seberapa, mungkin highlight-nya pada Idris Elba satu-satunya aktor di film ini yang dapat mengujarkan dialog-dialog cheesy dengan meyakinkan, Rinko Kikuchi sebagai Mako Mori yang Japanese-ly awkward-nya dapet (yaiyalah) dan Mana Ashida sebagai Mako cilik yang mencuri perhatian, juga Charlie Day sebagai Dr. Newt yang surprisingly tampil tidak menyebalkan dengan suaranya yang menyebalkan itu. O wait, kok gw hampir lupa nyinggung desain Jaeger yang tegap keren-keren dan Kaiju yang eksotik-ngeri-tapi-cantik, ya? Ah kerenlah pokoknya. Robot raksasa lawan monster raksasa, dengan tokoh utama yang bukan unggulan tapi membuktikan ketangguhannya? The child in me hendak berseru ini film paling keren tahun ini. The adult me tinggal menyatukan pikiran the child in me sepanjang durasi Pacific Rim ini hingga di akhir main title dengan pose para Jaeger yang, again, anime banget itu. Bisa bikin gw duduk terpaku sampe bergestur injek-pedal-rem saking serunya sudah cukup bukti bagaimana film ini bagi gw. Anjreeet...girang gw ^o^.
My score: 8/10
Tadinya gwe juga takut Pacific Rim bakaL jadi just another Transformers (which I hate), dan satu-satunya aLasan gwe buat nonton cuma Rinko Kikuchi :p
BalasHapusTapi tapi tapi tapi, gwe pun kegirangan ^o^
I think, one of the best thing in it was: no forced romance! Mako Mori (and Mana Ashida) ftw!
ps>> jadi, nonton di 3D maLah banyak distraksi nih?
hehe, kalo nonton 3D tuh jadi lebih perhatian ke ilusi depth/pop-up-nya, jadi skalanya kurang berasa utuh. lagian aslinya film ini tidak diniatkan jadi 3D jadi tata adegannya juga gak ada yang sengaja "biar nanti kalo konversi 3D jadi bagus" gitu
HapusJd enaknya nonton yg biasa atau 3d. Saya pernah nonton transformer 3d tp ga kerasa deepth nya. Beda wkt silence hill yg 3d nya bgtu dalam
BalasHapussaya pribadi lebih pilih 2D ya. cuma 3Dnya gak bisa dibilang jelek juga kok. monggo dipilih...atau dua2nya aja =))
HapusOk. . Trims saranya! Krn beda tipis harga tiketnya ya 3d . ! O ya review film2nya bagus. Sesuai dgn filmnya, smpi memaksa saya bikin blog agar bs bertanya. Sy jg hobi nonton wkt bujang tp dh jarang sekarang,
BalasHapuswah terima kasih sudah jadi penyimak blog ini =).
HapusSelamat menonton.
Pemeran Mako nya lihai bertarung tpi kurang lihai berakting:)
BalasHapuskendala bahasa kali *belain* hehe
HapusReviewnya keren gan.
BalasHapusFilmnya memang menggetarkan. Pertarungan di kota yang porak poranda super sekali. Saya berkali-kali berbisik ke teman sebelah, "di mana Ultraman? Tidak ada saat dibutuhkan!".
Well, sejauh ini terbaik summer movie lah.
Seperti inilah film BESAR harusnya dibuat.
membangkitkan memori tontonan masa kecil/remaja ya, hehe. keren lah.
Hapusterima kasih sudah mampir dan merespons.
saya sih salut sama reviewnya.... keren!!!
BalasHapusfilmnya.... berasa nonton godzigma vs monsternya ultraman ... :)
tapi dengan kemewahan teknologi dan gak bikin bosen.... setuju, ini beneran membangkitkan kembali fantasi masa kecil with a big, big bang ^___^
sepakat.
Hapusterima kasih responsnya *jadi malu*