Sang Kiai
(2013 - Rapi Films)
Directed by Rako Prijanto
Written by Anggoro Saronto
Produced by Gope T. Samtani
Cast: Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken, Ernest Samudra, Dimas Aditya, Meriza F. Batubara, Arswesndi Nasution, Dymaz Shimada, Keio Pamudji, Nobuyuki Suzuki, Norman R. Akyuwen, Royhan Hidayat, Emil Kusumo
Kesuksesan Sang Pencerah pada tahun 2010 lalu seakan meluluskan para pembuat film untuk membuat lebih banyak film-film tentang kisah hidup pahlawan nasional. Tahun lalu hadir pula film Soegija yang berlatar kemerdekaan Republik Indonesia, dan saat ini juga sedang diproduksi film tentang Soekarno. Menurut gw ini kecenderungan yang bagus, karena biasanya (dan seharusnya) film-film seperti ini menampilkan production value yang menjanjikan, sekaligus menjadi sarana pengetahuan yang cukup mengasyikkan. Pertengahan tahun ini Indonesia diajak untuk lebih mengenal Kiai Haji Hasyim Asy'ari yang disebut Hadratussyaikh (maha guru), seorang ulama besar yang juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) lewat film berjudul simply Sang Kiai.
Mengambil latar waktu yang bisa dibilang paralel dengan film Soegija, Sang Kiai mengambil rentang waktu dari tahun 1942 ketika Jepang menduduki wilayah Indonesia hingga 1949 ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan RI. Sang Kiai intinya ingin menceritakan peran KH Hasyim Asy'ari (Ikranagara) dalam kemerdekaan Indonesia, mulai dari penangkapannya oleh tentara Jepang karena dituduh bertanggung jawab atas sebuah penyerangan, lalu pembentukan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang dipimpin Kiai, kemudian berlanjut pada perlawanan terhadap penyerangan Belanda pascakemerdekaan, terkhusus peristiwa 10 November 1945 di Surabaya (bagi yang nggak ngeh, ini nantinya diperingati sebagai Hari Pahlawan). Namun pada film ini juga ditampilkan cerita tentang beberapa pengikut santri (kayaknya fiktif, kayaknya ya) di pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur yang dipimpin Kiai, khususnya santri muda Harun (Adipati Dolken) yang digambarkan punya pola berpikir berbeda dengan Kiai dalam hal melawan penjajahan.
Gw memperhatikan perbedaan pandangan Kiai dan Harun ini menarik. Rako Prijanto dan tim cukup jeli mengangkat sebuah sisi yang sangat mungkin terjadi, yaitu keraguan Harun akan kepemimpinan Kiai yang adalah panutannya. Pasalnya Kiai memimpin Masyumi, yang mengarahkan para ulama untuk memotivasi rakyat (termasuk memakai ayat-ayat suci) demi meningkatkan hasil bumi, untuk kemudian pihak Jepang juga mendapatkan bagian. Masyumi sendiri memang diinisiasi oleh Jepang sebagai strategi agar dapat mengumpulkan dukungan rakyat pribumi lewat jalur agama, namun di sisi lain organisasi ini juga digunakan Kiai beserta rekan-rekannya, termasuk putranya, Wahid Hasyim (Agus Kuncoro) agar pada saatnya bisa melawan dari dalam—dan saat itu tiba ketika Jepang hendak mempersenjatai rakyat pribumi melawan Sekutu, lalu mengizinkan Masyumi membentuk Hisbulloh yang terdiri dari para santri yang dilatih militer. Harun mana tahu soal strategi itu, ia hanya tahu pihak Jepang itu penjajah dan harus dilawan, "kompromi" yang dilakukan oleh Kiai terhadap penjajah membuatnya kecewa, yang menurut gw cukup masuk akal dan memberi sebuah depth dalam kisah film ini. But, fokus filmnya nggak di situ...bahkan kalau mau jujur gw gak tau film ini fokusnya mau di mana. Mungkin terlalu kewalahan dengan pengenalan dan pembangunan banyak karakter (apalagi banyak tokoh-tokoh besar) dan penggambaran situasi, Rako dkk kurang jelas menekankan sebenarnya ingin menyampaikan apa, dalam bingkai apa, atau statement-nya apa.
Nuhun sewu nih kalau saya membandingkan, tetapi sebagai film cerita, Sang Pencerah dengan segala kelemahannya berhasil menyampaikan statement tentang isu perbedaan pandangan, dan dalam bingkai/benang merah terbentuknya organisasi Muhammadiyah. Dalam Soegija, meskipun judulnya agak misleading, punya statement kuat tentang kemanusiaan dan peperangan. Ini yang nggak berhasil gw tangkep dari Sang Kiai. Meskipun judulnya demikian, film ini terbilang "epic" karena rentang waktunya panjang, dan ternyata yang dibahas bukan cuma sang Kiai. Sedangkan dibilang biografi tentang sang Kiai pun porsinya tidak memenuhi, set-up karakter Kiai juga dibangun instan sekali di adegan pembuka, gw sebagai penonton awam tidak sampai paham kenapa KH Hasyim Asy'ari begitu disegani dan pengikutnya sangat banyak. Beliau sebagai pendiri NU saja tidak dibahas. Perihal info-info ini jadinya harus gw cari sendiri di luar filmnya. Agak PR ya. So, jatuhnya film ini hanya bercerita saja, seperti visualisasi buku sejarah yang nge-skip bab pembukanya, agak terasa nggak utuh. Dan lagi meskipun ada momen-momen personal yang ditata apik, momen-momen yang harusnya bisa menggugah rasa tak sedikit seperti lewat saja...serta banyak sekali penjelaskan situasi/peristwa yang dituliskan (as in penonton harus baca, kadang nimpa subtitel), bukannya diujarkan, alih-alih ditunjukkan. Sayang sekali ke-epic-an film ini jadi nanggung. Biaya/deadline-nya mepet kali ya.
Nuhun sewu nih kalau saya membandingkan, tetapi sebagai film cerita, Sang Pencerah dengan segala kelemahannya berhasil menyampaikan statement tentang isu perbedaan pandangan, dan dalam bingkai/benang merah terbentuknya organisasi Muhammadiyah. Dalam Soegija, meskipun judulnya agak misleading, punya statement kuat tentang kemanusiaan dan peperangan. Ini yang nggak berhasil gw tangkep dari Sang Kiai. Meskipun judulnya demikian, film ini terbilang "epic" karena rentang waktunya panjang, dan ternyata yang dibahas bukan cuma sang Kiai. Sedangkan dibilang biografi tentang sang Kiai pun porsinya tidak memenuhi, set-up karakter Kiai juga dibangun instan sekali di adegan pembuka, gw sebagai penonton awam tidak sampai paham kenapa KH Hasyim Asy'ari begitu disegani dan pengikutnya sangat banyak. Beliau sebagai pendiri NU saja tidak dibahas. Perihal info-info ini jadinya harus gw cari sendiri di luar filmnya. Agak PR ya. So, jatuhnya film ini hanya bercerita saja, seperti visualisasi buku sejarah yang nge-skip bab pembukanya, agak terasa nggak utuh. Dan lagi meskipun ada momen-momen personal yang ditata apik, momen-momen yang harusnya bisa menggugah rasa tak sedikit seperti lewat saja...serta banyak sekali penjelaskan situasi/peristwa yang dituliskan (as in penonton harus baca, kadang nimpa subtitel), bukannya diujarkan, alih-alih ditunjukkan. Sayang sekali ke-epic-an film ini jadi nanggung. Biaya/deadline-nya mepet kali ya.
Tetapi di luar itu, sadar bahwa filmnya mengusung tokoh-tokoh besar yang dihormati, pembuat Sang Kiai memang tampak sekali tidak main-main dalam hal produksinya. Sang Kiai digadang-gadang sebagai film termahalnya Rapi Films, dan itu dibuktikan dari tampilan film ini. Desain produksi yang tampak otentik, sinematografi jempolan, tata kostum, tata suara, serta efek khusus a.k.a. ledak-ledakan dan tembak-tembakan yang apik (mungkin pengecualian pada efek animasi digitalnya). Gw bahkan menganggap Sang Kiai adalah salah satu film Indonesia dengan tampilan visual terbaik tahun ini (so far). I mostly enjoy the film for its look. Ini pun diperkuat dengan penampilan para aktor yang meyakinkan, termasuk Adipati Dolken, walau ya tetep masih kalah dari kharisma Ikranagara, Christine Hakim sebagai istri Kiai, serta Agus Kuncoro yang bermain sangat mantap. Namun, casting yang kolosal juga bukan berarti tanpa hambatan. Meskipun sudah cukup teliti dalam menggambarkan tentara Inggris (yang tidak cuma terdiri dari orang Inggris), film ini masih agak kesulitan dalam casting tentara Jepang padahal porsinya cukup besar...yah banyak masih extras yang tidak kelihatan seperti Jepang, baik tampang, gestur, maupun cara bicara yang lebih mirip antek yakuza di film-film daripada tentara. Untungnya untuk peran perwira memakai aktor yang memang orang Jepang (ada Pak Suzuki itu lagi), jadi kejanggalannya nggak berkelanjutan.
Tapi sebenarnya, juga terlepas dari permasalahan mana sejarah mana fiksi dan sebagainya, Sang Kiai ini masih sangat bisa dinikmati, apalagi bagi penyuka period piece pasti suka dengan tampilan visual film ini. Ceritanya pun sebenarnya masih lumayan enaklah diikuti sekalipun ada beberapa kelemahan di awalnya, terima kasih juga kepada jajaran aktornya yang bermain baik. Dan gw udah bilang belum gambarnya oke? Hehehe. Gak mungkin gw kasih penilaian jelek buat film ini, production value-nya terlalu valuable untuk diabaikan. Toh, setidaknya ketokohan KH. Hasyim Asy'ari—yang juga adalah kakek dari mantan presiden KH. Abdurrahman Wahid, baik sebagai pribadi, ulama, maupun pejuang kemerdekaan RI, masih ditampilkan dengan penuh penghargaan. Tidak sempurna, tetapi rada sayang kalau dilewatkan.
My score: 7/10
Komentar
Posting Komentar