The Raid
(2012 - PT. Merantau Films/XYZ Films/Celluloid Nightmares)
Written and Directed by Gareth Huw Evans
Produced by Ario Sagantoro
Cast: Iko Uwais, Ray Sahetapy, Donny Alamsyah, Joe Taslim, Pierre Gruno, Yayan Ruhian, Iang Darmawan, Tegar Satrya, Eka Rahmadia
Kabar mengenai The Raid—yang saat itu judulnya masih Serbuan Maut—mulai santer sejak caturwulan akhir tahun 2011, ketika film ini pertama kali diputar untuk umum di festival film internasional Toronto (itu di Kanada, kali aja ada yang nggak tau) bahkan mendapatkan penghargaan People's Choice Award (artinya paling difavoritkan pengunjung festival, kali aja ada yang baru tau =P) dalam kategori laga/horor/fantasi yang disebut Midnight Madness. Di saat hampir bersamaan film ini dipungut Sony Pictures Classics untuk diedarkan di bioskop Amerika Utara (itu maksudnya Amerika Serikat dan Kanada, kali aja ada yang *plaakkk*). Bahkan pengulas-pengulas film internasional pun mengaminkan bahwa The Raid sebagai film yang istimewa, sampe-sampe pada mendaulatnya sebagai "best action film in recent years" dan semacamnya. Bangga? Jelas, karena lewat film ini setidaknya nama Indonesia akan sering disebut dan terbaca oleh warga dunia untuk hal yang keren: film laga.
Akan tetapi, reaksi masyarakat Indonesia terhadap berita ini haruslah bijaksana, dalam artian jangan mengharapkan yang "iya-iya" dulu terhadap prestasi film ini. Kita tidak sedang membicarakan film yang—sebagaimana standar "bagus"-nya pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP—punya daya bercerita yang kuat, mengandung unsur keindonesiaan serta pesan moral yang dapat diambil oleh penontonnya *hmpft*. Kita sedang membahas film yang udah dari sononya diniatkan dan dimaksudkan sebagai film hiburan. Kalau boleh soteyu nih, The Raid adalah murni film aksi brutal yang menggabungkan adegan pencak silat dan tembak-tembakan. Tapi, supaya bisa dijadikan sebuah film, deretan adegan aksi itu juga perlu cerita lah. Nggak perlu cerita berat dan rumit, ringan saja juga gak masalah asalkan masih logis dan nyambung dari awal sampe akhir, just as an "excuse", supaya adegan-adegan laga itu tetap beralasan, nggak tiba-tiba muncul aja. Yup, The Raid memang film semacam itu. Misi utamanya adalah menghadirkan adegan demi adegan kelahi yang dapat menggedor excitement dan mendobrak mulut penonton dengan seruan semacam "aw!" "wuss!" "issh" atau "anjrot!". Perihal ini, The Raid berhasil dengan gilang gemilang.
Oke, karena sebuah ulasan harus menyertakan film ini tentang apa, maka akan gw sampaikan. Sebuah pasukan khusus kepolisian—semacam Densus—mengadakan operasi penggerebekan rahasia ke sarang gembong narkoba di sebuah rumah susun kumuh, dengan target utamanya Tama (Ray Sahetapy), yang saking berkuasanya di gedung itu punya banyak anak buah sangar bersenjata yang siap merintangi para polisi, lantai demi lantai. Dan...yah, intinya sih begitu. Nggak deing ;), ada lah perkembangan cerita di sana-sini, tapi ya udahlah, 'kan yang dicari adegan-adegan baku hantam berdarahnya. Gw nggak perlu kasih tau secara detil, tonton aja langsung, karena cerita sederhananya itu sudah sangat mudah dipahami tanpa harus dijelaskan lagi lewat ulasan atau kritik film.
What I'm saying is, salah banget kalau pergi nonton The Raid dengan niat nyari cerita. Ceritanya mah biasa aja. Gareth Evans, sutradara asal Wales (itu di Inggris Raya, dempetan sama England dan Scotland, kali aja ada yang nggak tau =DD) yang begitu cintanya pada Indonesia dan pencak silat sehingga membuat film aksi Merantau lalu The Raid ini—dengan lebih banyak memanfaatkan kearifan lokal (yang bule cuma dia, sinematografer sama produser eksekutifnya), merangkaikan adegan-adegannya dengan jalinan plot ala video game: terobos segala rintangan dan musuh yang menghadang sampai target utama dapat diringkus. Ada pihak baik (anggota kepolisian) dan pihak jahat (preman gembong narkoba dan penghuni rumah susun)—walaupun pada perkembangannya nggak sesederhana itu. Kalo ada musuh, tangkap. Kalau musuh menyerang, tembak. Kalau peluru habis, pake pisau. Pisau ilang, habisi pake silat tangan kosong dong =D. Untungnya ritme yang digunakan begitu pas, dinamis dan exciting. Asyiknya lagi, di antara aksi-aksi seru-cadas-keren-banget nya itu, selalu ada kesempatan untuk bernapas dan menyerap kembali sisi manusia yang membuat film ini tidak jatuh jadi film action bego nan kosong. Sisi manusia itu adalah hero kita, Rama (Iko Uwais). Ia punya motivasi jelas dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota polisi khusus dalam menggerebek gangster narkoba berbahaya, namun ia juga bukan orang yang haus darah. Ia punya istri dan bayi on the way menanti di rumah, dan juga seorang kakak berstatus DPO polisi yang harus ditemukan dan dibawa pulang. Maka dalam setiap pertarungan seseru dan sebrutal apapun, kita pasti mendukung doski.
Sekali lagi, pada dasarnya yang ditampilkan The Raid adalah adegan-adegan violent yang cadas namun tetap keren dan watchable, ditangkap dengan begitu stylish sehingga menimbulkan keseruan dan kekaguman ketimbang kejijikan (toh darahnya juga kebanyakan CGI, tapi jauuuh lebih baik daripada efek di Blood: The Last Vampire atau Ninja Assassin sekalipun). Woh, aksi tembak-tembakan yang udah kayak film perang dunia II, adegan baku hantam baik keroyokan maupun one on one digarap dengan sangat sangat SANGAT maksimal, nggak tanggung-tanggung, and no cheap effects. Porsinya tidak singkat namun tidak lama juga, dan herannya, kok bisa aksi-aksi seru banget di paruh awal udah banyak tetapi di paruh akhirnya malah tambah seru. Penataan adegan sekaligus eksekusi pengambilan gambarnya juga sangat intens dan rapi. Keseriusan penggarapan film ini adalah sebuah nilai utama. Gareth Evans dkk tidak berusaha membuat film "berbobot", namun pantang pula dibuat asal-asalan. Maka jadilah The Raid, mulai dari tata artistik, pencahayaan, sinematografi, editing, tata suara, musik dan tentu saja tata laga yang semuanya tampak serasi, selaras dan serius. Film ini juga, walaupun sebenarnya nggak perlu dihiraukan sebegitunya, nyatanya juga memiliki beberapa performa akting yang baik yang memberi nilai tambah, seperti Ray Sahetapy, Yayan Ruhian dan Alfridus Godfred, semuanya adalah tokoh villain. Ray Sahetapy memang udah nggak diragukan lagi, sedangkan akting dari dua nama terakhir melengkapi "kebengisan" mereka dalam bertarung: Yayan sebagai Mad Dog yang gemar adu jotos ketimbang adu tembak, Godfred sebagai preman berparang yang tampil intimidatif dan genuine dengan logat Maluku-nya (tanpa mengurangi rasa hormat lho ya, ampun bang).
Menonton film semacam The Raid sebaiknya nggak usah repot bawa-bawa intelejensia segala, nanti malah nyiksa diri sendiri. The Raid memang stylized action yang banyak ngarangnya. Ngarang mulai dari setingan rumah susun yang meski kumuh tapi agak terlalu bagus dan besar untuk benar-benar ada di Indonesia (malah mirip film Hong Kong), disiplin dan tutur kata para polisi yang sama sekali tidak seperti anggota militer/kepolisian kita, hampir semua laki-laki penghuni rumah susun termasuk para pengemas narkoba rupanya merangkap sebagai pesilat yang lebih milih ngajak duel daripada lari kalau digerebek polisi, atau kelihatan banget diatur cuma tokoh utamanya yang masih hidup sampe akhir. YAK-I-YA-LAHH, namanya juga film dengan imajinasi. Setingnya pun lebih ke alternate universe of Indonesia karena unsur yang benar-benar merujuk ke Indonesia cuma bahasa Indonesia, preman Ambon, AlfaMart, RCTI dan Koran Sindo. Lepaskanlah semua rujukan dunia nyata Anda, dan masukilah dunia The Raid sebagaimana yang dimau oleh pembuat filmnya, niscaya Anda akan lebih mudah menikmatinya, toh sebenarnya set up dunia The Raid cukup solid dan konsisten. Gw aja masih bisa cuek dengan dialog yang banyak ungkapannya masih terdengar "terjemahan mentah bahasa Inggris ke Indonesia" tanpa melalui proses sintaksis dan pragmatika *tapi tetep disinggung, hehe*. Ini film yang seru banget kok. Well, kecuali Anda memang nggak kuat menyaksikan adegan-adegan perkelahian, orang dibanting, ditusuk, dibacok, dipatahkan tulang, ditembak dan pelbagai pilihan terluka lainnya, atau nggak sanggup nangkep ucapan sebagian besar aktor (termasuk Iko, Joe Taslim dan Pierre Gruno) yang memang artikulasinya sering nggak jelas, ya udah nggak bisa diapa-apain lagi kalo itu, hehehe.
My score: 7,5/10
NB: Jangan meragukan kemampuan perkelahian para aktor di film ini. Iko Uwais dan Yayan Ruhian adalah pesilat yang juga jadi penata laga film ini. Alfridus Godfred adalah altlet bela diri tarung derajat. Joe Taslim juga ternyata atlet judo nasional. Ayo banting!
Walaupun udah 2x nonton tetep ga bosen! Pengen nonton lagi! :D
BalasHapus@WewW: hayo tonton lagi, biar filmnya sampe 1 juta penonton =)
BalasHapusThe Raid ini emank keren tapi gw sich ogah klo sampe harus nonton 2x. Kalo Avengers tu baru gw tonton 3x juga ok!!!
BalasHapus:D
@MRPBlog: wah, hebat, kan Avengers blum beredar, udah yakin mau nonton lebih dari 1 kali? hehe.
BalasHapusBagaimanapun mari kita dukung karya dalam negeri, jangan anggap remeh, pasti ada kok karya yang pas sama kesukaan kita masing-masing. =)
Setuju habis sama review lo lah nyo :
BalasHapus1. Keren actionnya, jgn pikirin jalan ceritanya pakai logika terlalu jauh
2. Gw jg banyak gak nangkep dialognya, artikulasinya parah bok!
3. Berapa kali gw gregetan ngebenerin penggunaan "kita" sama "kami" (LOL)
4. Koreo pencak silatnya : MANTAP!!
@Esti: mantap, tinggal tunggu sekuelnya =)
BalasHapusSetuju ama review lo. Gue baru nonton kemaren, Nyo. Walaupun gue bukan penggemar film laga, emang keren banget actionnya. Tapi sama kayak yang lo bilang di atas, sebagai pembelajar budaya/sastra, terganggu ya ama artikulasi dan pemakaian bahasanya yang aneh hehehe. Overall, gue suka artistik settingnya (walaupun kayak lo bilang, rada2 ga mungkin juga ada di Indonesia), trus castingnya (melibatkan berbagai etnis Indonesia), koreografi silatnya, pokoknya secara sinematografi dan konsep juara deh.
BalasHapus@Tascha: bener juga ya soal casting bermacam etnis =).
BalasHapusoya gw lupa mem-point-out Iang P Project yang bisa juga main serius di sini, hehe.
Terima kasih sudah mampir dan sharing.