The Hunger Games
(2012 - Lionsgate)
Directed by Gary Ross
Screenplay by Gary Ross, Suzanne Collins, Billy Ray
Based on the novel by Suzanne Collins
Produced by Nina Jacobson, Jon Kilik
Cast: Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Lenny Kravitz, Stanley Tucci, Wes Bentley, Donald Sutherland, Amandla Stenberg, Liam Hemsworth
Sejak hadirnya film-film adaptasi novel fantasi semacam Harry Potter dan The Lord of The Rings di milenium ketiga ini, sudah banyak usaha memfilmkan novel-novel fantasi terkenal, atau nggak terkenal tapi nuansanya kira-kira mirip. Kita sudah lihat ada The Chronicles of Narnia yang hasilnya so-so saja ampe pindah studio di sekuel keduanya, kemudian muncul Bridge of Terabithia, Percy Jackson, The Seeker: The Dark is Rising dan Stardust yang gagal gal gal (at least secara keuntungan bisnis), eh kemudian ada Twilight yang gemerlapan membuat histeris penggemarnya (mostly perempuan) di berbagai belahan dunia, sukses luar biasa padahal datang dari studio kecil independen yang belum punya nama banget (Summit). Meanwhile, enam bulan belakangan ini gw mendengar ada satu lagi novel kontemporer yang punya banyak fans berjudul "The Hunger Games" karya Suzanne Collins. Nah, dengan segala hormat, karena di sekeliling gw kebanyakan fans buku ini adalah cewek, jadi syak wasangka bahwa ini "Twilight"-nya dekade 2010-an tak dapat tertahankan. Kemudian datanglah berita bahwa novel yang merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi ini akan difilmkan, "well, of course" pikir gw. Sekarang giliran studio Lionsgate, yang juga bukan studio besar, berani coba-coba mengulang kesuksesan pendahulunya lewat The Hunger Games, tetapi dengan deretan nama pendukung cukup menjanjikan, terutama sekali karena digarap oleh sineas nomine Oscar, Gary Ross (Seabiscuit, Pleasantville). So let's see.
Semesta The Hunger Games kalo gak salah adalah di masa depan di Amerika Utara ketika peradaban udah gak jelas, kini segala sesuatu berada dalam pemerintahan yang disebut Panem yang berpusat di kota Capitol, serta membagi wilayah kekuasaannya menjadi 12 distrik dengan sebutan angka. Kekuasaan Panem bukannya tanpa perlawanan, sejarah menyatakan banyak pemberontakan, namun pada akhirnya Panem tetap digdaya. Sebagai bentuk usaha preventif demi "stabilitas" negara, Panem setiap tahun mengadakan "The Hunger Games", sebuah kompetisi/reality show akbar yang mempertarungkan remaja-remaja usia antara 12-18 tahun dari setiap distrik masing-masing satu cowok dan satu cewek. 24 remaja ini ditempatkan dalam satu arena survival, harus saling bunuh, dan pemenangnya, of course, adalah yang satu-satunya masih hidup. Sadis ye. Protagonis kita pada film ini adalah Katniss (Jennifer Lawrence), gadis tangguh asal Distrik 12, yang disebut sebagai daerah paling miskin. Ia ikut penyelengaraan The Hunger Games ke-74 secara mengajukan-diri, sebagai ganti adiknya yang masih 12 tahun yang namanya beruntung ketarik di undian Reaping, sebagai cewek wakil Distrik 12, bersama Peeta (Josh Hutcherson) sebagai wakil cowoknya. Plot point-nya tentu saja apakah Katniss akan memenangkan kompetisi ini sebagaimana janjinya pada sang adik dan juga cowoknya, Gale (Liam Hemsworth), yang berarti pula harus mengharapkan kematian Peeta, rekan sekampung yang juga punya perasaan ehehehem sama Katniss.
Dari sini mungkin dirasa ceritanya kayak film sakit asal Jepang, Battle Royale, tetapi menariknya The Hunger Games membuat proses menuju dan selama Hunger Games itu menjadi semacam perumpamaan yang lebih kompleks dan luas. Buat apa sih dibikin The Hunger Games? Kalo kata presiden Snow (Donald Sutherland) kepada si PIC acara, Senecca (Wes Bentley), ini supaya rakyat mendapat tontonan yang melibatkan mereka secara emosional, meskipun acaranya kejam dan seperti menyerahkan "tumbal" rutin setiap tahun—yang menimbulkan rasa takut, pasti ada pula harapan dari rakyat bahwa wakil dari distrik mereka akan menang, yang memunculkan rasa bahwa mereka "diperhatikan", walaupun itu sekadar simbol belaka. Kita melihat bahwa di Distrik 12, khususnya Katniss dan Peeta serta sebagaimana diwanti-wanti oleh pembimbing mereka Haymitch (Woody Harrelson), mengikuti The Hunger Games ini jelas adalah aksi keterpaksaan (daripada disikat pasukan pemerintah), sekaligus tiket ekspres untuk mati. But then again, tidak semua peserta dari distrik lain merasa begitu, sebagian malah merasa ini sebuah kebanggaan yang dijalani dengan percaya diri, wong masuk tipi dengan rating dan sharing tertinggi. Yah maklum masih labil =P. Di sisi lain, gw melihat adanya perumpamaan komersialisasi ajang ini, menjadikan penderitaan orang lain sebuah tontonan sekaligus cari keuntungan. Ada kebutuhan pihak sponsor, image consultant (khusus buat Katniss dan Peeta ada Cinna (Lenny Kravitz) dengan eyeshadow emasnya =P), parade di depan publik dengan kostum konyol, wawacara (dengan host ternama Caesar (Stanley Tucci)), juga rekayasa dalam acara yang harusnya berupa "realita". Padahal ya buntut-buntutnya mereka dipersiapkan untuk menderita, untuk saling bacok, untuk mati, yet people seemed eager to see that anyway.
Meskipun nggak baca novelnya, kenyataan bahwa gw masih bisa ngangkep bagaimana itu dunia The Hunger Games beserta tetek bengeknya merupakan tanda keberhasilan film ini dalam bertutur kepada penonton awam seperti gw. Gw nggak perlu bertanya-tanya mengapa begini mengapa begitu, karena semua dipaparkan sedikit demi sedikit dengan rapi dan efektif, tidak terlalu sulit dicerna ataupun dinalar makna lugas dan kiasnya. Bagusnya lagi, karakterisasinya bisa berkembang lancar seiring berjalannya cerita. Gw bisa nangkep tokoh Katniss yang berwatak keras, jago bertahan hidup di hutan melebihi anggota pramuka, berani (atau dipaksa harus berani), no non-sense, namun tetap cerdas dengan caranya untuk bertahan tanpa kehilangan hati nurani, a heroine yang tidak letoy namun tidak super juga. Peeta, yang dengan cerdas dimunculkan nggak dari awal sebagaimana posisinya di mata Katniss, pun tumbuh menjadi tokoh yang pasti mengundang dukungan karena ketulusan dan kepintaran yang tidak disangka-sangka. Keberadaan tokoh-tokoh lain juga rasanya diberi porsi yang signifikan sesedikit apapun itu, sebagaimana peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, pada dasarnya punya keterkaitan dengan benang merah cerita tanpa harus dipaksakan atau terabaikan. In short menurut gw penulisan dan pengisahan film ini solid nyaris tanpa komplain.
Sekarang secara presentasi audio visual, The Hunger Games rupanya memang tidak dibuat main-main. Memang film ini membutuhkan production value yang cukup wah mengingat seting ceritanya yang antah-berantah. Kebutuhan desain produksi yang sophisticated tepat guna (misalnya kontras antara Distrik 12 yang kumuh dan ndeso dengan Capitol yang penampilan penduduknya benar-benar fake seperti tokohnya Elizabeth Banks) serta penggunaan visual efek memang tak terhindarkan. Taaapiii, yang gw suka dari film ini, meskipun dengan visual yang mewah, film ini nggak terkesan pamer. Tidak ada sorotan panorama atau "lihat-lihat" yang berlangsung lebih dari 3 detik, visual efeknya bahkan seperti hanya pelengkap saja. Semua selalu cepat-cepat kembali ke cerita dan tokohnya. Dari cara pengambilan gambarnya saja terbilang lain daripada film-film sains-fiksi atau fantasi sejenis, warnanya begitu natural, penanganannya banyak yang hand-held, bergerak ke berbagai angle dan cukup shaky (nggak bikin pusing kok), membuat film ini terkesan modern, zaman sekarang banget, ibarat percampuran gaya filmnya Paul Greengrass dan Christopher Nolan. Sebenarnya mewah namun tetap bernuansa sederhana dan engaging khas produksi "independen". Didukung lagi dengan tata musik yang tidak konvensional, gak asal main orkestra, ada nuansa-nuansa folk (karena ada nama produser T-Bone Burnett (O Brother Where Art Thou?, Cold Mountain, Walk The Line) di sana) yang menguatkan nuansa "beda" selama menyaksikan film ini.
The Hunger Games memang cukup beda dari perkiraan atau prasangka yang ada. Ini film fiksi ilmiah campur petualangan yang menargetkan penonton remaja hingga dewasa muda, yang tidak asal taruh romansa kacangan ataupun kekerasan asal berdarah aja. Everything mixed together quite well, lumayan memuat bobot berarti, dan dipresentasikan dengan cermat. The Hunger Games memang memenuhi segala kriteria yang diperlukan sebagai film hiburan, mulai dari penyusunan naskah dan penyampaian cerita yang baik nan efektif, akting yang nggak malu-maluin (gw masih lebih suka Jennifer Lawrence di X-Men: First Class tapi yang di sini tetep oke kok), kelengkapan gambar dan suara yang apik, kedalaman emosi para tokohnya yang cukup, pacing-nya pas-pas aja, serta dihiasi adegan-adegan laga yang seru juga....well okay filmnya jelas bukan dibuat untuk memompa adrenalin sebegitunya, tetapi beberapa adegan memang seru (kesukaan gw adegan start di arena Hunger Games yang sound-nya diredam), kalaupun ada yang nggak terlalu seru (ehem di pertarungan akhir, hehehe) toh kemudian ditebus oleh langkah non-laga yang cakep. Satu hal lagi yang gw salut adalah kekerasan yang ditampilkan (ngebayanginnya aja udah agak gimana kan, anak belasan tahun bunuh-bunuhan), memang cukup berusaha diredam tetapi nggak lame, tetep berasa violent dengan kadar yang sesuai dengan penonton remaja.
Film ini memang punya ending cukup kompleks dan rada ngegantung, karena novelnya pun berupa trilogi, jadi nantikan saja sekuelnya. Namun yang pasti The Hunger Games ini sudah membungkam keraguan atas proyek yang terkesan pengen ngekor kesuksesan tetangga ini. Meskipun gw belum sampe jumping off my seat (ya ngapain juga gw lompat dari kursi?), tetapi nyatanya petualangan si keren Katniss ini harus diakui digarap nicely serta menjadi tontonan yang mengasyikan.
My score: 7,5/10
RaLat Senpai, GaLe bukan cowoknya Katniss ^^
BalasHapusDari sisi pembaca, gwe puas karena hasiLnya emang bagus dan sukses merangkum semua esensi cerita tanpa ada kesan diburu-buru. MaLah romance-nya Lebih kerasa naturaL daripada di buku.
@amadL: ho bukan cowoknya? emang siapanya? kok tatap2an gitu banget? *curiga =D
BalasHapusAda si Mystique ya? Cantik yak... Hehe...
BalasHapusBro, tukeran link yuk, gw udah pasang link-nya ya di Blog gw... Thx
http://moviereviewandpreview.blogspot.com/
@MRPBlog: iya benar itu dia.
BalasHapusTerima kasih sudah pasang linknya *senang*. Tunggu tanggal mainnya gw pasang link MRP ya =)
Mmmmm.. GaLe itu.. Kakak-kakakan Tapi Mesra? :P
BalasHapusBtw super oot dan random, gwe suka kok sama fiLmnya Stardust, maLah jauuuuuuuh Lebih suka daripada bukunya
@amadl: oooh, friendzone, baiklah #eh =D
BalasHapusHai, baru ketemu blog-nya tadi sembari surfing di google dan ternyata referensi film yang keren. :) Salam kenal.
BalasHapusKebetulan saya udah baca novelnya dan termasuk "huge fan" novelnya, dan filmnya oke juga. Lebih nampol kalo udah baca novelnya. Feel-nya Katniss lebih dapet. Btw, Gale itu teman berburunya Katniss, dan udah nolong Katniss dari keterpurukan pasca ayah Katniss meninggal. Banyak sejarahnya. :) Maju terus ya! :)
Halo, terima kasih sudah mampir, semoga betah ya.
HapusTerima kasih juga sharingnya =)