Garuda di Dadaku 2
(2011 - SBO Films/Mizan Production)
Directed by Rudi Soedjarwo
Written by Salman Aristo
Produced by Salman Aristo, Kemal Arsjad, Shanty Harmayn
Cast: Emir Mahira, Aldo Tansani, Monica Sayangbati, Maudy Koesnaedi, Rio Dewanto, Muhammad Ali, Ramzi, Rendy Khrisna
Garuda di Dadaku tahun 2009 adalah salah satu film Indonesia pasca-revival tersukses, konon menghimpun lebih dari satu juta admissions bioskop—nggak termasuk gw karena nontonnya baru di VCD sewaan =), dan kualitasnya pun tidaklah sama sekali buruk...well, dengan beberapa kelemahan yang bisa dimaafkan lah. Dua tahun lebih kemudian tim yang lebih-kurang sama kembali menyapa penonton Indonesia dengan sekuelnya. Masih ditulis oleh Salman Aristo namun kini disutradarai oleh Rudi Soedjarwo menggantikan Ifa Isfansyah (sibuk sama Sang Penari mungkian =)), Garuda di Dadaku 2 ini sepertinya muncul dalam momentum yang tepat, setelah perhelatan SEA Games tahun ini yang cabang olah raga sepakbola-nya menjadi perhatian besar. Meskipun tetap dengan kemasan yang generally menghibur, Garuda di Dadaku 2 seperti mencoba memberi refleksi terhadap dunia sepakbola Indonesia.
Sukses Bayu (Emir Mahira) menjadi pemain tim nasional sepakbola usia 13 di film pertama bukanlah akhir yang tanpa perjuangan. Masih aktif sebagai pemain tim nasional sepakbola junior, bahkan sekarang jadi kapten tim U-15, Bayu mulai merasakan beban ketika sedikit sekali pertandingan yang bisa dimenangkan oleh timnya, pertandingan persahabatan sekalipun. Menjelang turnamen ASEAN, pengurus organisasi yang menaungi mereka memutuskan memanggil pelatih baru untuk tim U-15, seorang pria muda bernama pak Wisnu (Rio Dewanto). Dengan latihan yang lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya, Bayu dan kawan-kawan harus kembali menyesuaikan diri demi mencapai kemenangan, termasuk hadirnya anggota tim baru, Yusuf (Muhammad Ali) yang belakangan jadi favorit masyarakat. Di saat yang bersamaan, Bayu juga harus berusaha menyeimbangkan kehidupan sekolahnya karena prestasinya di bawah rata-rata—dia banyak nggak masuk untuk latihan sepakbola—dan kali ini harus menyelesaikan tugas kelompok, trus ada perasaan ciee ciee sama murid pindahan bernama Anya (Monica Sayangbati) yang berwatak tegas. Kehadiran pacar baru sang ibu (Maudy Koesnaedi), oom Rudi (Rendy Khrisna) yang garing juga agak menyulut emosi Bayu yang agak-agak nggak terima, belum lagi persabahatannya dengan Heri (Aldo Tansani) kini penuh perselisihan, loe cuma nonton-gue yang di lapangan thingy. Dengan segala hal yang ada di pikirannya, mampukah Bayu memimpin timnya untuk memenuhi harapan meraih prestasi tertinggi?
Kisah Garuda di Dadaku 2 ini berangkat cukup jauh dari film pertamanya. Memang akan lebih mendalam jika menyaksikan film pertamanya, ketika Bayu yang gemar sepakbola harus memperjuangkan impiannya menjadi anggota timnas meski harus dihalang-halangi sang Kakek yang anti-sepakbola—kegelisahannya jadi lebih berasa, namun menonton langsung yang kedua ini juga nggak terlalu masalah sebetulnya. Tidak lagi dengan struktur standar zero-to-hero, melainkan lebih pada perjuangan untuk mempertahankan apa yang sudah didapat. Kisahnya yang mencakup tokoh Bayu baik dalam kehidupan sepakbola maupun kehidupan pribadinya boleh dibilang pas dan seimbang. Sisi-sisi reflektif yang sebagaimana gw singgung tadi hadir dan disampaikan dengan lumayan mengena. Ada keterlibatan orang partai politik dalam organisasi olah raga, ada pembongkaran titik-titik lemah timnas sepakbola kita, penonton yang “lebih jago” daripada yang main (ehem, Heri), atau bagaimanapun berartinya sepakbola bagi yang menggilainya, selalu saja ada yang menganggap itu tidak istimewa (Anya) dibandingkan tugas sekolah dan layanan kesehatan misalnya *hehehe*. Bagian-bagian ini, serta kelabilan emosi Bayu yang natural baik di lapangan maupun di rumah menjadi perekat yang baik dan menggelitik bagi penonton. Selain fokus penceritaan yang berbeda, film ini juga sukses memperbaiki kelemahan film pertamanya dalam soal penampakan produk sponsor yang sangat wajar =).
Garuda di Dadaku 2 adalah film yang boleh dibilang overall menghibur dan memuaskan, mungkin film Indonesia yang paling demikian sepanjang 2011. Tone-nya lebih gritty dan dramatis ala Rudi Soedjarwo gimana gitu, menunjukkan film ini lebih dewasa sebagaimana usia tokohnya, tetapi semangat untuk menjangkau penonton segala umur tetap dijaga, lihat saja adegan-adegan latihan anak-anak di bawah pelatih Wisnu yang sangat Kapten Tsubasa—minus penantian dua episode untuk lari ke gawang dan gol =_=”. Drama, humor, serta pertandingan-pertandingan sepakbolanya dipresentasikan dengan laju yang enjoyable dan tidak menjemukan. Meskipun fokus kisahnya terbagi-bagi, buat gw itu tidaklah mengganggu dan disampaikan dengan tidak berat di satu sisi saja.
Oh, oke, kalau boleh menyebut kelemahannya: 1. Lapangannya di situ-situ aja; 2. Tokoh Bang Dulloh (Ramzi) yang semakin tenggelam padahal dialah yang paling menonjol di film pertama; 3. Talent tim-tim lawan yang tidak terlihat seperti anak-anak dari luar negeri, terutama yang Jepang =P; 4. Rio Dewanto buka baju tanpa alasan selain fan-servicing; dan 5. Gambaran media massa yang terlalu maksa. Setahu gw se-seru-serunya pertandingan sepakbola internasional di Indonesia, media massa nggak akan pernah menggubris anak-anak umur belasan tahun alih-alih memperlakukannya bak Irfan Bachdim atau Diego Michiels, karena mereka akan lebih memilih liputan Liga Eropa yang—meski nggak ada hubungan langsung dengan bangsa Indonesia—lebih banyak peminat, correct me if I’m wrong. Akting pemain-pemainnya nggak jelek dan bermain wajar (Emir bagus emosinya), cuman entah kenapa gw merasa sebagian aktor-aktor ini ngomongnya kok jadi kayak Dian Sastro di Ada Apa Dengan Cinta?-nya Rudi Soedjarwo ya? Gw sampe berharap ada yang bakal ngomong “Basik! Madingnya udah mau terbit!” =D. O well, regardless, film ini tetaplah sebuah follow up yang baik bagi film pertamanya yang sukses itu, entertaining and heartwarming. Gw sih kayaknya lebih suka yang kedua ini =).
My score: 7,5/10
Komentar
Posting Komentar