Immortals
(2011 - Relativity Media)
Directed by Tarsem Singh Dhandwar
Written by Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides
Produced by Gianni Nunnari, Mark Canton, Ryan Kavanaugh
Cast: Henry Cavill, Mickey Rourke, Stephen Dorff, Frieda Pinto, Luke Evans, Isabel Lucas, John Hurt, Kellan Lutz
Okay, ini menarik. Begitu banyaaak orang di luar sana yang tampaknya tidak suka, benci dan menghina dina mariana film Immortals karya Tarsem Singh ini. Well, sepertinya saya akan sendiri saja kali ini. YES, I DO LIKE THIS FILM. Gw malah menikmati film ini, dan lucunya bukan sebagai guilty pleasure. Gw nggak menganggap film ini jelek. Ini cukup aneh, mengingat film ini menyadur salah satu mitos dari mitologi Yunani kuno. Gw mencak-mencak ketika Troy (2004)—tentang perang Sparta vs Troya—muncul sok mau jadi Gladiator dan mengubah fokus cerita tapi tetep nggak fokus. Gw tidak terkesan dengan Clash of the Titans (2010)—tentang Perseus—yang tanpa greget berarti dan juga tidak terlalu bagus dilihat mata. Dari segi cerita, Immortals sama ngaconya dengan kedua film tadi, namun—anehnya—gw memakluminya. Kesambet apaan ya gw...
Immortals ini bercerita tentang Theseus (Henry Cavill) yang dipilih—by fate, very mythological indeed—untuk menjadi pahlawan tanah Yunani untuk melawan raja jahat Hyperion (Mickey Rourke). Hyperion ingin menggugat—dengan alasan yang melankolis sekali—kaum abadi gunung Olympus yang disembah sebagai dewa-dewi yang dikepalai Zeus (Luke Evans), dengan melepaskan kaum abadi lawannya dewa-dewi ini, yang disebut Titan, untuk menimbulkan perang khayangan, dengan harapan dewa-dewi akan hancur, or something like that (nah logika begonya adalah, immortals nggak bisa dilawan manusia yang mortal, tapi kalo sesama immortals bisa, so there you go). Caranya, sesuai ramalan sang Oracle perawan (yang artinya akan ada satu poin dimana dia nggak perawan lagi) bernama Phaedra (Freida Pinto), Hyperion, sembari menyerang dan menguasai seluruh wilayah Yunani, harus mencari panah ajaib Epirus yang dapat membobol penjara para Titan di gunung Tartarus. So, singkat cerita Theseus beserta kawan-kawan yang ketemu di jalan harus mencegah Hyperion, sekaligus mencegah timbulnya kembali peperangan dewa-dewi vs para Titan, meskipun Theseus sendiri punya motivasi personal untuk menumpas sang raja preman ini.
Dalam mitologi Yunani, Theseus adalah pahlawan keturunan raja sekaligus keturunan dewa laut Poseidon yang terkenal karena melawan mahkluk separo manusia separo kerbau, Minotaur, dan menjadi raja kota Athena—ini cari di Wiki, dulu padahal kuliah pernah ikut kelas mitologi Yunani tapi bagian ini udah nggak memperhatikan materi, biasalah kelas besar =P. Di Immortals, hanya bagian Minotaur (sort of) itu saja yang muncul. Sisanya, mulai dari penokohan Theseus sampe, well, segala-galanya adalah ngarang-ngarangnya si penulis naskah aja. Padahal dari nama kedua penulis itu jelas-jelas Yunani, kenapa mereka berani semena-mena merombak kisah turun-temurun kebudayaan mereka demi sebuah tontonan berjudul Immortals? Tahan. Menurut gw, mungkin mereka berprinsip pada apa itu makna mitologi sendiri, bahwa tidak ada versi benar atau salah, versi daerah sini bisa jadi berbeda dengan versi daerah sana, malah bisa jadi bertentangan. Mitologi bukanlah literatur dengan plot yang saklek (kecuali Troy mungkin), continutity-nya pun jangan harap bisa dinalar. Jadi, daripada pusing, dan memang nggak ada yang melarang, mereka mengarang bebas cerita tentang Theseus yang anak haram vs Hyperion yang bukan Titan, serta berulangnya perang dewa-dewi vs para Titan. Tokoh-tokohnya pun agak random dicomot nama-namanya dari mitologi lalu dibuat karakterisasi yang jauh berbeda. Bukannya menyadur, malah membuat kisah baru. Tetapi di luar “pelanggaran”-nya itu, kisahnya terbilang fine-fine saja, sebab akibatnya masih okelah, malah masih memiliki spirit mitologi Yunani banget, yakni peristiwa besar sampe melibatkan dewa-dewi dilandasi motivasi yang personal dan intrik-intrik sinetronik.
Kalau naskahnya mengacak-acak mitologi sama seperti Troy dan Clash of The Titans tadi, lalu mengapa kok gw masih bisa aja menikmatinya? Nah di sinilah giliran kerja sutradaranya—yang dalam 3 filmnya variasi namanya ada 3: Tarsem Singh, Tarsem, dan sekarang Tarsem Singh Dhandwar, labil doi. Bisa jadi karena udah dari naskahnya ngarang, maka Tarsem pun merasa bebas untuk mencitrakan ulang mitologi Yunani itu menjadi sebuah fantasi antah-berantah menurut imajinasi(liar)nya sendiri. Yunani itu kering dan gersang dan desanya ada di tebing-tebing, bukan di tanah hijau nan subur penuh pohon zaitun. Dewa-dewi punya banyak mode cosplay pakaian, bukan hanya pake selembar kain tanpa daleman (atau baju besi berkilau). Ritual doa pun lebih mirip cara Hindu. Dan yang paling ngaco adalah, sang Oracle dan 3 pelindungnya adalah orang India, Afrika, Asia Timur, dan Kaukasia (Yunani itu Mediterania, mirip Italy atau Turki lah) berbicara dalam bahasa Yunani =D. Yang gw kagum, Tarsem tidak merasa canggung dengan kengacoannya, ia malah asik bermain-main lewat gambar sambil membawa ceritanya yang masih cukup jelas arahnya kemana. Untungnya, dia adalah Tarsem, seseorang yang telah membuat visual gokil di The Cell dan The Fall, keasikan dalam kengacoannya itu tetaplah artistik.
Tarsem ini pasti punya bakat gambar dan komposisi yang cakep, pasti guru kesenian senang sama dia. Setiap frame diciptakannya dengan mengagumkan cantik dan ganjilnya sejak adegan pertama, the trailer didn’t do it justice (and kind of misleading too). Tidak hanya bentuk (kostum, set) dan komposisi warna yang ciamik, tetapi bagaimana cara orang-orang dan benda-benda itu bergerak juga bikin mata tak berkedip, sebuah sinergi penyutradaraan, desain kostum, desain produksi, dan sinematografi yang luar biasa, dan percayalah keartistikan itu bukan terletak pada bagian efek CGI. Seakan-akan lebih dari separuh film ini adalah parade instalasi seni. Bahkan adegan Phaedra membilas wajahnya dari minyak hitam pun terlihat nyeni sekali. Yes, gw sangat terpuaskan pada gambar demi gambar film ini. Kostumnya gila desainnya, fantastik, dan kudu harus diapresiasi di ajang penghargaan (dan itu tadi, cara kostumnya digerakkan pun keren). Biar pun ceritanya hanya dalam batas “oke”, gambar-gambar mengagumkan ala Tarsem inilah yang membuat betah menatap layar, hingga akhirnya setelah perjalanan yang cukup panjang, kita sampai pada adegan klimaks yang paling diharapkan banyak orang: peperangan. Ini pun keren (dan cukup gory juga), tapi biar demikian kekaguman gw masih tertuju pada komposisi dan rancangan gambarnya. Awesome.
Immortals bukannya tanpa kelemahan. Di luar kepuasan, gw pun merasakan ganjalan pada castingnya yang ngaconya agak kelewatan, seperti sosok Zeus yang kurang tua, Athena (Isabel Lucas) yang tatapannya terlalu kosong, pokoknya casting dewa-dewinya tuh agak aneh deh. Pun konsep kenapa para kaum abadi ini bisa berdarah dan “mati” juga gak terlalu jelas, atau jangan-jangan sebenarnya nggak benar-benar mati, tuh Titan nya aja nggak abis-abis. O well, terserah deh. Permainan aktornya sih lumayan saja. Mickey Rourke tetap gondrong dan berkharisma meski kali ini ketutupan kostum-kostum fantastisnya, sedang Henry Cavill sendiri bolehlah, cukup sebagai step signifikan sebelum jadi Superman baru (mukanya mirip Christopher Reeve euy). Bagi yang mengharapkan keseruan stylized atau lebih banyak pria bugar setengah telanjang seperti 300-nya Zack Snyder sebagaimana diiming-iming iklannya, silahkan bersiap kecewa dan caci maki film ini. Immortals tidak sama dengan film-film Hollywood kebanyakan, terutama dari gaya visual dan berceritanya (terutama lagi Immortals bukan buatan Zack Snyder, coba deh mulai belajar mengenali sutradara *mulaisokngatur*), konsepnya pun udah agak nyeleneh, sayangnya ini ditutup-tutupi oleh produser-produsernya sehingga terkesan menipu. Seperti The Fall, it’s a fine exhibition of imagination, but with more blood and less heart. Immortals tidak seperti ekspektasi banyak orang sepertinya, tetapi justru melebihi ekspektasi gw setelah sempat ragu dengan trailernya yang sok 300 itu, justru filmnya Tarsem emang harus agak aneh begini. Benar, saya suka film ini. Sekian dan terima kasih.
My score: 7/10
Komentar
Posting Komentar