My Movie Picks of February 2021

Bulan Februari gw cukup tambah semangat untuk menonton film sesering mungkin, didorong oleh perilisan film di bioskop lokal yang makin menarik line-up-nya, demikian juga yang di streaming--tapi ini lebih didorong oleh peringatan "last chance to watch" sih, hehe. Beberapa judul berhasil menarik hati dengan daya tarik masing-masing, berikut enam judul yang gw rasa patut untuk gw catat.



1. Tenet
(2020 - Warner Bros.)
dir. Christopher Nolan
Cast: John David Washington, Robert Pattinson, Elizabeth Debicki, Kenneth Branagh, Aaron Taylor-Johnson, Dimple Kapadia, Himesh Patel, Clémence Poésy, Martin Donovan, Michael Caine

Kadang gw heran Nolan tuh bisa nggak ya bikin film yang nggak njelimet. Tapi setelah dipikir-pikir lagi film-film doi juga secara garis cerita nggak ada yang ribet sih, cuma alat berceritanya aja yang bikin keder. Dalam Tenet, sebuah film spionase untuk mencegah seorang penjahat menghancurkan dunia just like every action film in this known world, alat yang dipakai adalah konsep "menjalani arus waktu secara terbalik/berlawanan arah"--karena menggambarkan relativitas dan persepsi waktu udah so mainstream he made 3 films about it already (Inception, Interstellar, Dunkirk). Yang ingin gw ambil dari sini adalah bagaimana unsur sci-fi-nya yang lumayan memeras nalar nggak lantas membuat film ini absen untuk jadi exciting. Gw sukses banget menikmati film ini tanpa harus dicari-cari banget gimana-gimananya, yang penting hasilnya di layar adalah adegan-adegan yang seru dan mendorong produksi endorfin, sambil mengilik-kilik otak sedikit. Sebuah film laga khayal ambisius yang mungkin hanya Nolan saja yang diperbolehkan untuk mewujudkannya dalam skala sebesar ini.
My score: 8/10




2. Stand By Me Doraemon 2
(2020 - Toho/Robot Communications/Shirogumi/Shin-ei Animation)
dir. Ryuichi Yagi, Takashi Yamazaki
Cast: Wasabi Mizuta, Megumi Ohara, Satoshi Tsumabuki, Yumi Kakazu, Subaru Kimura, Tomokazu Seki, Nobuko Miyamota


Setelah brand-nya 50 tahun eksis, film animasi CGI kedua dari Doraemon ini nggak perlu lagi meng-emphasize betapa canggihnya alat-alat Doraemon, apalagi menggugat kenapa karakter lain nggak kaget lihat ada robot kucing berwarna biru berkeliaran di lingkungan mereka. Seperti pendahulunya, film ini ingin merangkum sekaligus memaparkan momen-momen kunci yang membentuk karakter-karakternya, di sini khususnya Nobita, yang disorot lewat perjalanan ke masa lalu (ketemu nenek) dan masa depan (pernikahan dengan Shizuka). Dengan mengambil beberapa momen dan episode dari komik/animasi yang sudah ada sebelumnya, film ini sanggup menyusunnya lagi menjadi satu plot petualangan yang terasa utuh, dengan tujuan mencari jawaban dari "kok Shizuka mau sih sama Nobita yang kayak begitu?" =P. Di luar penuturannya yang luar biasa heartfelt dan visual animasi yang cakep tanpa kendala, film ini nggak cuma hadir sebagai ajang nostalgia--karena itu bagiannya Stand By Me Doraemon pertama (2014), melainkan sebuah upaya menilai kembali karakter-karakter yang selama ini kita merasa sudah tahu, menjadi lebih dari sebatas permukaan.
My score: 8/10




3. The White Tiger
(2021 - Netflix/Lava Media/ARRAY/Noruz Films/Purple Pebble Pictures)
dir. Ramin Bahrani
Cast: Adarsh Gourav, Rajkummar Rao, Priyanka Chopra Jonas, Mahesh Manjrekar, Vijay Maurya, Kamlesh Gill, Swaroop Sampat


Film produksi Amerika-India ini mengangkat kembali kisah pendakian kelas sosial-ekonomi dari sisi yang kelam. Berlatar di India yang masih mempunyai gap besar miskin-kaya, dikisahkan sosok Balram berupaya agar dipekerjakan di kota Delhi demi mengeluarkan dirinya dari lingkaran kemiskinan di desa. Meski penuturannya cukup lurus-lurus aja, namun perubahan berangsur Balram dari yang awalnya punya mimpi yang polos lalu beralih ke manuver-manuver yang patut dipertanyakan moralnya, disampaikan dalam nuansa yang kuat mencekam, dramatis tanpa harus serba meledak-ledak. Ini juga tak lepas dari performa Gourav yang tanpa cela membawakan segala sisi karakter Balram. Dimasukkannya topik konglomerasi, politik, hingga perbedaan nilai berdasarkan upbringing juga diintegrasikan ke dalam ceritanya dengan cermat tanpa terasa kepenuhan.
My score: 7,5/10




4. Eddie the Eagle
(2016 - 20th Century Fox/Lionsgate)
dir. Dexter Fletcher
Cast: Taron Egerton, Hugh Jackman, Iris Berben, Keith Allen, Jo Hartley, Mark Benton, Christopher Walken


Jujur, hanya setelah gw selesai nonton film ini, gw baru tahu bahwa sosok nyata Eddie the Eagle, Michael Edwards ternyata terkenal sebagai salah satu atlet yang prestasinya rendah di Olimpiade musim dingin 1988 Calgary. Gw jadi mengerti cara yang dipakai film ini agar kisah tentang orang gagal bisa tetap feel good, dan caranya adalah make it fun, bukan make fun of it. Sejak kecil Eddie bercita-cita berlaga di Olimpiade, apa pun itu cabang olah raganya. Akhirnya pandangannya tertuju pada cabang ski jumping, yang ia tahu pasti bakal tembus karena Inggris Raya nggak punya atlet lain yang ikut cabang tersebut. Semangat membara Eddie (berupaya) meraih mimpinya ini diproyeksikan dengan positive vibes sepanjang film, mungkin sama halnya ketika dulu orang-orang baca berita-berita tentang sosok Eddie, yang selalu tersenyum gembira sekalipun kerap dapat ranking bawah di kejuaraan internasional.
My score: 7,5/10




5. The Eight Hundred
a.k.a. Bābǎi
(2020 - Huayi Brothers/CMC Pictures Holdings)
dir. Guan Hu
Cast: Huang Zhizhong, Zhang Junyi, Oho Ou, Du Chun, Zhang Cheng, Wang Qianyuan, Jiang Wu, Zhang Yi, Zhang Youhao, Vision Wei, Tang Yixin, Li Jiuxiao, Hou Yong, Li Chen, Xu Jiawen, Huang Xiaoming 


Sebenarnya banyak sekali poin yang bisa dibahas dalam film kolosal sejarah RRC ini--termasuk statusnya sebagai film bioskop berpendapatan tertinggi nomor 1 di dunia tahun 2020. Yang pasti, ini film mahal, like, mahal banget. Tak hanya reka ulang dan membangun kembali peristiwa pertempuran sekian hari pada tahun 1937 di tengah kota Shanghai, antara tentara China dari dalam sebuah gudang melawan pasukan Jepang--dalam adegan-adegan perang yang nggak tanggung-tanggung, film ini juga memasukkan pandangan dan keterlibatan berbagai lapisan warga lewat berbagai cara, perhatian media asing, rujukan ke legenda rakyat, perbedaan kelas sosial, hingga tentu saja perihal kehormatan prajurit, berhubung film ini pastinya bermotif patriotisme. Nah, yang menurut gw tak kalah menarik adalah cara film ini me-manage patriotisme itu se-general mungkin, berhubung saat itu China belum terbelah secara politik--gw ambil contoh ada sekuen panjang mengenai bendera negara, di sini secara akurat memakai bendera nasional saat itu yang sekarang justru dikenal sebagai benderanya Taiwan. Dan seterusnya dan sebagainya, banyak banget kontennya, dan mungkin itu juga yang bikin penuturannya agak susah diikuti. Tetapi, begitu masuk ke adegan-adegan akbarnya, gw nggak bisa nggak memberi salut sambil bergumam "mahalnyaaa film ini".
My score: 7,5/10




6. Malcolm & Marie
(2021 - Netflix/Little Lamb/Fotokem)
dir. Sam Levinson
Cast: Zendaya, John David Washington


Menyorot pertengkaran suami-istri/pasangan kekasih mungkin bukan premis yang paling revolusioner untuk sebuah film, namun film ini memberi sentuhan yang menarik ketika menempatkan karakternya sebagai pekerja di industri film Hollywood masa kini. Keduanya baru pulang dari acara pemutaran perdana film terbaru karya Malcolm, yang mendapat respons positif dan dianggap sukses. Namun, argumen tersulut ketika Marie mempermasalahkan kata sambutan Malcolm di acara tersebut, yang mengucapkan terima kasih pada banyak sekali orang, tapi tidak ada nama Marie. Sebagaimana film berlatar satu tempat dan satu waktu, pembongkaran latar belakang, motivasi, dan perluasan konflik pun terjadi dari adu dialog dua pemeran utama yang bermain sama-sama apik. Walaupun belakangan berasa juga lelahnya, pasang surut tensi emosi di film ini dimainkan dengan cukup baik, tak terasa kaku dan sepi sekalipun hanya ada dua karakter saja di dalamnya.
My score: 7,5/10




Komentar