Year-End Note: The 10 Indonesian Films of 2019

Sebuah comeback =)). Setelah tahun lalu absen, gw mencoba meneruskan kembali catatan film-film Indonesia yang notable sepanjang tahun. Senarainya masih dibuat dalam urutan abjad, karena emang di sini motivasinya bukan mencari yang terbaik dan mana yang melebihi yang lain, melainkan memberi apresiasi terhadap blantika film Indonesia itu sendiri *eaak serius amat*. Berikut ini adalah 10 film Indonesia yang menurut gw pantas untuk predikat tersebut dengan alasannya masing-masing. Again, dalam urutan abjad ya.





THE 10 INDONESIAN FILMS OF 2019



27 Steps of May
sutradara Ravi Bharwani


Merefleksikan dua sisi kehidupan atas sebuah trauma kekerasan: sang korban dan satu-satunya orang terdekat yang tersisa. Banyak simbol, tetapi nggak sampai bikin kebingungan, malah bikin makin peduli. Performa aktor-aktornya juara kelas.






Bebas
sutradara Riri Riza


Bermain di dua masa sekaligus, berpusat pada nilai persahabatan dan nostalgia. Versi lokal dari film Korea, Sunny (2011) ini dengan terampil mengindonesiakan berbagai aspek ceritanya, sehingga menjadi tetap terasa wajar dan punya rasa. Daftar soundtrack-nya ngehek sih.






Bumi Manusia
sutradara Hanung Bramantyo


Film roman berlatar masa kolonial berskala besar adalah risiko yang jarang sekali diambil di blantika sinema Indonesia. Jadi, gw bersyukur bahwa film seperti Bumi Manusia berhasil diproduksi secara proper dan ditayangkan (dan laku). Sempurna? Tentu tidak. Tetapi, skor terbaik film ini adalah bisa membuat durasi 3 jam nggak berat untuk diikuti dan yang nonton nggak kekurangan informasi. Itu sudah pencapaian yang besar.






Dua Garis Biru
sutradara Gina S. Noer


Film yang dipasarkan dengan kemasaan visual imut-imut, namun digarap dengan pemikiran mendalam. Versi mutakhir dari topik kehamilan remaja Indonesia yang nggak hanya sekadar menyulut diskusi, namun juga disajikan dengan kepekaan moral dan emosi.






Imperfect
sutradara Ernest Prakasa


Ernest Prakasa melanjutkan tradisi mengangkat premis sederhana tapi aktual dalam film komedinya. Berangkat dari kecenderungan sosial dalam bias penilaian tampilan fisik, khususnya perempuan, tujuan akhir film ini sudah terlihat jelas, yaitu pembelajaran mengenai penerimaan diri serta sensibilitas terhadap orang lain. Untungnya, sajiannya sangat ringan dan kemasannya jenaka, bahkan bisa jadi ini film Ernest yang humornya paling pecah.






Keluarga Cemara
sutradara Yandy Laurens


Reinterpretasi dari kisah sebuah keluarga yang kehilangan privilege (istilah nakanak Twitter untuk 'orang kaya tiba-tiba miskin') yang rupanya berhasil mempertahankan spirit dari kisah-kisah yang disadurnya (gw sendiri familier dengan serial TV-nya), dengan sentuhan yang relevan dengan masa kini, dan percikan ekstra di sisi emosi. Pemetaan konflik dan karakternya terampil, pemilihan dan pengarahan pemainnya juga cermat. Pesannya sama, bahwa fokusnya bukan pada gimana cara jadi kaya lagi layaknya kisah-kisah para motivator, melainkan bagaimana memelihara harta yang paling berharga, yaitu…*insert theme song*.






Kucumbu Tubuh Indahku
sutradara Garin Nugroho


Sudah berkali-kali gw kemukakan, seorang Garin Nugroho adalah jenis sineas yang "udahlah terserah mas Garin aja". Premisnya cukup abstrak: sejarah kekerasan yang membentuk jati diri seorang penari lengger lanang, lengkap dengan pengaruh aspek budaya, sosial, ekonomi, politik, geografi, dan kepercayaan. Begitupun cara bertuturnya terbilang menantang (a.k.a. gw kayaknya belum paham sepenuhnya, hahaha). Hanya saja, keterampilan dan artistry Garin dalam mengeksekusi adegan masih dan selalu menawan, yang belum bisa ditandingi ataupun bahkan kepikiran oleh sineas manapun.






Perempuan Tanah Jahanam
sutradara Joko Anwar


Joko Anwar menampilkan pemandangan baru dalam genre horor-thriller negeri ini. Betapa leganya gw bahwa tampilan "desa angker"-nya terlihat seperti actual desa, demikian pula dengan mitologi yang hendak dibangun terasa masih segaris dengan mitos-mitos lokal kita, sehingga tak sulit untuk masuk dalam suspension of disbelief-nya. Ya kalau soal serem dan seru, itu niscaya.






Terlalu Tampan
sutradara Sabrina Rochelle Kalangie


Film ini adalah contoh terbaik sinergi antara konsep absurd (ini adaptasi sebuah komik) dan penggarapan yang sama absurdnya. Nggak ada yang perlu direalistiskan dari ide "seorang pemuda yang harus disembunyikan karena keterlalutampanannya dapat menimbulkan keresahan dan kekacauan massal". Dijalankan dalam plot persahabatan dan kisah asmara remaja, langkah paling tepat film ini adalah memperlakukan segalanya se-wacky mungkin, namun dengan pengaturan visual dan ritme humor yang terkontrol, bikin seneng nontonnya.






Twivortiare
sutradara Benny Setiawan


Dengan presentasi yang tidak terlalu mewah, pemandangan utama dari film ini adalah konser akting Reza Rahadian dan Raihaanun sebagai pasangan muda yang kawin, cerai, lalu dekat lagi terus kawin lagi, tapi bermasalah lagi. Berkat mereka, penonton dapat tersedot untuk menilik dan mengikuti naik turun kehidupan karakter mereka, mencoba menyerap motivasi dan dilema mereka masing-masing, hingga akhirnya menyadari bahwa yang satu tak sepenuhnya salah dan yang lain tak sepenuhnya benar.






Komentar