[Movie] Chikung (2016)


Chikung
(2016 - Ta Ferri Entertainment)

Directed by Ta Ferri
Written by Ta Ferri, Minwari Gunawijaya
Produced by Liem Ming Ming, Johny Tanujaya
Cast: Ta Ferri, Ki Daus, Salsabilla Audita, Nuke Budiarti, Clarisa Harsi, Cecep Arif Rahman, Doel Syawal, Tanto Sudrajat, Iis Carina, Tommy Alexander, Dimas Harya


Chikung adalah salah satu film yang dilirik dikit aja udah ngerti bahwa this is going to be bad. Dari desain posternya, wording-nya, dan, well, everything. Entah apa yang dijadikan daya tarik ataupun nilai jualnya, dan mau menyasar penonton yang mana--ini jelas film indie, but not that kind of indie. Gw enggan jelaskan kenapa gw bisa nonton ini, yang gw kejar nonton hari pertama karena tahu film yang out of nowhere dan nggak pake promosi begini akan cepat hilang dari peredaran, yang pasti gw sudah mengonfirmasi bahwa syak wasangka gw terhadap kualitas film ini memang benar. Yah, itung-itung gw jadi punya wawasan sedikit lebih luaslah tentang film Indonesia saat ini. Tapi, entah karena gw mood-nya lagi baik atau kebanyakan makan gula, gw lebih ingin mencoba memahami keberadaan film ini daripada marah-marah sendiri lalu menghina-dina-mariana. 

Jadi begini, dalam pandangan gw Chikung itu kelihatan sekali datang dari orang-orang yang tidak tahu cara membuat film. Mindset-nya masih kayak sinetron, tapi bahkan tidak sampai seperti sinetron yang ada sekarang, lebih seperti produksi komunitas kecil yang belum cukup ilmu filmmaking-nya, atau at least nggak mengikuti perkembangan zaman. Gw nggak tahu harus mulai dari mana untuk menggambarkan itu. Alat syuting dan editing yang kelihatan banget sederhana, musik latar yang cuma ada dua jenis track berdurasi sekitar 20-30 detik yang diulang-ulang dan suka mati tiba-tiba setiap ganti scene, atau yang paling bikin sengsara ceritanya yang usang tapi dipanjang-panjangin, plus karakterisasi yang anehnya sangat banyak untuk sebuah film yang "kecil" ini. Plus masih pakai suara hati yang di-voice over saat sedang dalam adegan percakapan dengan orang lain. Mau ngamuk nggak loe...

Dari penyusunan ceritanya aja udah bermasalah. Si pembuat sepertinya ingin membuat film kung-fu kontemporer yang straightforward terinspirasi B-movies dalam versi urang Bandung--gw sempat lihat salah satu set bertuliskan kota Lembang. Seorang pemuda bernama Kung Ming (Ta Ferri)--itu pun jika memang mau percaya bahwa si pemeran utama yang tampangnya seperti berusia di atas 40 itu "pemuda", penjual pakan hewan sederhana yang juga jago kung-fu mendapat kunjungan dari sosok kakek misterius (Ki Daus from Indosiar's Supersoulmate Show fame =p) yang berpakaian mirip pendekar dari partai pengemis baju indah tanpa tongkat pemukul anjing di Legend of Condor Heroes, yang juga kebetulan mirip kakek Kung Ming yang dulu menghilang (??), yang meramalkan kejadian besar yang akan terjadi dalam hidupnya. 

Satu per satu perkataan si kakek jadi kenyataan, Kung Ming dikerubungi oleh tiga wanita *ho my God, give me a moment to giggle XD....*. Mereka adalah Shenlin *or something* (Nuke Budiarti), adiknya bernama Lala (Salsabilla Audita), dan the pop-up lady *karena sering muncul di mana aja sesukanya* bernama Reta (Clarisa Harsi). Namun, ini membuat Kung Ming terseret ke masalah cewe-cewe muda ini. Orang tua Lala gagal memenuhi tuntutan rentenir bernama Johnson (sorry didn't catch the actor's name) yang classically berkumis berjaket kulit dan gemar tertawa jahat bersama antek-antek premannya yang nggak pernah kebagian dialog. Johnson mengancam akan menghancurkan usaha mereka bila utang tidak dibayar. Tapi, ada opsi amnesti utang bila...apa hayo....yak, you've guessed it, salah satu dari kedua putri mereka mau kawin dengan Johnson. Ya jadi intinya si Kung Ming yang ditaksir oleh Lala itu kemudian jadi pembela keluarga inilah.

Namun, nggak mau kalah sama film-filmnya Screenplay Production, kisah Chikung ternyata penuh twist. Kung Ming yang sempat babak belur oleh gerombolan Johnson ternyata ditakdirkan untuk mencapai suatu level kesaktian yang membuatnya disebut Chikung. Bukan cuma sakti bela diri, dia juga punya kemampuan penyembuhan, plus menunjukkan letak emas pemberian dewata. Twist kedua adalah si pop-up lady Reta ternyata juga mencari-cari kesempatan dan halalkan segala cara demi diterima cintanya oleh Kung Ming *ho my God, give me a another moment to giggle XD....*. Ini gw belum nyinggung ada sosok pemuda *yang emang beneran pemuda* yang violently naksir Lala dan jadi rival cinta Kung Ming, yang me-refer si Kung Ming dengan sebutan "cowok itu" seolah mereka seumuran. Lalu si bapaknya Lala yang tetiba stroke dalam waktu singkat, lalu proses kakaknya Lala yang kemudian jadi sosok Dewi Kwan Im (!), atau tokoh sepupu Lala, seorang cowok remaja yang entah fungsinya apa selain menuh-menuhin durasi dan layar. Oh, did I tell you bahwa 30 menit pertama film ini adalah tentang masa kecil Kung Ming yang hanya menceritakan bagaimana ia tertarik sama kung fu?

Gw sepertinya harus stop menceritakan keanehan-keanehan filmnya, karena gw nggak mau semakin kelihatan ngenyek. Pokoknya, saking demikiannya, gw nontonnya pun lebih sering ketawa kayak ngeliatin anak balita pakai seragam polisi main jadi pengatur lalu lintas: pakaiannya polisi, tapi bukan beneran. Maksud gw, agak berlebihan kalau gw bilang ini film jelek, because it's barely a 'film'. Ini berbeda dengan 'film' yang dibuat secara profesional tapi hasilnya jelek. Untuk yang satu ini, gw nggak sampai hati untuk komplain tentang akting, directing, skrip, desain produksi, editing, sound, visual effect, atau logika cerita sekalipun, seolah Chikung ini ada dalam level yang sama dengan 'film' bioskop lainnya. Gw melihat pembuat film ini sudah menyiapkan cerita yang badass, dipenuhi imajinasi tentang legenda-legenda khas cerita silat Tiongkok dan pesan-pesan kebajikan berbasis ajaran Buddha *yang somehow semua bagian ini harus diujarkan secara panjang lebar oleh tokoh kakek-kakek*, dengan berbagai twist dan divine intervention, tapi berhubung mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, ya hasilnya di film jauuuuh dari niat itu. Gw bahkan tetap nggak ngerti "chikung" itu apa.

Jika ada yang bisa gw nilai positif di sini adalah adegan-adegan tarungnya. Kelihatan bahwa orang-orang ini punya keterampilan bela diri, dan mungkin inilah satu-satunya unsur di film ini yang hasilnya bener--Ta Ferri kayaknya punya klub kung-fu sendiri, ditambah ada Cecep Arif Rahman jadi semacam bintang tamu di tiga scene yang semuanya melibatkan perkelahian. Gw jadi heran kenapa film ini nggak memperbanyak adegan laganya saja ketimbang memenuhi 100-an menit durasinya dengan drama-drama menyiksa, tetapi, again, balik lagi ke paragraf sebelumnya. Oh ya, tipografi di titelnya juga lumayan. Dan....gw juga bisa mengapresiasi positif sama, believe it or not, pengambilan gambarnya. Sinematografinya memang sangat, sangat, sangat kurang, tetapi dengan ukuran bahwa ini film amatiran, jika dilihat dari komposisinya dan angle gambarnya, bidang inilah yang paling menunjukkan potensi, seandainya lebih banyak belajar dan latihan serta didukung peralatan yang proper.

Menurut gw persoalan terbesar Chikung adalah nyalinya yang luar biasa untuk membuat film DAN menayangkannya di bioskop komersial, tanpa kemampuan membuat film dengan benar. Ini bukan sesuatu yang membanggakan lho ya, dan gw sih berharap semua orang yang terlibat film ini mawas diri dan menyadari itu sebelum merasa gerah filmnya nggak "didukung". Akan lebih bijak sebelum go bikin film panjang di bioskop, coba bikin short films dulu, perbanyak referensi dari yang lama sampai ke yang baru, latih taste-nya, ikut kelas-kelas, atau sekalian libatkan pembuat film yang lebih profesional minimal untuk membimbing. Ingat bahwa film ini kerja kolaboratif, cari tahu dulu bagaimana menerjemahkan cerita yang ada di kepala agar bisa dikerjakan dengan baik, lalu bagaimana caranya juga agar dimengerti dan dirasakan oleh yang nonton. Mindset harus diubah sejak menyusun cerita dan karakter, mana yang perlu mana yang nggak, jangan maunya cepet syuting saja. Apalagi kalau masih minim pengalaman, mintalah dan dengarkanlah pendapat dari yang lebih pengalaman, terbukalah pada saran dan kritik.  Entah kenapa habis menonton ini gw bawaannya jadi mau nasihatin, mungkin karena nggak tega aja kalau udah capek-capek mengerjakan tapi hasilnya sangat sulit untuk dibanggakan. Jika toh film ini akhirnya ditonton oleh hanya sangat sedikit orang, anggap saja itu demi kebaikan semua pihak.





My score: 3/10

Komentar

Posting Komentar