Parasyte: Part 1
(2014 - Toho)
Directed by Takashi Yamazaki
Screenplay by Ryota Kosawa, Takashi Yamazaki
Based on the comic book series by Hitoshi Iwaaki
Produced by Genki Kawamura, Takahiro Satou, Keichirou Moriya
Cast: Shota Sometani, Sadao Abe, Eri Fukatsu, Ai Hashimoto, Kimiko Yo, Masahiro Higashide, Jun Kunimura, Takashi Yamanaka, Mansaku Ikeuchi, Kazuki Kitamura, Tadanobu Asano, Kosuke Toyohara
Ide yang yang ditawarkan Parasyte memang sama sekali tidak baru. Diangkat dari komik karya Hitoshi Iwaaki, Parasyte berangkat dari ide makhluk asing yang mencaplok dan mengendalikan tubuh manusia. Ide tersebut beberapa kali pernah diangkat dalam literatur dan film—sebut saja Animorphs, The Puppet Masters, The Faculty, sampai The Host karya Stephenie Mayer. Akan tetapi, dalam Parasyte ide tersebut dikembangkan menjadi sebuah kisah yang lebih absurd, kadang lucu, seru, juga berdarah. Hal itu pula yang kemudian ditampilkan dalam adaptasi filmnya, setidaknya dalam paruh pertama yang berjudul Parasyte: Part 1 ini.
Suatu waktu, alien menyerupai cacing berhasil masuk ke dalam otak orang-orang di Jepang, dan menguasai tubuhnya sesuai kehendaknya. Mereka juga mampu memanipulasi bentuk dari tubuh yang mereka dapatkan sesuai kebutuhan, entah itu ketika bertarung ataupun makan. Makanan utama mereka? Daging manusia. Akibatnya, temuan potongan mayat dengan kematian "tak terjelaskan" jadi marak.
Namun, ada satu alien (diisi suara Sadao Abe) yang gagal menjalankan prosedur tersebut terhadap seorang remaja biasa-biasa bernama Shinichi Izumi (Shota Sometani yang bermain sangat baik), karena jalan masuk ke otaknya terhalang oleh earphone. Demi bisa hidup, alien tersebut terpaksa menguasai hanya tangan kanan Shinichi, dan sejak itu menamai dirinya Migi (artinya "kanan"). Yang terjadi kemudian adalah kedua makhluk ini harus hidup berdampingan demi menghadapi alien lain yang menganggap mereka sebagai pengganggu.
Parasyte kembali melanjutkan tren adaptasi komik dan animasi populer Jepang ke layar lebar dalam bentuk live action dalam satu dekade terakhir. Film Parasyte bisa dibilang salah satu yang paling ambisius. Tak hanya karena mengadaptasi materi yang sedang naik daun, tetapi juga terlihat dari nilai produksi yang serius dan visual effects yang semakin kompleks. Dilihat dari hasil akhir Parasyte: Part 1, sutradara dan spesialis visual effects Takashi Yamazaki (ALWAYS: Sunset on the Third Street, Space Battleship Yamato, Stand by Me Doraemon) sekali lagi membuktikan ia sanggup menangani materi seperti ini, menyajikan film dengan teknis audio visual yang mulus dan bisa jadi terdepan di negaranya.
Selain hal teknis, yang menarik dari film ini adalah bagaimana mengadaptasi sebuah materi yang sebenarnya segmented menjadi tontonan massal. Terlepas dari popularitas komiknya, Parasyte pada hakikatnya adalah kisah sci-fi campur horor yang menampilkan visual grotesque (contoh bentuk aliennya) dan kisah yang cukup disturbing, apalagi melibatkan bagian-bagian tubuh manusia yang dimakan sekalipun saat masih hidup.
Dalam Parasyte: Part 1, terlihat ada usaha untuk menurunkan kadar darah dan potongan tubuh di sini, mulai dari penekanan pada sisi drama, hingga penampakan wujud aliennya yang tidak pernah terlalu lama. Tetapi, itu tetap tidak menutupi bahwa film ini termasuk violent dan mungkin akan membuat beberapa penontonnya tak nyaman. Di sisi lain, itu adalah juga suatu bentuk keberhasilan, bahwa film ini masih mampu membangun atmosfer yang mencekam sekalipun tidak terlalu vulgar.
Namun, di luar itu, tidak ada lagi tawaran yang menonjol dari Parasyte: Part 1. Meski sudah disajikan dengan berbagai lapisan cerita, menggabungkan tema alien invasion (dalam versi perlahan-lahan), buddy movie, kasus misteri, dark humour, hingga keluarga, film ini belum punya sesuatu yang membuatnya stand out. Bahkan, karakterisasi Migi sang alien pun masih terlihat lemah, entah memang dari skenarionya atau mungkin animasi tokoh berbentuk absurd ini yang kurang ekspresif. Pemikiran tentang betapa anehnya pemikiran dan perilaku manusia dari sudut pandang alien pun hanya disajikan sambil lalu—atau mungkin memang sengaja supaya film ini tidak jadi terlalu serius.
Satu hal yang mungkin paling berhasil dari film ini selain teknik visualnya, adalah ketika sampai pada saat Shinichi diuji rasa kemanusiaannya. Ini ditandai dengan adegan Shinichi harus menghadapi kenyataan bahwa alien yang ingin membunuhnya menguasai tubuh orang yang disayanginya. Meski agak klise, bagian ini berhasil menibulkan dampak tanpa ditunjukkan terlalu berlebihan. Ini pun bukan hal baru, sebab penonton yang akrab dengan film horor zombi pun pasti sering menemukan hal serupa. Akan tetapi, setidaknya poin itu bukan cuma tempelan, dan sangat berfungsi dalam perubahan karakter Shinichi di bagian akhir film, yang nantinya akan berlanjut ke Part 2-nya.
Ngomong-ngomong soal Part 2, pembagian kisah ini jadi dua film akhirnya juga berpengaruh pada porsi penceritaan tokoh-tokoh film ini. Maka, harap maklum kalau beberapa tokoh yang "kelihatannya penting" seperti para detektif polisi dan juga alien misterius yang naik ke panggung politik, seakan ditampilkan tidak tuntas. Perlu dimaklumi pula kalau peristiwa-peristiwa yang ditampilkan di sini juga bukan dalam skala spektakuler (baru tahap "tingkat sekolah"), karena ini baru awal. Mudah-mudahan, permakluman itu benar-benar terbayar di Parasyte: Part 2 nanti.
My score: 7/10
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com
Tadinya gwe super skeptis sama fiLm ini, terutama buat efek2nya, but it turned out to be surprisingLy good. Gwe enjoy banget nontonnya, bahkan Lebih enjoy daripada animenya. Semoga nanti Encore tanggung jawab & bawa part 2 masuk ke Indonesia..
BalasHapusPart 2 is coming, kabarnya =)
Hapus