Foxcatcher
(2014 - Sony Pictures Classics/Annapurna Films)
Directed by Bennett Miller
Written by E. Max Frye, Dan Futterman
Produced by Megan Ellison, Jon Kilik, Anthony Bregman, Bennett Miller
Cast: Channing Tatum, Steve Carell, Mark Ruffalo, Sienna Miller, Vanessa Redgrave, Anthony Michael Hall
Film Foxcatcher bukanlah film olahraga, bukan pula film
biografi seperti dalam pengertian umum. Film ini dibuat berdasarkan sebuah
kasus kriminal yang cukup besar terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1996,
dengan latar belakang bidang olahraga gulat (gaya romawi, bukan WWE) tingkat
nasional. Sutradara Bennett Miller dan timnya mengambil penceritaan yang
berangkat dari pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" kasus
itu terjadi. Dengan berpatokan demikian, Foxcatcher yang ritme ceritanya cukup
lambat ini akan lebih mudah dipahami maksudnya.
Kasus yang dimaksud adalah terbunuhnya seorang mantan atlet
gulat peraih medali emas Olimpiade Los Angeles 1984—yang jadi pelatih gulat,
Dave Schultz, oleh miliarder John du Pont, yang tak lain adalah pemilik dan
pemberi dana pusat pelatihan gulat Foxcatcher. Kasus ini terbilang cukup
mengusik, selain karena Dave adalah atlet yang pernah mengharumkan bangsa AS,
du Pont sendiri berlatarbelakang
keluarga kaya terhormat, dan hubungan di antara mereka diketahui tidak
bermasalah. Film Foxcatcher pun mencoba menganalisis bagaimana itu tersebut
bisa terjadi.
Film diawali dengan perkenalan kakak beradik Schultz, Mark
(Channing Tatum) dan Dave (Mark Ruffalo). Keduanya adalah juara gulat di kelas
berbeda di Olimpiade 1984, namun keduanya punya imej yang berbeda. Kelihatan
sekali bahwa Dave, yang memang lebih ramah dan diandalkan, memiliki hidup yang
lebih mapan, dan menikmati perannya sebagai pelatih gulat di kotanya. Sementara
Mark yang masih muda dilanda kejenuhan, karena hidup sebagai peraih medali emas
Olimpiade tidak memberinya kesejahteraan yang diharapkan.
Kesempatan hidup lebih baik datang lewat tawaran John du
Pont (Steve Carell), yang telah membangun fasilitas pelatihan gulat termutakhir
di tanah milik keluarganya, yang disebut Foxcatcher. Mengaku sebagai penggemar
olahraga gulat namun tak bisa jadi atlet, John menawarkan Mark untuk
menggunakan fasilitas itu dan melatih atlet-atlet gulat lain, dengan target
meraih juara lagi di Olimpiade Seoul 1988. Tentu saja, Mark juga diberi bayaran
dan fasilitas mewah.
John sendiri tadinya ingin Mark mengajak Dave, tetapi Dave
menolak dengan alasan tidak ingin pindah kota demi anak-istrinya. Mark sendiri
tidak terlalu berusaha meyakinkan Dave, toh inilah saatnya Mark bisa bersinar
tanpa bayang-bayang kakaknya.
OBSERVASI KARAKTER
Secara perlahan, Foxcatcher membuat paparan terhadap sisi
psikologis para tokohnya. Ada Mark yang sedang menghidupi impiannya, ada pula
John yang akhirnya bisa bersentuhan langsung dengan dunia gulat yang
dicintainya, bahkan menyandang panggilan
coach. Namun, keduanya seperti tidak
siap untuk itu.
Mark terlena dengan kehidupan mewah bahkan terjerembab dalam
narkotika. Demikian juga John yang punya hubungan yang kompleks dengan ibunya
(Vanessa Redgrave), yang menganggap gulat bukan olahraga berkelas. Segala
tindakan dan kepedulian John bermuara pada hasratnya untuk membuktikan bahwa ia
bisa jadi kebanggaan lewat hal yang digemarinya. Ketika itu tak berjalan sesuai
kemauannya, John pun menunjukkan gelagat yang janggal, dan turut berpengaruh
terhadap Mark dan sasana gulatnya. Segalanya bertambah rumit ketika Dave ikut
terseret.
Dengan pilihan angle cerita dan penggarapannya, Foxcatcher
nyatanya tidak ingin terpaku pada teknik procedural—penyelidikan tentang
terjadinya sebuah kejahatan. Miller memilih mengajak penonton untuk
mengamat-amati karakaternya dengan saksama (lewat adegan-adegan yang cukup
panjang), dan kemudian membaca apa yang menyebabkan kasus itu terjadi dari segi
psikologis. Ini seperti yang dilakukan Miller dalam film Capote (2005), hanya
saja tanpa sosok Truman Capote yang menjadi wakil penonton dalam mengamati sisi
psikologis seorang terpidana kasus pembunuhan.
Dengan kata lain, Foxcatcher ini termasuk tidak mudah untuk
dinikmati. Apalagi, sudah terbaca bahwa film berdurasi 129 menit ini akan
semakin kelam di belakangnya. Walaupun sebenarnya, secara struktur dan estetis,
tidak ada masalah dengan film ini. Apa yang ditunjukkan di sepanjang film
bukannya tidak mudah dipahami, segalanya punya pay off pada akhirnya.
Demikian juga para aktornya bermain dengan sangat baik dalam
menyampaikan apa yang ada di benak tokohnya meski tanpa banyak kata, menguatkan
fokus film ini yang lebih banyak ke karakter. Tak sulit untuk bisa melihat
bahwa Mark mengalami depresi, John yang perlahan termakan oleh obsesinya agar
bisa jadi "seseorang" yang berarti, juga Dave yang punya empati luar
biasa, baik terhadap Mark maupun John. Semuanya disajikan lewat adegan-adegan
yang dirancang dengan teliti, agar bisa dilihat tanpa perlu penjelasan lagi.
Film ini bukannya sulit untuk dipahami. Hanya saja, dengan
penyampaian yang tanpa unsur keceriaan atau hampir tak
punya ledakan emosi, bisa dibilang butuh konsentrasi lebih untuk bisa mengikuti
film ini hingga akhir.
My score: 7/10
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com
Komentar
Posting Komentar