Public Enemies
(2009 - Universal)
Directed by Michael Mann
Screenplay by Ronan Bennett and Michael Mann & Ann Biderman
Based on the book "Public Enemies: America's Greatest Crime Wave and the Birth of the FBI, 1933-34" by Bryan Burrough
Produced by Michael Mann, Kevin Misher
Cast: Johnny Depp, Christian Bale, Marion Cotillard, Billy Crudup, Giovanni Ribisi
Latar belakang kisah Public Enemies adalah peristiwa2 dan tokoh2 nyata tahun 1933-1934, era depresi (krisis ekonomi lah), ketika ada 3 perampok bank paling dicari di Amerika: Pretty Boy Floyd, Baby Face Nelson, dan John Dilinger. Karena aksi mereka lintas negara bagian, maka mereka adalah target utama dari FBI (pas baru2 berdiri) yg memang didirikan untuk berwenang di seluruh wilayah Amerika. Di film ini, yg jadi fokus adalah John Dilinger (Johnny Depp). Dilinger bukanlah penjahat yg ditakuti, tapi malah jadi semacam selebritis. Dilinger terkenal "santun" waktu merampok, karena tidak membunuh orang sembarangan dan bersikap gentlemen sama perempuan (walaupun tetep sambil ditodong). Pun dianggap pahlawan karena berani mengambil uang yg notabene "hasil rampokan bank dari rakyat". Dilinger juga bisa dengan santai bergaya hidup flamboyan, terutama di kota Chicago, dimana ia mendapat perlindungan dari mafia sana. Mulai di kota inilah, FBI berusaha menangkap "Public enemy no.1" itu, yg pada perkembangannya membuat pemerintah Amerika mengesahkan FBI sebagai lembaga investigasi yang berfokus pada kriminal tingkat nasional.
Inti film ini sich soal sebuah tim khusus FBI pimpinan Melvin Purvis (Christian Bale) ingin menangkap Dilinger, sebuah pekerjaan yg amat sangat sulit --yg digambarkan dengan bagus sekali, mengingat jaman dulu alat komunikasi canggih blum ada, boro2 kamera CCTV atau alat penyadap, jadinya susah untuk menelusuri jejak kriminal sekelas Dilinger. Tampang si buron pun palingan cuman muncul di koran atau bioskop (dengan tulisan "wanted") yang belum tentu diinget orang. Dengan itu sebagai intinya, film ini dilumuri hingga meresap *ayam bakar kali* dengan beberapa hilite hidup Dilinger: hubungan spesial Dilinger dengan Billie Frechette (Marion Cotillard), sempat ditangkap yg malah membuatnya semakin terkenal, kemudian kabur lagi, mau ngerampok lagi tapi atas tekanan mafia musti kerja bareng si "heboh" Baby Face Nelson (Stephen Graham) yg berakhir kacau, lalu menyingkir dan bertahan dengan teman2 terakhirnya, dan akhirnya ditembak mati sehabis nonton bioskop (no spoiler here, it's history). Cukup panjang dan bertele-tele, tapi disinilah kemampuan sang sutradata diuji.
Menurut gw, Michael Mann, yg punya gaya khas dalam membuat film, jago dalam membuat plot yg subtle *dapet istilah dari sinema-indonesia.com ^^*, penonton (well.. gw deing) tau sendiri ceritanya sambil jalan/nonton tanpa perlu diumbar jelas dalam dialog. Walaupun ternyata fakta sejarah sudah di fiksionalisasi (cara dan runut waktu wafatnya 3 public enemies beda dengan sejarah), tapi suasana realistis kental terasa, terutama didukung dengan penggunaan kamera digital untuk menangkap gambar. Tidak ada yg tampak terlalu didramatisir atau over-stylized (a.k.a. lebai), dialog2 yg ada terdengar natural tak terkecuali yg mengundang cengiran ikhlas. Perampokan2 Dilinger seakan ditunjukkan sambil lalu karena memang itulah rutinitas seorang perampok (obviously), romansa Dilinger dan Billie juga digambarkan seperti pasangan normal lainnya. Tapi bagian paling favorit gw adalah adegan2 baku tembak yg kayak beneran (lengkap dengan suaranya) yg ternyata amat sangat cukup untuk ngebangun ketegangan maksimum.
Akting para aktornya sangat memuaskan. Johnny Depp selalu bisa meyakinkan dalam setiap perannya (dan film ini cukup mengeksploitasi mukanya yg nyaris sempurna bentuknya itu), Christian Bale bolehlah sedikit melepas image Bruce Wayne nya. Marion Cotillard pun berhasil mencuri perhatian di setiap kemunculannya, gw paling suka di bagian ending, Marion membawakan peran Billie yg sedih tapi tetep rasional bukannya mewek nggak jelas.
Kesimpulannya, gw suka film ini. Mungkin bagi sebagian orang, gambar dan adegan realistis adalah sama dengan membosankan, terserah sih. Jelas jangan disamain dengan Pirates of the Caribbean atau Transformers yang pamer visual efek. But u know what, walaupun agak terlalu serius, dan gw nontonnya di bioskop yg operatornya kurang kompeten (suara udah keriting, gambar melengkung sebelah...di MPX Pasaraya Grande tuch), mata gw tetep bisa terpaku ke layar untuk mengikuti ceritanya. Film yg well-made dengan desain artistik yg mantap (tanpa harus pamer) dan sudut sinematografi yg mumpuni. Serius, realistis, tapi tetep seru.
my score 8/10
Latar belakang kisah Public Enemies adalah peristiwa2 dan tokoh2 nyata tahun 1933-1934, era depresi (krisis ekonomi lah), ketika ada 3 perampok bank paling dicari di Amerika: Pretty Boy Floyd, Baby Face Nelson, dan John Dilinger. Karena aksi mereka lintas negara bagian, maka mereka adalah target utama dari FBI (pas baru2 berdiri) yg memang didirikan untuk berwenang di seluruh wilayah Amerika. Di film ini, yg jadi fokus adalah John Dilinger (Johnny Depp). Dilinger bukanlah penjahat yg ditakuti, tapi malah jadi semacam selebritis. Dilinger terkenal "santun" waktu merampok, karena tidak membunuh orang sembarangan dan bersikap gentlemen sama perempuan (walaupun tetep sambil ditodong). Pun dianggap pahlawan karena berani mengambil uang yg notabene "hasil rampokan bank dari rakyat". Dilinger juga bisa dengan santai bergaya hidup flamboyan, terutama di kota Chicago, dimana ia mendapat perlindungan dari mafia sana. Mulai di kota inilah, FBI berusaha menangkap "Public enemy no.1" itu, yg pada perkembangannya membuat pemerintah Amerika mengesahkan FBI sebagai lembaga investigasi yang berfokus pada kriminal tingkat nasional.
Inti film ini sich soal sebuah tim khusus FBI pimpinan Melvin Purvis (Christian Bale) ingin menangkap Dilinger, sebuah pekerjaan yg amat sangat sulit --yg digambarkan dengan bagus sekali, mengingat jaman dulu alat komunikasi canggih blum ada, boro2 kamera CCTV atau alat penyadap, jadinya susah untuk menelusuri jejak kriminal sekelas Dilinger. Tampang si buron pun palingan cuman muncul di koran atau bioskop (dengan tulisan "wanted") yang belum tentu diinget orang. Dengan itu sebagai intinya, film ini dilumuri hingga meresap *ayam bakar kali* dengan beberapa hilite hidup Dilinger: hubungan spesial Dilinger dengan Billie Frechette (Marion Cotillard), sempat ditangkap yg malah membuatnya semakin terkenal, kemudian kabur lagi, mau ngerampok lagi tapi atas tekanan mafia musti kerja bareng si "heboh" Baby Face Nelson (Stephen Graham) yg berakhir kacau, lalu menyingkir dan bertahan dengan teman2 terakhirnya, dan akhirnya ditembak mati sehabis nonton bioskop (no spoiler here, it's history). Cukup panjang dan bertele-tele, tapi disinilah kemampuan sang sutradata diuji.
Menurut gw, Michael Mann, yg punya gaya khas dalam membuat film, jago dalam membuat plot yg subtle *dapet istilah dari sinema-indonesia.com ^^*, penonton (well.. gw deing) tau sendiri ceritanya sambil jalan/nonton tanpa perlu diumbar jelas dalam dialog. Walaupun ternyata fakta sejarah sudah di fiksionalisasi (cara dan runut waktu wafatnya 3 public enemies beda dengan sejarah), tapi suasana realistis kental terasa, terutama didukung dengan penggunaan kamera digital untuk menangkap gambar. Tidak ada yg tampak terlalu didramatisir atau over-stylized (a.k.a. lebai), dialog2 yg ada terdengar natural tak terkecuali yg mengundang cengiran ikhlas. Perampokan2 Dilinger seakan ditunjukkan sambil lalu karena memang itulah rutinitas seorang perampok (obviously), romansa Dilinger dan Billie juga digambarkan seperti pasangan normal lainnya. Tapi bagian paling favorit gw adalah adegan2 baku tembak yg kayak beneran (lengkap dengan suaranya) yg ternyata amat sangat cukup untuk ngebangun ketegangan maksimum.
Akting para aktornya sangat memuaskan. Johnny Depp selalu bisa meyakinkan dalam setiap perannya (dan film ini cukup mengeksploitasi mukanya yg nyaris sempurna bentuknya itu), Christian Bale bolehlah sedikit melepas image Bruce Wayne nya. Marion Cotillard pun berhasil mencuri perhatian di setiap kemunculannya, gw paling suka di bagian ending, Marion membawakan peran Billie yg sedih tapi tetep rasional bukannya mewek nggak jelas.
Kesimpulannya, gw suka film ini. Mungkin bagi sebagian orang, gambar dan adegan realistis adalah sama dengan membosankan, terserah sih. Jelas jangan disamain dengan Pirates of the Caribbean atau Transformers yang pamer visual efek. But u know what, walaupun agak terlalu serius, dan gw nontonnya di bioskop yg operatornya kurang kompeten (suara udah keriting, gambar melengkung sebelah...di MPX Pasaraya Grande tuch), mata gw tetep bisa terpaku ke layar untuk mengikuti ceritanya. Film yg well-made dengan desain artistik yg mantap (tanpa harus pamer) dan sudut sinematografi yg mumpuni. Serius, realistis, tapi tetep seru.
my score 8/10
Komentar
Posting Komentar