Promise
(2017 - Screenplay Films/Legacy Pictures)
Directed by Asep Kusdinar
Written by Sukhdev Singh, Tisa TS
Produced by Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo
Cast: Dimas Anggara, Amanda Rawles, Boy William, Mikha Tambayong, Mawar Eva De Jongh, Surya Saputra, Annisa Hertami, Ricky Cuaca, Ari Irham, Monica Oemardi, Ira Wibowo, Donny Alamsyah, Ira Wibowo
Gw pikir ya, setelah ILY from 38.000 ft yang
menurut gw termasuk lumayan untuk genre roman picisan remaja Indonesia, film-film
selanjutnya dari Screenplay Films akan, setidak-tidaknya, lebih tolerable buat
ditonton oleh yang bukan target penontonnya. Lalu muncullah Promise. Oke, sebelum gw komentar macam-macam, gw harus
menaruh film ini dalam konteks. Film ini masih menyasar remaja (terutama putri)
yang senang dengan cerita cinta yang sederhana tapi cenderung diribet-ribetin make a big deal out of it, seperti nggak ada permasalahan hidup
yang lain selain masalah cinta, karena mungkin dalam fase usia tersebut itulah hal terbesar yang mereka hadapi. Gw nggak bilang ini salah, toh cerita-cerita
seperti ini mengena buat segmen remaja dan sebagian orang dewasa (inget
Twilight?), dan bukan berarti nggak bisa digarap dengan bagus (inget AADC 1?).
Screenplay menurut gw sangat berhasil dalam meng-cater target penonton itu dengan film-film roman remajanya,
dibarengi dengan produksi yang nggak sembarangan. Hanya, to be mildly said,
Promise bukanlah contoh terbaiknya.
Sebagaimana tradisi roman remaja dan komik serial cantik, awal kisah cinta yang diangkat di Promise dibuat konyol. Rahman (Dimas
Anggara), seorang anak pengurus pesantren di Yogyakarta disuruh menikah oleh
orang tuanya (Surya Saputra dan Annisa Hertami) dengan jodoh yang sudah ditentukan, sekalipun ia masih belum lulus
SMA. Why? Gara-gara ia ketahuan menyimpan DVD porno milik sahabatnya yang memang
bandel, Aji (Boy William). *I know, move along*. Kisah kemudian melompat dua tahun kemudian di Milan,
Italia, Rahman yang kuliah grafis di sana didekati oleh sesama orang Indonesia, Moza (Mikha Tambayong). Sementara, hati Rahman
masih tertutup untuk cinta yang baru, karena tujuannya ke Milan adalah demi
mencari seseorang yang kini menghilang. Jadi sebenarnya
Rahman udah nikah atau belum? Apakah orang yang dicari itu istrinya atau orang lain pilihannya sendiri? Dan apakah orang
tersebut diperankan Amanda Rawles yang wajahnya tampil gede banget di poster?
Gw bisa langsung jawab pertanyaan terakhir, iya. Selebihnya gw nggak bisa
jawab, atau lebih tepatnya gw tidak "diperbolehkan" jawab karena pertanyaan-pertanyaan itulah
yang dimainkan oleh film ini untuk memberi elemen surprise demi surprise demi surprise, yang sebenarnya
juga nggak surprise sama sekali.
Menurut gw Promise adalah proyek yang terlalu self-aware
dari Screenplay, karena gw lihat mereka terlalu keras berusaha membuat sesuatu yang
beda dari materi yang itu-itu aja. Kisah cinta segi banyak, yang satu sama lain saling nggak
tahu perasaan sesungguhnya, yang satu mau menjaga perasaan atau nggak mau menyakiti yang lain
dengan nggak mengatakan yang sebenarnya, siapa jadian sama siapa, seputar situ-situ aja. Kini dicoba sudut
pandangnya lebih ke cowoknya yang perasaannya "dipermainkan" oleh
ceweknya, macam Great Expectations gitu =P, tetapi in the end isinya gitu-gitu lagi. Nah, karena isinya "sama aja" itulah dicoba satu hal
beda dari Promise, yaitu penuturannya yang urutannya agak diacak-acak. Iyah,
dari awal di Jogja, ke Milan dua tahun kemudian, mundur ke pertemuan Rahman dan Moza pertama kali di Milan, mundur lagi dua tahun sebelumnya ke Jogja lagi, balik lagi ke masa sekarang, mundur lagi, maju lagi menjelang akhir, eh
mundur lagi dikit, mundur jauh, balik lagi, macam orang baru belajar nyetir mobil pertama kali nyoba parkir di mal. Mungkin maksudnya
supaya setiap 15 menit ada "twist" yang bikin penontonnya bereaksi
"howalah ternyata gitu ya" atau "tuh bener 'kan apa kubilang" =_=, dan katanya sih hal ini
emang disukai target penonton roman remaja, makanya tiap ending film-film
beginian pasti ada adegan flashback, silahkan dicek. Tapi yang nggak gini juga kaleeee……
Terlepas dari apakah gw suka atau tidak sama ceritanya,
permasalahan utama Promise justru terletak di metode penuturannya itu. Maksud gw, film ini
akan fine-fine saja jika alurnya dibuat berurutan. Malahan seandainnya demikian, feeling-nya akan lebih nusuk ketika kita sudah mengetahui informasi latar
belakang karakternya dengan lengkap lalu muncul adegan yang jederr. Misalnya
pertemuan Rahman dan Kanya (Amanda Rawles) pertama kali di Milan, karena jadi lebih tahu
awkward-nya kayak gimana, nggak kosong seperti yang ditampilkan di hasil akhir
film ini. Gara-gara ini juga, alur maju-mundur yang disajikan di film ini jadi
lebih ke annoying daripada mengejutkan, karena yang ditampilkan saat flashback
pun bukan informasi yang mengejutkan. Ibarat kita dapet kado ulang tahun atau kenaikan kelas dari orang lain berupa baju yang pas dibeli di toko kitanya ikut hadir bahkan fitting buat mastiin ukurannya, apanya yang surprise? Andai saja ditampilkan dalam alur yang biasa dan…well, flashback yang seperlunya di bagian ending aja seperti biasanyalah,
mungkin film ini nggak akan terasa sekacau ini. Again, problem itu terlepas dari
bahwa cerita ini tentang anak 18 sampai 20 tahun nikah-cerai semudah
membalikkan halaman novel, atau yang katanya sahabat tapi nggak tahu sahabatnya
alami peristiwa-peristiwa penting, atau sabotase akad nikah (?), dialog-dialog ala quotes Instagram dan Path yang nggak nyambung sama usia penuturnya, atau karakter-karakter utama yang nggak jelas maunya apa (mungkin gara-gara alur setrikaan itu sih), dan banyak hal lagi yang bikin gw nggak sanggup untuk terlarut dan menerima cerita ini dengan akal sehat.
Yah, untung aja nilai produksi film ini terbilang oke, jadi
masih enak dilihat, kelihatan kelengkapan syutingnya dipersiapkan matang. Well, setelah
ada adegan kecelakaan pesawat di ILY, mungkin memang berlebihan jika
mengharapkan di Promise bakal ada tabrakan Ferrari beruntun gitu or something, tetapi dari
penataan visual dan production design-nya, Promise masih cukup membuktikan komitmen
Screenplay untuk bikin perbedaan jelas antara film bioskop dan FTV
pagi-pagi/siang-siang SCTV. Gw juga menemukan bahwa performa para pemeran
utamanya lumayan fasih untuk genre ini, tetapi mungkin yang paling menarik
adalah Mikha Tambayong yang dari pengucapan dialog hingga pakaian hingga parasnya bisa klop
dengan karakternya, nggak ngeselin, sehingga membuatnya jadi karakter yang paling kelihatan
seperti manusia bernyawa di sini. Namun, mungkin itu saja hal positif yang bisa gw
ambil dari Promise, film roman remaja yang ingin beda tetapi keinginan itu malah berdampak mengacaukan--ya kalau mau beda harus dari sejak penyusunan cerita dan karakternya dong. Dan, kayaknya gw kelewatan 'promise'-nya itu sebenarnya apa dan di mana.
My score: 5,5/10
Komentar
Posting Komentar