Rudy Habibie (Habibie & Ainun 2)
(2016 - MD Pictures)
Directed by Hanung Bramantyo
Screenplay by Ginatri S. Noer, Hanung Bramantyo
Story by B.J. Habibie
Produced by Manoj Punjabi
Cast: Reza Rahadian, Chelsea Islan, Dian Nitami, Donny Damara, Indah Permatasari, Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, Boris Bokir, Cornelio Sunny, Paundrakarna, Millane Fernandez, Leroy Osmani, Timo Scheunemann, Verdi Solaiman, Bagas Luhur Pribadi, Fadika R., Bima Azriel, Bastion Simbolon, Manoj Punjabi
Gw punya sense bahwa yang punya film ini menganggap bahwa film tentang Habibie adalah sesuatu yang sangat dinanti-nantikan banget nget oleh khalayak ramai, padahal mungkin sebenarnya nggak. Oke, nggak bermaksud menuduh bahwa yang punya film ini terlalu berkhayal juga, gw sih yakin ada sejumlah orang yang memang menanti-nantikan film ini segitunya, tapi gw sendiri sepertinya nggak masuk dalam universe itu. Habibie & Ainun film sukses besar, iya, tapi bukan berarti sekuel-sekuelnya (yes, plural) lantas benar-benar diharapkan untuk dibuat. Apalagi kisah film sebelumnya sudah mencakup apa yang patut diketahui tentang B.J. Habibie dari muda sampai sang istri wafat, lengkap dengan kisah dia sekolah S3 di Jerman, pencapaian bikin pesawat terbang nasional, dan mengarungi perpolitikan Indonesia dari 1990-an hingga 2000-an, sebagaimana ia selama ini dikenal. Terus, apa lagi yang mau diceritakan? Kenapa gw harus menyaksikan film lanjutan dari sebuah film biografi yang relatif sudah menyeluruh? Gimana gw nggak curiga, berhubung tokohnya masih hidup, bahwa ada upaya glorifikasi sang tokoh yang dimaksud lewat film-film ini?
Okelah, Rudy Habibie merupakan sebuah kisah dengan angle agak beda, ketika Bacharuddin Jusuf Habibie menuntut ilmu penerbangan di Aachen, Jerman Barat di era 1950-an, dan segala hal yang (konon) terjadi di sana, dan ini sebelum dia melihat Ainun berubah dari gula jawa jadi gula pasir =P. Ya kalau udah nonton Habibie & Ainun pasti udah ketahuan akhirnya seperti apa: Habibie akan pulang ke Indonesia membawa ilmunya bikin industri pesawat terbang, dan kisah cinta apa pun yang terjadi di Jerman pasti akan kandas karena cinta Habibie toh nantinya hanya untuk Ainun seorang. Tapi, mungkin satu-satunya hal yang membuat gw intrigued sama Rudy Habibie adalah kisah film ini berlatar Perang Dingin, ketika ada perseteruan Blok Timur dan Blok Barat dan Indonesia semacam terjepit di tengah-tengahnya. Well, porsi itu juga sayangnya agak dimentahkan sama isi filmnya.
Jujur gw cukup kecewa dengan apa yang ditampilkan dalam keseluruhan film Rudy Habibie ini. Gw menangkap bahwa film ini punya beberapa garis cerita, yaitu impian Rudy muda (Reza Rahadian) menciptakan pesawat terbang Indonesia, kiprahnya di organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Jerman, dan kisah cinta bound-to-be-doomed-nya bersama Ilona (Chelsea Islan). Tapi, tak satu pun dari garis cerita itu yang terbayar lunas. Semua adegan yang berkaitan dengan kisah-kisah itu semua berserakan di film ini tanpa struktur yang jelas, sampai gw pikir, "Ini film mau cerita soal apa sih?". Parahnya, durasi filmnya juga panjang, sampai 2 jam 20 menit. Tapi, saat gw balik lagi pada kecurigaan di atas, akhirnya kekacauan penuturan ini jadi make sense: Rudy Habibie ingin menggarisbawahi, dua kali, cetak tebal, tentang kualitas-kualitas terbaik sosok Habibie.
Rudy itu cuerdas, bisa berbagai bahasa, mandiri, disukai cukup banyak orang, jadi rebutan beberapa perempuan lokal maupun internasional, taat beribadah (saking taatnya adegan sembahyang ditunjukkan lebih dari the usual consensus tiga kali di layar, ada mungkin 10 kali), pantang menyerah meski dalam keadaan susah, tak mau merepotkan, sayang keluarga, setia pada negara, toleran, berpandangan ke depan, pokoknya suri tauladan luar biasa yang patut dicontoh semua orang. Satu-satunya kelemahan dia di sini adalah pandangannya terlalu ke depan sehingga nggak mudah diterima orang-orang pada masanya. Oh, dan candaannya jayus. Nevermind soal gw percaya atau tidak bahwa Rudy memang benar-benar seperti yang digambarkan di film ini--yah dari wujud dan posturnya aja dia jadi Reza Rahadian menurut ngana?--Rudy Habibie yang dalam benak gw berpotensi sebagai film yang insightful tentang orang Indonesia di luar negeri di masa Perang Dingin malah jatuhnya jadi sebuah ilustrasi pelajaran Kewarganegaraan yang, sebelumnya sudah sering ditemukan di layar bioskop kita. Atau, mungkin memang itu tujuannya.
Gw akui Rudy Habibie juga memunculkan topik-topik yang menarik dan cukup penting. Sepak terjang Rudy di PPI itu menurut gw termasuk di situ, juga soal kehidupan mahasiswa mandiri seperti Rudy dengan para mahasiswa ikatan dinas seperti teman-temannya atau para mantan tentara yang digambarkan berperangai songong, atau juga penelitian Rudy yang berada di bawah pemerintahan Jerman yang harus terbentur kepentingan politik, dan beberapa hal lain. Tapi, lagi-lagi, tidak ada yang akhirnya terbangun dengan utuh, boro-boro paid-off dalam konklusinya. Entah mungkin memang dirancang demkian--well hopefully not, para kru filmnya ini orang-orang kompeten lho harusnya--atau mungkin editing yang terlalu terburu-buru untuk film dengan modal sebesar ini dan topik-topik sepenting ini, jujur gw sulit menikmati film ini. Hell, gw bahkan nggak ngerti di bagian mana Ilona ditunjukkan "percaya pada cica-cicamu cita-citamu".
Tapi yaaaah, bukan berarti nggak ada yang bisa dinikmati dari keseluruhan presentasi film ini. Akting para pemainnya yang oke setidaknya berhasil menambal ke-random-an plotnya. Funny thing is, meski secara emosional tidak sekuat Habibie & Ainun, gw lebih nyaman melihat akting Reza sebagai Habibie di film ini, mungkin karena film ini berlatar 40 tahun sebelum bagian hidup Habibie yang gw tahu sehingga suspension of disbelief-nya lebih berhasil. Desain produksi dan tata kostumnya pun terlihat apik, kelihatanlah niatan film ini untuk memunculkan nuansa vintage, atau minimal menunjukkan bahwa film ini mahal. Dari nilai produksi, film ini amanlah, dan nggak ada product placement yang ngeselin, I'll give them credit for that.
Dan, well, jika tujuan awal film ini adalah mem-pinpoint apa saja tentang sosok B.J. Habibie yang kudu diteladani, terlepas dari penuturan cerita yang entahgimana itu, maka film ini sudah mencapainya, dan dengan dramatisasi yang diperlukan untuk itu. Lebay? Yaiyalah. Tapi kalau bisa mencapai tujuannya, ya mau bilang apa? Lalu, apakah film ini membuat gw excited terhadap film Habibie & Ainun 3 (!) yang sudah direncanakan oleh produsernya? Balik lagi ke paragraf pertama.
My score: 6/10
Komentar
Posting Komentar