Habibie & Ainun
(2012 - MD Pictures)
Directed by Faozan Rizal
Screenplay by Ginatri S. Noer, Ifan Adriansyah Ismail
Based on the book "Habibie & Ainun" by Bacharuddin Jusuf Habibie
Produced by Dhamoo Punjabi, Manoj Punjabi
Cast: Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Ratna Riantiarno, Vita Mariana Barrazza, Mike Lucock, Hanung Bramantyo, Tio Pakusadewo, Bayu Oktara
Sutradara people's favorite, Hanung Bramantyo kini makin gemar memberi kesempatan para apprentice-nya untuk membuat film. Kini giliran sinematografer langganannya, Faozan Rizal menyutradarai film panjang perdananya, bahkan langsung menangani film besar dan mahal, tentang kehidupan mantan presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan istrinya, Hasri Ainun. Ini tentu bukan proyek main-main, apalagi salah satu tokoh yang namanya ada di judulnya itu sampai sekarang masih hidup dan masih dikenal oleh nyaris semua warga negara Indonesia. Lebih pressure lagi, kisah yang diangkat sudah dikenal banyak orang dalam bentuk buku yang laris terjual dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Habibie & Ainun sendiri diangkat dari sebuah buku yang (katanya sih) ditulis oleh Pak Habibie sendiri, sebagai bentuk kenangan akan Ibu Ainun yang meninggal dunia tahun 2010 lalu. Ini adalah dramatisasi kisah perjalanan cinta selama pemimpin bangsa dan istri yang dicintainya hingga maut memisahkan. So there's your spoiler...
Rudi Habibie (Reza Rahadian) dan Ainun (Bunga Citra Lestari) dulunya satu SMA di Bandung, berkesempatan bertemu kembali kala Lebaran, ketika Rudi (yang adalah kependekan dari Bacharuddin, huruf B di nama B.J. Habibie, in case you're wondering) sedang cuti kuliah S2 di Jerman karena sakit TBC, dan ketika Ainun yang seorang dokter di rumahnya sedang...menjahit. Dua orang berpendidikan tinggi ini pun akhirnya menikah, dan berdua menjalani hidup sebagai perantau di Jerman agar Rudi bisa menyelesaikan pendidikan sampai S3 bidang teknik (makanya di namanya ada gelar "Ing." yang artinya ingeneur, bukan ing ngarso sung tulodo). Melewati suka duka sampai beranak dua, dan Ainun pun sudah bekerja sebagai dokter di sana, Rudi akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk mengembangkan bidang teknik, utamanya pesawat terbang, sebagaimana janjinya pada Ainun, yaitu membuatkan truk terbang. Sempat ditolak selama masa pemerintahan Soekarno, Rudi akhirnya mendapat dukungan dari rezim Presiden Soeharto, bahkan sampai duduk di kursi pemerintahan sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Wakil Presiden, hingga Presiden menggantikan posisi Soeharto yang lengser tahun 1998. Di masa-masa inilah tantangan semakin berat terutama bagi rumah tangga Rudi dan Ainun, dari kebiasaan Rudi yang memprioritaskan pekerjaan, hingga "gangguan" dari luar. Namun cinta mereka tetap teguh, Ainun selalu setia mendampingi Rudi saat senang (penerbangan perdana N-250 Gatotokoco) dan susah (satu tahun jadi Presiden R.I.), dan ketika semua itu berakhir, giliran Rudi yang berjanji akan terus bersama Ainun sebagai pengganti waktu-waktu sibuknya di pemerintahan.
Menurut kredit, isi film ini juga disupervisi oleh Pak Habibie, jadi buku dan kemudian filmnya bisa dibilang sebuah otobiografi. Tentu saja, kelemahan dari model ini adalah pasti ada titik-titik yang terdistorsi oleh kenangan si pencerita yang juga si pelaku cerita, tapi setidaknya dalam film Habibie & Ainun ini tidak terlalu terasa demikian. Penekanan terhadap hubungan Habibie dan Ainun di balik layar publik nyatanya cukup enak diikuti dan, yah, meskipun ada momen-momen yang bisa saja dicurigai sebagai "pencitraan", tetapi dieksekusi rapi sehingga cukup smooth dan bahkan menghibur. Bagusnya dari film ini adalah memberi informasi yang cukup tentang siapa dan bagaimana itu Rudi Habibie dan sepak terjang karirnya sebagai latar belakang hubungan kasihnya dengan Ainun. Tapi agak sayang, gw tidak mendapat informasi yang cukup tentang Ainun, yang katanya cerdas dan kritis, yang di film ini hanya ada di ucapan, bukan ditunjukkan. Juga agak one-dimentional, karena perselisihan terbesar mereka di film ini hanya saat Rudi enggan disuruh tidur dan Ainun kunci pintu kamar dari dalam. Bisa dimaklumi sebenarnya, tadi disinggung bahwa film ini semacam otobiografi dari kenangan si empunya cerita, jadi jika beliau hanya mau menceritakan sedemikian, ya nggak bisa diapa-apain juga. Toh jadinya film ini patut mendapat pujian karena tidak melebih-lebihkan, yang adalah kelebihan terpenting dari keseluruhan film ini.
Salah satu unsur terpenting dari kisah tentang tokoh nyata adalah aktor. Di sini, gw mendapatkan performa yang cukup baik dari para aktornya, bahkan orang-orang Jerman-nya pada pinter banget ngomong bahasa Jerman (...). Sebagai tokoh utama kisah ini, Reza dan BCL tampil dengan emosi yang wajar dan cukup meyakinan. Tetapi, Reza tidak berhasil mengubah prejudice gw bahwa dia salah casting sebagai B.J. Habibie, apalagi yang sampai umurnya 70-an. He's a good actor, tapi peniruan tutur dan behaviour lebay khas Pak Habibie (coba katakan "teknologi" dengan cara 'tehk-noo-lo-hi') yang dilakukannya nggak membuat gw yakin bahwa tokoh Rudi yang dimainkannya memang begitu adanya. Di mata gw, dia masih terlihat "terlalu niru" orang lain, sorot matanya kurang yakin...dan tubuhnya terlalu tinggi. Bukan terlalu tinggi sebagai Habibie, tetapi terlalu tinggi dan well-shaped untuk berperilaku seperti Habibie *ampun pak*. I'm just not convinced, maaf. Bukan selamanya salah Reza sih, mungkin salah satu "misstep" dari film ini adalah menampilkan footage yang ada Habibie aslinya di tengah-tengah film. No, no, no, no, kalau ingin penonton percaya bahwa Reza adalah Habibie, jangan sekali-kali tampilkan Habibie asli di tengah-tengah, nggak continue kale. Anyway, ada satu aktor yang menurut gw performanya paling menarik, yaitu Vita Mariana Barrazza, sebagai dr. Arlis, teman dekat Ainun, yang dalam screentime yang sedikit mampu mengeluarkan ketulusan dan emosi yang pas.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang lumayan kunci di atas, sesungguhnya Habibie & Ainun kembali membuktikan bahwa Indonesia sanggup membuat film dengan nilai produksi yang tinggi dan enak ditonton di bioskop. Sinematografinya bagus, efek visualnya lumayan, dan desain produksinya sangat niat dan sukses dalam menggambarkan zaman demi zaman...sebelum dinodai oleh produk-produk sponsor yang bisa eksis lintas waktu itu. Tapi, still, film ini enak dilihat...KECUALI pada bidang special make-up. Now, this one is very disturbing. Segala sesuatu di film ini tampak mahal kecuali bidang make-up yang belum maksimal dalam menggambarkan efek transisi Rudi dan Ainun dari umur 20-an hingga 70-an (!). Aktor-aktor kita tampak sama saja...kurang efek "tua" di leher dan tangan. Untuk sebuah produksi yang tampak mahal, entah kenapa bidang yang juga vital ini malah kayak dapet dana sisa-sisa.
Gw kayaknya harus stop karena kok kesannya gw kebanyakan menunjukkan nilai-nilai kurang film ini, hehe. Sebaliknya, menurut gw Habibie & Ainun adalah sebuah film yang masih layak tonton dan lumayan dapat menutupi kelemahan-kelemahannya dengan aliran cerita yang lancar dan tetap memikat hingga akhir, menghibur dengan manisnya percikan cinta sejati dari dua insan itu, bahkan sukses melaksanakan beberapa momen haru. Gw seneng nontonya, meski dengan berbagai permakluman. Masalahnya adalah, dengan makin banyaknya film Indonesia yang diproduksi serius dan berkualitas bagus, apakah gw masih harus "maklum" terus-terusan?
My score: 7,5/10
disaat semua memuji habis habisan reza dan sendu haru film ini..anda sedikit berbeda bro..tapi blog kan memang tempat kita menjadi diri kita sendiri bukan? (lah kok malah ceramah nieh..apa hubungannya ama habibie ainun hehe..)
BalasHapus..appreciate your very nice review.bro...
indahnya demokrasi adalah bisa menyatakan pendapat meskipun agak melawan arus lingkungan *jadi ceramah juga, hehe*
Hapusthanks ya =)