The Great Gatsby
(2013 - Warner Bros.)
Directed by Baz Luhrmann
Screenplay by Baz Luhrmann, Craig Pearce
Based on the novel by F. Scott Fitzgerald
Produced by Baz Luhrmann, Catherine Martin, Douglas Wick, Lucy Fisher, Catherine Knapman
Cast: Leonardo DiCaprio, Tobey Maguire, Carey Mulligan, Joel Edgerton, Elizabeth Debicki, Isla Fisher, Jason Clarke, Amitabh Bachchan
Baz Luhrmann, sutradara internasional asal Australia yang namanya diasosiasikan dengan gaya lincah, komikal, stylish, dan juga bisa dibilang "norak", baik dalam audio visual maupun dalam bercerita, mungkin mencerminkan orangnya juga *sok kenal*. Itu juga yang membuat Luhrmann menjadi salah satu sutradara yang setiap karyanya gw nanti-nantikan, pretty much karena gayanya yang mencolok itu. Film-filmnya sebelum ini yang udah gw pernah tonton punya kualitas produksi dan artistik (sangat) luar biasa, dan nggak satu pun yang gw benci. Dari Romeo+Juliet, lalu salah satu top favorite gw sepanjang masa Moulin Rouge!, bahkan Australia (Yes, I like that one, too. Problem?) selalu meninggalkan kesan. Kali ini Luhrmann kembali beraksi dengan adaptasi karya sastra terkenal Amerika karya F. Scott Fitzgerald, yang sebelumnya sudah pernah dua kali diangkat ke media film, The Great Gatsby. Dengan nama bintang-bintang papan atas, dan juga nama Luhrmann yang menjanjikan tontonan membelalak mata, dan setelah ditunda penayangannya dari Desember 2012 ke bulan Mei ini, was it worth the anticipation?
Meskipun judulnya ada salah satu tokohnya (bukan nama minyak rambut ya), The Great Gatsby diceritakan dari sudut pandang Nick Carraway (Tobey Maguire), seorang pegawai Wall Street yang baru pindah ke kawasan elit di Long Island, sarangnya orang-orang tajir *pasang lagunya Geger* dan hedonis. Kisah utamanya sendiri adalah tentang segala hal yang dilakukan tetangga sebelah rumah Nick, sang jutawan muda misterius Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio) demi mendapatkan cinta Daisy Buchanan (Carey Mulligan), sepupu Nick, juga istri dari Tom Buchanan (Joel Edgerton) yang gemar selingkuh sana-sini. Di tengah konteks ekonomi kota New York yang lagi melesat di tahun 1922 yang berefek pada gaya hidup pesta dansa dansi, kriminalitas, kesenjangan sosial, alkohol dan candu, musik jazz dan lain sebagainya, Baz Luhrmann rupanya mengarahkan pandangan pada persoalan cinta yang pelik antara Gatsby dan Daisy. Segala sesuatu yang lain bukannya tak penting, tetapi dibuat dalam porsi secukupnya agar mendukung perihal yang ingin diutamakan itu.
Tapi "secukupnya" versi Baz Luhrmann yah bedalah sama versi resep masakan. Menyaksikan The Great Gatsby yang berlatar Amerika 1920-an bukan berarti kita akan melihat segala kekunoan. Luhrmann kembali membuat sebuah dunia yang sensasional, bukan historikal. Jadi jangan heran bila melihat pemandangan kota yang "gambar banget", kostum kinclong, editing patah-patah super cepat, ataupun soundtrack yang sangat kontemporer. Seperti di Moulin Rouge!, Luhrmann ingin menyajikan sensasi sebuah zaman yang diterjemahkan sedemikian rupa agar dapat juga dirasakan (bukan cuma ditonton) oleh penonton zaman sekarang. Contoh yang paling kentara ya penggunaan musik di pesta-pesta kediaman Gatsby, bukannya jazz tapi malah jazz dugem R&B/hiphop campursari, seakan yang penonton dengar berbeda dengan yang didengar para tamu pesta yang berdansa tetap dengan gaya lawas. Tetapi mungkin itulah sensasi "pesta liar" jika diterjemahkan ke mindset penonton sekarang. Itulah "norak"-nya Baz Luhrmann, selalu memunculkan hal-hal mencolok dan menarik perhatian, kesannya asal taruh saja (masak udah ada yang masang lagu "H to the Izzo"-nya Jay-Z =D), tetapi anehnya tidak mendistraksi apalagi meruntuhkan penyampaian inti ceritanya. Yang satu ini, cuma Luhrmann yang bisa.
Telenovela banget ye posenya ^_^ |
Nah, kalau membandingkan dengan karya-karya Luhrmann sebelumnya, sebenarnya menurut gw The Great Gatsby seperti lebih jinak dari biasanya. Meskipun tidak sekonvensional Australia, tetap saja gw merasakan bahwa Gatsby ini tidak se-fun sebagaimana biasanya Luhrmann. Lincah, tapi tidak selincah itu. Stylish, tetapi tidak se-extravagant itu. Lucunya pun sedikit sekali. Yang menonjol justru atmosfer sendu dan melodramatik. Nggak jelek kok, dari dulu filmnya Luhrmann emang melodramatik, tapi mungkin Gastby adalah yang paling demikian—terima kasih juga pada lagu “Young& Beautiful”-nya Lana del Rey yang komposisinya “menghantui” di momen-momen terpenting. Adegan komikal khas Baz hanya kelihatan ketika kemunculan pertama Jay Gatsby (pake lagu “Rhapsody in Blue” dan kembang api ^_^) dan undangan teh sore di rumah Nick Carraway. Sisanya, mungkin menyesuaikan mood galau dari kisah cintanya sendiri. Terasa “kurang warna” buat gw, tetapi mungkin memang dimaksudkan begitu.
But to be fair, The Great Gatsby versi Luhrmann ini tetap enak dinikmati. Penceritaannya cukup lancar hingga akhir tanpa ada hambatan berarti *dikira jalan raya* sekalipun durasinya 2,5 jam, apalagi production value-nya yang mewah, cakep-cakep ribet gimana gitu, membuatnya sangat pantas disaksikan di layar bioskop (versi 3D pun tak ada ruginya). Dan sekalipun agak-agak nepotisme sesama Aussie dalam hal casting, jajaran pemerannya bermain apik seapik tampilan fisiknya, mulai dari DiCaprio, Maguire, Mulligan, hingga yang pendukung seperti Edgerton (an Aussie guy), Isla Fisher (an Aussie girl) sebagai salah satu selingkuhan Tom Buchanan, Jason Clarke (Aussie too), serta legenda Bollywood Amitabh Bachchan tetap bisa berkesan walaupun karakterisasi mereka gw rasa agak kurang utuh. Maguire sendiri pantas dipuji karena meskipun tokoh Nick seperti hanya “pengamat”, ketika dibutuhkan ia tak kalah “hadir” dibandingkan DiCaprio atau Mulligan. Namun mungkin yang paling bersinar adalah penampilan Elizabeth Debicki (again, Aussie) sebagai Jordan Baker, pegolf sosialita yang jadi love interest-nya Nick (walau tidak digali cukup dalam di film ini). Kecantikan dan bawaannya yang anggun selalu menarik perhatian setiap kali muncul di layar meski frekuensinya tak banyak.
Mungkin ada sejumput kecewa setelah selesai menyaksikan The Great Gatsby, karena ekspektasi gw terhadap sebuah film karya Baz Luhrmann yang biasanya hiperaktif dan fun. Namun, rasanya itu tidak sampai membutakan gw untuk melihat bahwa film ini jauh dari kata jelek atau menjengkelkan. Far from it. Meski tidak seliar yang disangka, toh Luhrmann sukses menceritakan apa yang (dirasa) penting diceritakan tetap dalam gayanya sendiri, tentang things someone would do for love—lagu “Crazy In Love” yang di film ini di-cover oleh Emeli Sandé rasanya sangat mewakili film ini =). Dan seperti bagian awal narasi dari Nick, yang memutuskan untuk selalu mengingat hal terbaik dari setiap orang yang tak terpuji sekalipun—khususnya tentang Jay Gatsby (yang dengan baik dilambangkan dengan letak pengungkapan pribadi Gatsby sesungguhnya tidak di klimaks cerita), gw pun memutuskan untuk mengingat hal-hal terbaik dari film ini, sambil dengerin lagu-lagu soundtrack-nya yang keren-keren. Belum sampai tahap mengagumkan, namun sepertinya akan selalu menarik bila me-revisit film ini di kemudian hari.
My score: 7/10
LOVE the music!!
BalasHapusyes, one of the best parts of the film =)
Hapusmakasih banyak ulasannya !
BalasHapus