Midnight in Paris
(2011 - Sony Pictures Classics/Mediapro/Gravier Productions/Versátil Cinema)
Written and Directed by Woody Allen
Produced by Letty Aronson, Stephen Tenenbaum, Jaume Roures
Cast: Owen Wilson, Rachel McAdams, Marion Cotillard, Kathy Bates, Michael Sheen, Carla Bruni, Corey Stoll, Tom Hiddleston, Alison Pill, Adrien Brody, Kurt Fuller, Mimi Kennedy, Nina Arianda, Léa Seydoux
Midnight in Paris menandai judul kedua garapan aktor/sutradara/penulis naskah veteran Hollywood, Woody Allen yang gw tonton setelah Vicky Cristina Barcelona (2008). Kesamaan unsur cerita orang Amerika yang "berkelana" ke sebuah kota Eropa (banyak sekali shot pemandangan kota yang bikin sirik penontonnya yang jadi pingin ke sana) sedikit banyak membuat gw mau nggak mau membandingkan film ini dengan Barcelona. Benar saja, sebagian besar gw merasakan persamaan, entah itu dari tone gambar, dialog mengalir yang santai tapi "cerewet", hingga esensi konflik seseorang yang selangkah lagi menuju kemapanan tetapi menemui keraguan pada perjalanannya di kota asing. Namun tentu saja keduanya adalah film yang berbeda. Midnight in Paris membawa karakternya pada pengalaman aneh bin ajaib dalam menemukan jawaban atas kebimbangannya.
Gil Pender (Owen Wilson) seorang penulis naskah film-film Hollywood yang sedang berusaha menulis novel perdananya tengah berlibur di Paris bersama tunangannya Inez (Rachel McAdams) sekaligus menemani orang tua Inez (Kurt Fuller & Mimi Kennedy) yang sedang dalam bussiness trip. Benih-benih kebimbangan muncul karena perbedaan keinginan Gil dan Inez: Gil mulai mempertimbangkan ide pindah dan menetap di Paris, yang baginya adalah kota penuh inspirasi, sedangkan Inez yang setelah menikah ingin hidup normal makmur sejahtera di Amerika sebagaimana ia sekarang menganggap ide Gil itu non-sense dan tak serius. Lalu pada suatu ketika Gil nyasar sendirian tengah malam, ia tiba-tiba diajak naik sekelompok orang lokal berpakaian kuno ke mobil yang kuno juga, hingga dibawa ke semacam klub malam bernuansa kuno dimana ia bertemu dengan Zelda (Alison Pill) dan suaminya F. Scott Fitzgerald (Tom Hiddleston), yang kemudian mempertemukannya dengan Ernest Hemingway (Corey Stoll). Ya, legenda-legenda literatur Amerika yang (harusnya) hidup tahun 1920-an in persons, dan kesemuanya adalah idola Gil. Malam-malam berikutnya Gil coba mengulangi pengalaman yang sama, dan tak hanya bertemu lagi dengan Hemingway, tetapi juga dengan kritikus seni legendaris Gertrude Stein (Kathy Bates), pelukis Pablo Picasso (Marcial Di Fonzo Bo), perupa surealis Spanyol Salvador Dalí (Adrien Brody) dan ikon-ikon seni lainnya dari era favorit Gil itu.
Gil dan penonton tentu bertanya-tanya penjelasan tentang peristiwa ajaib ini. Apakah perputaran waktu? Ataukah dimensi mistis (pemikiran Indonesia sekali)? Entahlah, rasanya itu juga nggak sepenting bahwa pengalaman ini justru memotivasi dan membuka wawasan Gil dalam penulisan novelnya, apalagi draft novelnya bisa dibaca oleh Gertrude Stein langsung. Mungkin rasanya seperti musisi-musisi masa kini yang tiba-tiba bisa bertemu dan demo musiknya diperdengarkan pada John Lennon. Tak hanya itu, dalam "alam lain" itu Gil bertemu dengan Adriana (Marion Cotillard, ini sih murni fiksi karakternya), seorang wanita cantik nan menawan (of course lah, Marion Cotillard gituh) peminat fashion yang, kalau meminjam istilah Gil, membawa sebutan "groupie" ke level berbeda, karena dia pernah menjadi kekasih gelap seniman-seniman ternama termasuk Picasso. Gil dan Adriana merasa saling cocok karena memiliki pemikiran agak sejalan, bahwa masa yang mereka sedang jalani sekarang tidaklah seindah "masa keemasan" yang lalu: Gil yang dari tahun 2000-an mengagumi Lost Generation di dekade 1920-an (semasa Perang Dunia I *nyontek Wiki*), Adriana yang (kira-kira) dari era 1920-an mengagumi era yang disebut Belle Époque di akhir abad ke-19 yang lebih glamor. Kecocokan itu pun berkembang jadi ketertarikan, apalagi itu sangat kontras dengan hubungan Gil dan Inez di "dunia nyata" yang lama-lama makin sering berselisih, diperparah oleh kemunculan Paul (Michael Sheen), teman Inez yang seorang intelektual angkuh namun selalu dipuja-puji Inez.
Dengan rentetan dialog yang seakan tanpa henti, dan kemunculan tokoh-tokoh sejarah seni, mungkin dengan gampang film ini dicap sebagai film bersegmen terbatas. Bagaimana tidak, kelompok penonton yang tidak punya bekal sejarah seni dan kesusastraan yang cukup pasti akan heran apa keistimewaan dari berkumpulnya tokoh-tokoh masa lalu itu...contohnya gw, hehe. Sedangkan kelompok penonton lain yang lebih melek begituan, mungkin akan kegirangan melihat penggambaran tokoh-tokoh ini yang dimainkan dengan luar biasa oleh para aktor di dalamnya. Gw sendiri akhirnya mencari jalan lain dalam menikmati film ini, yaitu kisah romansa dan pencarian jati diri yang disajikan natural dan jenaka (mungkin) khas Woody Allen. Alihkanlah fokus pada Gil yang lumayan idealis dan apa adanya ini yang terjebak antara kisah cinta "dunia nyata" yang grafiknya menurun, dengan kisah cinta baru di "dunia nostalgia" yang absurd itu, dan bagaimana ia me-manage keduanya. Lihat pula inti kegelisahan Gil dan Adriana yang merasa tidak puas dengan zaman mereka dan berharap bisa "escape" ke periode yang mereka anggap the best period, yah layaknya para penghuni 9gag.com yang menganggap 1990-an itu periode lebih baik daripada zaman sekarang yang "banyak sampah" di TV, huehehe. But like everyone should've known, kita nggak bisa terus-terusan terjebak di nostalgia masa lalu...tetapi bukan berarti kita pasrah saja pada masa kini dan masa depan. Decide.
Midnight in Paris secara keseluruhan adalah tontonan yang terkemas ringan, menyenangkan, nggak berlama-lama, mengalir, sederhana (segi teknis atau production value-nya tidak tampak mewah, toh kota Paris sudah mewah dengan sendirinya), serta dipenuhi oleh aktor-aktor yang berperan dengan kualitas mumpuni--ho-oh, termasuk Owen Wilson yang tanpa beban. Namun dibalik itu semua tersimpan sebuah pemikiran dan perenungan soal eksistensi yang agak berat juga, yang membuatnya nggak se-enjoyable Vicky Cristina Barcelona yang lebih ringan dan lebih menitikberatkan pada relationship. Still, film ini sama sekali tidak jelek, idenya segar, berisi, dan ngalor-ngidul-nya nggak sembarangan (heh?). Mungkin gw masih perlu banyak baca lagi kali yah untuk bisa benar-benar enjoy Midnight in Paris. Atau mungkin perlu langsung ke Paris =P.
My score: 7/10
Komentar
Posting Komentar