The Tree of Life
(2011 - Fox Searchlight/River Road Entertainment)
Written and Directed by Terrence Malick
Produced by Sarah Green, William Pohlad, Brad Pitt, Dede Gardner, Grant Hill
Cast: Brad Pitt, Sean Pean, Jessica Chastain, Hunter McCracken, Laramie Eppler, Tye Sheridan
The Tree of Life adalah salah satu film yang paling ditunggu tahun ini oleh sebagian penggemar film termasuk gw sendiri. Bukan, bukan penantian semacam menanti Harry Potter atau Transformers, tetapi lebih atas dasar kepenasaranan seperti apa karya terbaru sutradara pemalu “misterius” yang bergaya antik, Terrence Malick. Sebagaimana gw sampaikan di review film Malick sebelumnya, The New World yang cuakepnya banget itu, opa Malick ini punya gaya berbeda dan tersendiri dalam menggarap dan mempresentasikan filmnya (I don’t think the word “artistic” fit the description), pun beliau sangat irit dalam berkarya. Walau sudah 30-tahunan berkarir, The Tree of Life ini baru film ke-5 nya. Kepenasaranan pun meruncing ketika film ini dikirain bisa rilis 2009, trus 2010, eh jadinya 2011—lagi2 ini “terganjal” kebiasaan opa Malick yang demen ngendok menahun di ruang editing barengan editornya yg kali ini ada 5 orang (!), dan ditambah lagi film ini memenangkan penghargaan tertinggi Palm d’Or (Palem Emas) di Festival Film Cannes tahun ini, meskipun reaksi awal penonton film ini saat diputar di sana terbelah antara salut dan cela.
Buat gw pribadi yang hanya punya sedikit pengalaman menonton film2nya opa Malick, menonton The Tree of Life harus dengan kewaspadaan dan persiapan khusus. Pertama, ini “filmnya Malick”. Dengan gaya khasnya menyambung potongan2 klip gambar/footage hasil syuting secara cepat berasa lagi mimpi, ditempel voice over puitis, dan ledakan konflik yang nyaris tidak ada *gak ada tuh babak2 intro, pengenalan konflik, klimaks dsb*, film2 Malick selalu punya citra sebagai "film ninabobo", makanya waktu gw mau nonton ini jam midnight show, gw udah tidur siang dulu sebelumnya =D. Kedua, tak seperti dua film Malick sebelumnya yg pernah gw tonton, The Thin Red Line dan The New World tadi, premis film ini abstrak sekali, besar kemungkinan gw bakal gak nangkep atau kebingungan, sehingga gw seharian berusaha menjaga mood dan melemaskan otak supaya setidaknya menerima film ini dengan segala ke”berbeda”annya dengan lapang dada. Either that or fall to sleep, I will never walk out the theatre, ever (namun dilakukan juga oleh beberapa orang yang tidak tau apa yang mereka perbuat), loe kira gampang nyari duit...
Setelah menonton (utuh, tanpa tidur, the nap works ^_^ v), sudah diduga gw menemukan kesulitan untuk menceritakan ulang film ini. Kalo mau secara “kalimat promo”, The Tree of Life adalah film tentang pendamaian diri terhadap sebuah tragedi. “Diri” di sini adalah Jack O’Brien (Sean Penn), yang masih punya ganjalan terhadap kematian adik pertamanya, R.L. saat masih berusia 19 tahun beberapa dekade sebelumnya. Ia heran kenapa ibunya bisa tegar, karena dia sendiri agak nggak terima hingga saat ini. That’s the “what”, now the “how” is the problem. Udahlah dengan gaya khas Malick yang cepat banget berpindah adegan, film ini tambah “menantang” dengan penceritaannya yang tidak linear dan seakan pointless. Ada momen ketika keluarganya mendapat berita meninggalnya R.L., ada momen kehampaan Jack dewasa, ada proses terciptanya langit dan bumi hingga ada dinosaurus sampai pada komet/asteroid yang memunahkannya (!), ada fase lahir dan tumbuhnya Jack, lalu berhenti pada memori Jack remaja (Hunter McCracken) dengan segala kegiatan dan kenakalannya, fase2 aqil balig, permainan2nya dengan teman2 dan kedua adik laki2nya, R.L. (Laramie Eppler) dan Steve (Tye Sheridan), betapa lembut dan penuh cintanya sang ibu (Jessica Chastain), dan betapa kerasnya didikan sang ayah (Brad Pitt), saking kerasnya (walau tidak di luar batas normal sih) cenderung menumbuhkan kebencian di hati Jack. Tak berhenti di situ, kita juga akan kembali kepada Jack dewasa yang jalan2 di bebatuan karang, hingga bertemu dengan orang2 terkasih, termasuk yang sudah tiada, di satu tempat entah dimana dan kapan. Film apaan sih nih?
Film ini sangat terbuka terhadap berbagai interpretasi, yang akan gw bahas di sini hanyalah dari satu sisi yang paling bisa gw tangkep. Film ini dibuka dengan penggalan ayat dari Alkitab, tepatnya kitab Ayub. Ayub adalah tokoh biblikal terkenal, ia orang yang paling saleh di bumi pada masanya serta memiliki kekayaan melimpah, lalu Tuhan mengizinkan iblis membuat Ayub bangkrut sebangkrut-bangkrutnya, sakit sesakit-sakitnya, anak2nya mati, pokoknya segala macam penderitaan paling pol untuk menguji kesetiaannya, padahal dia nggak salah apa2, hingga pada akhirnya Ayub lulus uji karena tetap setia, serta apa yang tadinya hilang dikembalikan berlipat kali ganda. Namun, mungkin yang sering luput dari perhatian banyak orang, meski kisah Ayub itu sebenarnya, well, gitu doang, namun kitab Ayub itu sendiri terdiri dari 42 pasal/bab...weleh, apaan aja isinya coba? Jujur gw gak pernah baca menyeluruh (ampun pak pendeta =P), namun gw bisa bilang film The Tree of Life ini mirip dengan garis besar isi kitab Ayub. Perenungan, pembelaan, kebingungan, kebimbangan, jeritan, penyesalan, hingga percakapan dengan sang Pencipta.
Kisah penderitaan Ayub tadi bisa kelar hanya dalam satu kalimat, tapi tentu yang dia rasakan selama prosesnya tidak bisa disederhanakan begitu saja, sakitnya mah tetep, ya toh? Itu juga yang dirasakan Jack O’Brien. Dari tragedi kehilangan adiknya yang mati muda, meski sudah bertahun-tahun, meski ia sudah jadi arsitek mapan sejahtera di lingkungan serba rapih dan teratur (dan kantor yang oke berat =)), pertanyaan2 “itu” masih muncul dalam benaknya: Kenapa harus terjadi? Apa salah saya? Kenapa Tuhan tega? Tuhan dimana saat itu terjadi? Buat apa saya susah payah jadi orang baik kalau Tuhan tetap membiarkan penderitaan datang? Kalau segala sesuatu ada hikmahnya, apa hikmah dari kematian seseorang yang disayangi di usia 19 tahun? Sepanjang film ini, Jack mencoba melacak jawaban pertanyaan2 itu secara perlahan, lewat bagaimana ia memandang hidupnya di masa lalu, ketika ia menyerap segala sesuatu di dunia sekelilingnya baik maupun buruk, bagaimana ia memandang ibunya, bagaimana ia memandang adiknya yang nantinya meninggal dunia, dan yang paling membekas adalah bagaimana ia memandang ayahnya yang bahkan sempat dia doakan celaka. But somehow, yang paling membekas itu justru kerap mengalihkan dari jawaban yang ia cari...
Gw pikir semua orang pernah mengalami apa yang dialami Jack meski mungkin skalanya berbeda: mempertanyakan keadilan Tuhan, terutama setelah mengalami tragedi memilukan. Gw sendiri juga kadang2 suka merenung ketika habis mengalami peristiwa, misalnya kecelakaan atau sesepele pulang kerja kemaleman, hehe. Bahkan yang bukan "tragedi" seperti itu pun, pikiran gw akan kemana-mana, dan tak jarang berusaha “ngobrol” sama Yang Kuasa dengan pertanyaan2 serupa pertanyaan2 Jack (dan ibunya). Berpikir seandainya gw nggak begini atau nggak begitu, kenapa gw masih begini-begini aja, berkhayal gw mau jadi apa nantinya, lalu mengingat-ingat kembali masa lalu bahkan yang tidak relevan sekalipun sama kejadian yang gw alamin—mungkin sama kayak ngelanturnya film ini pada sesi penciptaan alam semesta, tapi mungkin bagian ini ingin menunjukkan posisi Sang Pencipta dengan ciptaannya terutama manusia: manusia tidak terlibat bahkan tidak melihat terbentuknya bumi yang begitu menakjubkan itu, so what makes us think we know better?
The Tree of Life ini layaknya visualisasi lamunan, perenungan, bahkan (kalau kata kritikus Roger Ebert) sebuah rangkaian doa dari Jack O'Brien, yang bisa jadi representasi dari opa Malick sebagai penulis/sutradaranya—kota Waco, Texas tempat keluarga O'Brien tinggal ternyata kampung halaman beliau. Jack (kita) bertanya, dan Yang Kuasa (sebenarnya) menjawab, mungkin tidak dengan kata2, tetapi dengan segala cara yang seringkali luput dari perhatian kita sebelumnya, dan itulah yang coba Jack cari dari memori masa lalunya (bukan berarti imajinasi ya), ia sedang look around, berusaha “mendengarkan” Tuhan. Gw setuju sama satu aspek film ini, bahwa kata2 "tabah ya", "ayo move on", atau "Tuhan punya rencana" dan segala ceramah penghiburan yang diujar oleh orang lain tidak akan mempan bagi pemulihan duka dan luka batin kalau bukan dicetuskan dari dalam diri sendiri, mungkin butuh waktu untuk itu, mungkin juga sampai berpuluh tahun seperti Jack. Apakah Jack akhirnya mendapat yang ia cari? Menurut gw iya, setelah mengubek-ubek kenangan masa remajanya, ia dapet sesuatu yang tadinya luput, sesuatu yang menjadi kunci pemulihan tali kasih dengan ayahnya yang selama ini, bahkan hingga Jack dewasa, masih terganjal kepahitan dan kebencian.
Menurut gw akan tidak adil menilai The Tree of Life ini sebatas film bagus atau tidak. Patokannya apa? The Tree of Life sekali lagi adalah sebuah pengalaman sinema yang berbeda, “luar biasa” dalam arti “di luar kebiasaan”. Meski tetap membawa ciri seorang Terrence Malick—misalnya keeksisan rumput ilalang =D, film ini tetap membawa impresi tersendiri. Salah besar jika mencari sebuah film yang lurus dan mencolek emosi layaknya dramatisasi film India atau sinetron Korea, lebih salah lagi kalau menonton ini karena faktor pengen liat Brad Pitt semata (kena loe, hehe). Kalo perspektifnya begitu, film ini bakal menjemukan sekali, lebih baik nonton Legends of The Fall aja lagi =D. Memang Pitt, Jessica Chastain, Sean Penn, bahkan si Jack remaja Hunter McCracken (yang porsinya paling besar sepanjang durasi 138 menit film ini) yang kalo gak salah baru pertama kali main film, semua bermain secara remarkable tanpa cela, gerak gerik dan gestur saat long shot maupun ekspresi wajah saat close up mereka bagus banget. Memang pula film ini begitu indah secara audio visual. Sinematografi yg dikepalai Emmanuel Lubezki memang hands down a total awesomeness (coba cek gambar2 screen-capture di teaser posternya di atas, ya kayak gitu filmnya =)), bikin menggelinjang gimana gitu #eh. Akan tetapi kesan yang lebih kuat daripada bentuk tampilannya adalah bagaimana film ini merasuk, menimbulkan empati, melibatkan diri penonton secara mendalam (bagi yang mau memperhatikan) sebab segala peristiwa dalam kilasan2 kenangan itu ditampilkan apa adanya dan nyata—tidak terstruktur sebagaimana cara kerja pikiran kita ketika mengenang sesuatu, seakan dialami atau memang pernah dialami oleh siapapun kita. Salah satu adegan powerful adalah ketika sekeluarga O’Brien makan siang, si ayah ngamuk karena R.L. menegur dirinya yang melanggar peraturannya sendiri untuk tidak bersuara di meja makan. Adegan ini powerful bukan karena dramatis, tetapi karena peristiwa semacam ini menimbulkan trauma, dan film ini berhasil mengeksekusinya dengan sedemikian.
Kalau mau dipermudah, anggaplah The Tree of Life ini bukan “film” dalam arti umum, melainkan lebih kepada visualisasi memori masa lalu yang diceritakan oleh seseorang, misalnya ayah/ibu atau kakek/nenek kita (opa Malick ya udah kakek2 toh, =D), atau juga visualisasi sebuah sesi doa berantai atau meditasi, atau kalo mau generasi 2000-an banget, anggaplah ini Pensieve versi panjang (lho kok nyambungnya Harry Potter =P). Tak perlu tergesa-gesa mempertanyakan kontinuitas adegan2 yang cepat beralih itu, karena pikiran kita bakal terus memproses dan merangkaikannya sendiri kok, bahkan seusai nonton. The Tree of Life adalah sebuah film yang bermakna dalam, sebuah perenungan sekaligus perayaan terhadap "hidup", dan dibuat secara cermat nan puitis—the words are just..wow. Bisa jadi Anda akan terperangah dengan dialog2 dan narasi yang diujarkan sepanjang film ini: damn, I thought about that too...
My score: 8,5/10
^_^ reviewnya ceplas ceplos dan disitu ciri khasnya blog ini...
BalasHapusBelum nonton tapi, Anyway kenapa judulnya "Pohon Kehidupan" ya? Can u explain?
wah, ulasannya kena sekali! dari bulan lalu gue mau mengulas film ini, masih kehabisan kata-kata dan ga tau mau nulis apa. tapi gara-gara ini, jadi banyak inspirasi dan semangat untuk nulis! gue setuju banget deskripsi lo tentang film ini; "visualisasi memori masa lalu" atau "visualisasi sesi doa berantai". rasanya itu deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan film yang "nyeleneh" ini :D
BalasHapus@Halomoan, hai trima kasih komentarnya *kepala membesar*
BalasHapuskalo soal judulnya, nah...itu...belum ngerti saia, hehe =P *tepokjidat3kali*. Memang ada beberapa tampilan pohon di sini, yang pasti menyimbolkan sesuatu, tapi gw belum bisa nangkep maknanya.
pemirsa yg lain ada yg bisa membantu kami?
@timo, terima kasih *kepala tambah membesar*
ayo dong di-review, ini adalah jenis film yang butuh diskusi dan telaah dari berbagai sudut pandang karena pasti interpretasinya beda2 buat tiap penonton. Semakin banyak yg review semakin menarik. Ditunggu lho =)
Setelah baca review ini kok jadi penasaran sama film ini? =/
BalasHapus@Rafael, filmnya Terrence Malick emang terkenal dengan narasi yang poetic, mungkin akan cocok sama mas Rafael =)
BalasHapusJujur, waktu nonton ga sempet mikir apa-apa karena terLanjur sibuk manjain mata dan teLinga, dan ada sedikit 'gangguan' dari penonton sebeLah yang sibuk komen ini "fiLm astronot" atau "fiLm NatGeo ChanneL" =_____=
BalasHapusHarus nonton Lagi!
@amadl klo nonton lagi usahakan dapet duduk agak depan dan tengah, biar pol gitu =)
BalasHapus