Produced by Iain Canning, Emile Sherman, Gareth Unwin
Cast: Colin Firth, Geoffrey Rush, Helena Bonham Carter, Guy Pearce, Timothy Spall, Derek Jacobi, Michael Gambon
Setelah The Fighter kemarin, The King's Speech juga gw tonton dengan niatan "apa sih istimewanya" menjelang perhelatan Academy Awards tahun ini. Gimana nggak penasaran, ketika banyak penghargaan pra-Oscar hanya memberi perhatian "seperlunya" pada film ini, eeh ternyata The King's Speech mendapat 12 nominasi di ajang Oscar yang benar2 mencakup semua bidang (film, akting (3 nominasi), sutradara, naskah, editing, suara, sinematografi, artistik, kostum, musik, simply everything o.O). Wah, agak beban nih nontonnya, gimana kalo ternyata ekspektasi gw jadi ketinggian mengetahui reputasi film yg juga memenangkan People's Choice Awards (pilihan penonton) di festival film internasional di Toronto ini (yg 2 tahun sebelumnya dimenangkan film pemenang Oscar juga, Slumdog Millionaire). We'll see about that.
The King's Speech berkisah seputar naik tahtanya Raja George VI di Inggris sekitar awal2 perang dunia II. Ah biasa, sejarah. Tunggu, film ini bercerita tentang Raja George VI yg naik tahta menggantikan kakaknya, Edward VIII yg melepas tahta demi bisa menikah dengan wanita (janda cerai 2 kali) yg dicintainya. Hmm, menarik. Wait, that's not even a bit part of the film. The King's Speech ini berfokus pada masalah yang dimiliki Raja George VI sejak kecil, dia gagap. Film dimulai dengan peristiwa nggak enak kalo nggak mau disebut memalukan, ketika Raja George VI yang masih jadi sang Duke of York bernama Pangeran Albert (Colin Firth), harus membacakan pesan bapaknya sang Raja George V (Michael Gambon) dalam pembukaan sebuah acara...tapi bahkan satu kalimat pun kayak nggak selesai. Parah dah. Setelah berbagai metode gagal membuahkan hasil untuk menyembuhkan kegagapannya, sang istri, Putri Elizabeth (Helena Bonham Carter) berinisiatif membawa Albert ke seorang terapis bicara bernama Lionel Logue (Geoffrey Rush). Maka dimulailah latihan2 Albert dan Lionel untuk mengatasi kegagapan sang Pangeran. Terapinya ternyata bukan mudah, apalagi metode yg digunakan Lionel agak2 nyentrik, namun pemulihan Albert dari kegagapannya itu semakin krusial ketika ia harus naik tahta menjadi Raja George VI, serta harus membuat pernyataan sikap terhadap tantangan Herr Hitler di daratan Eropa.
Secara cerita, The King's Speech sudah serba baik dan benar sebagai sebuah film sejarah yang menarik, buat gw setidaknya. Bukan sejarahnya yang harus akurat, tapi dari sisi mana berceritanya. Film ini berfokus pada satu hal saja: mengatasi kegagapan sang Raja Inggris—yang memang beneran ada dalam sejarah, dia bokapnya Ratu Elizabeth II yg sekarang bertahta. Nah bagusnya, tanpa harus banyak2 tulisan keterangan atau segala visualisasi terlampau detil, gw tetep tau peristiwa2 sejarah yg terjadi di sekitar fokus film ini, tanpa kehilangan fokus mau bercerita soal apa *mengulang kata fokus terlalu sering =P*. Karena fokus itu pula, sisi manusia dari tokoh2nya juga tergali lebih dalam. Penonton bisa dapat melihat lebih dekat tentang keminderan, kekakuan sekaligus tempramen dari Pangeran Albert, yang kemudian harus berhadapan dengan karakter santai dari Lionel. Interaksi mereka menarik untuk disimak, apalagi ketika semakin lama jarak kasta mereka—Lionel adalah kaum biasa asal Australia—semakin menghilang berkat saling pengertian satu dengan yang lain, karena salah satu metode Lionel adalah mengetahui cikal bakal kegagapan yang pasti berhubungan dengan persoalan pribadi, sebuah hal yang tadinya, bahkan mungkin sampe sekarang, dianggap tak lazim terjadi antara kaum darah biru dengan "jelata", but it worked. Lewat akting Colin Firth yang sangat meyakinkan dan Geoffrey Rush yg luwes tanpa beban, belum lagi Helena Bonham Carter sebagai Putri yg nantinya jadi Permaisuri Elizabeth (istrinya, bukan anaknya) yg sangat simpatik dan compassionate, film secara keseluruhan ini berhasil mentransfer sinyal emosi tokoh2 kepada penontonnya dengan baik dan sepantasnya.
Menyenangkan juga pada kenyataan bahwa film ini disampaikan tidak terlalu serius tendensinya, malah banyak adegan2 dan dialog2 pintar-jenaka, selain tentu saja latihan2 "vokal" Albert bareng Lionel yang memang tampak aneh2 tapi menghibur =D. Satu hal yang menggelitik adalah pada gambaran Raja yg berpidato untuk rakyat lewat radio BBC, pidatonya kapan tapi foto "lagi pidato"-nya diambil kapan *ngakak*. Eh, bagian pidato Raja George VI di bagian akhirnya pun (ini bukan spoiler, wong itu judulnya kok) dirangkai dengan cantik, gw ikutan khawatir seperti Permaisuri Elizabeth ketika mendengar debut sang suami berpidato untuk khalayak umum sebagai seorang Raja, "bisa lancar gak ya?" hehehe. Untuk sektor non-ceritanya tertata nyaris sempurna. Mulai dari kostum+riasan+rambut (yup) yang tampak otentik, art direction yang juga cantik (perhatikan lukisan berantakan di dinding ruang terapi Lionel, itu keren deh, perhatikan juga perubahan wallpaper di rumah Lionel). Dengan cerita yang baik dan tampilan yang memikat, mudah saja menilai bahwa The King's Speech memang sebuah karya yang bagus, dari berbagai sisi malah.
Cuma...apakah gw menyukainya sebesar banyak orang lain di luar sana menyukainya, I don't think so. Apa ya...hmm...ada yang mengganjal aja. Penceritaan yang cenderung datar? Nggak juga, penceritaannya termasuk enak sekali diikuti. Well, mungkin ada lah beberapa momen yang gw rasa kepanjangan atau cara penyampaian adegan panjang itu yang nggak membuat gw nyaman. Mungkin juga karena kameranya yang sering pake wide-lense dan steady-cam saat bergerak itu agak kurang sedap dipandang mnurut gw, malah agak kasar. Walau harus diakui secara sudut fotografi bagus2 sekali—kecuali satu hal: gw kurang suka kecenderungan kamera yg selalu menyorot aktornya dengan proporsi terlalu minggir =P, ada perasaan senewen yg timbul dari gambarnya. Bisa jadi kesenewenan itu disengaja untuk mewakili Albert/Raja George VI yang gelisah dan canggung tapi berusaha tetap tenang mengingat status yg mewajibkan citra yg baik dan tenang (mudah2an memang begitu, biar berasa pinter aja gw ^_^;), tapi yah...gitu deh. Gw akui film ini bagus, tapi gw nggak/belum merasa film ini se-sangat-istimewa puja-puji yg gw dengar dari pelbagai pihak. Kenapa gw bilang gitu gw juga bingung jawabnya. Mungkin karena film ini agak2 mirip The Queen beberapa tahun lalu, endingnya pun agak mirip, sehingga terselip perasaan "gitu doang" di hati gw usai menonton The King's Speech. Argumen sebisa gw sekarang adalah bahwa The King's Speech film yang memenuhi segala kriteria "bagus", tapi ya itu saja, memikat tapi kurang menggugah gw secara pikiran dan hati, somehow. But I guess that's just me...
My score: 7,5/10
sama mas, hal yang membuat saya kurang suka TKS adalah cinematography nya, memang bagus di bbrp scene, cuman banyak yang shotnya menaruh aktor terlalu ke pinggir, annoying hehe dan saya jg ngakak pas adegan foto pidato, lol!
BalasHapus@fariz, eh ada yg sama pendapatnya, hehe. mayan saia ada temennya =P
BalasHapusgw nga nyangka klo film ini bakal lucu2 loh, byk adegan yang bikin ngakak... love it!
BalasHapus@rangga ho oh, yg ini dong: "king-ing" XD
BalasHapus