Uang Panai' = Maha(r)l
(2016 - Makkita Cinema Production/786 Productions)
Directed by Asril Sani, Halim Gani Safia
Written by Amril Nuryan, Halim Gani Safia
Produced by Amril Nuryan
Cast: Ikram Noer, Nurfadhillah, Tumming, Abu, Cahya Ary Nagara, Aulia Qalbi, Awaluddin Tahir, Rugaiyya Ibrahim, Arlita Reggiana Viola, Rifqi Setiawan
Seringnya, gw cuma nonton film-film yang sejak awal gw pengen tonton. Tapi, kadang-kadang ada yang gw nggak pengen tonton jadi pengen karena buzz yang, nggak cuma besar, tapi bertahan cukup lama. Uang Panai' adalah salah satu film jenis itu. Ini adalah film produksi lokal Makassar, Sulawesi Selatan, dan niatnya sih memang untuk pasar Makassar dan Sulawesi pada umumnya, tetapi akhirnya ditayangkan juga di kota-kota lain di Indonesia walau nggak banyak-banyak amat layarnya. Beberapa tahun belakangan gw sering mendengar berita bahwa film produksi Makassar sambutannya gila banget di bioskop-bioskop wilayahnya, bahwa unsur-unsur lokal dalam filmnya benar-benar menarik bagi rakyat setempat, terlepas dari kualitas masing-masing film ya. Nah, Uang Panai' ini mungkin adalah film yang paling sukses, mampu mencatat penjualan hingga 350 ribu tiket bioskop dalam dua pekan (!), itu lebih dari sebagian besar film-film produksi Jakarta yang tayang nasional, yang nyari angka 100 ribu aja udah setengah mati. Gila nggak tuh.
Ceritanya tuh simpel aja sebenarnya. Anca (Ikram Noer) yang berasal dari keluarga sederhana, berhasil menyambung kisah cinta lamanya dengan Risna (Nurfadhillah), putri dari keluarga pengusaha kaya. Saat Anca berniat menikahi Risna sesuai dengan adat Bugis-Makassar, mereka tertahan pada uang panai' (bacanya kira-kira 'pa-na-ik'), semacam pemberian adat yang harus dibayarkan oleh calon mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita, sementara besarannya masih terlalu mahal bagi kesanggupan Anca yang baru saja masuk dunia kerja. Film kemudian berjalan mengikuti usaha Anca mengumpulkan uang panai' demi menikahi Risna, sementara Risna juga sebenarnya lebih diarahkan oleh orang tuanya untuk menikah dengan anak pengusaha kaya lain, yang uang panai'-nya nggak perlu pake nunggu.
I know, I know. Film ini seperti mengulang kisah kasih klasik pembuktian cinta yang terhalang keluarga (dan more or less adat) yang sudah jamak ditemukan di bioskop dan TV, tetapi itu not necessarily a bad thing sih kalau menurut gw. Anggaplah ini film roman anak muda standar saja, yang biasanya dimonopoli orang Jakarta, dari gombal-gombalannya, awkward-awkward-nya, ke "intrik-intrik" keluarga dan percintaannya, cuma kini dibuat oleh dan dalam konteks orang Makassar. Ini cukup menyegarkan buat gw. Mungkin seperti inilah seharusnya FTV-FTV berlatar luar Jakarta yang biasa muncul pagi-pagi dan siang-siang di SCTV selama ini, akan lebih otentik bukan cuma minjem lokasi.
Tetapi, harus diakui film ini agak terlalu panjang dan bertele-tele sih untuk sampai pada inti-inti ceritanya, untuk sampai pada keputusan Anca menikahi Risna aja butuh sekitar setengah jam, belum lagi putus nyambung di antaranya karena ada orang ketiga keempat dan salah paham sana sini, dan gw merasa tokohnya agak terlalu banyak dimunculkan. Banyak sebenarnya simpulan cerita yang bisa di-remove dan filmnya akan masih bisa tetap jalan. Ditambah lagi film ini juga cukup banyak diisi dengan lawakan, dari anekdot klasik sampe yang absurd, khususnya yang melibatkan duo komedian Tumming dan Abu sebagai sahabat Anca, serta kaum emak-emaknya. Unsur ini mungkin agak menuh-menuhin durasi, malah pakai ada porsi sketsa-sketsa komedi juga dalam imajinasi tokoh-tokohnya. Namun, gw harus jujur, senggak-nyambung-nggak-nyambungnya, lawak-lawaknya banyak yang menghibur, bahkan lucu banget =D, dan bisa dibilang unsur inilah yang menyelamatkan film ini dari titik jenuh *minyak goreng kali*. Tapi yaah bagaimanapun, menurut gw pembuat filmnya (dari sutradara, penulis, hingga editor) mungkin perlu berlatih lagi untuk bisa bertutur lebih enak.
Di sisi lain, buat gw Uang Panai' tetaplah sebuah kesuksesan, dan bukan hanya karena sebatas unsur lokal filmnya. Menurut gw, film ini berhasil disajikan menghibur secara universal. Jangan alergi dulu ketika tahu nyaris semua dialognya dalam dialek lokal dan ada unsur adat yang jadi penggerak cerita, lihat juga kegelisahan tokoh-tokoh utamanya yang mungkin dapat ditemukan di mana pun. Atau, lihat juga usaha film ini untuk meng-highlight sisi-sisi menonjol dari kehidupan di Makassar kontemporer, dari pelabuhan sampai gang-gang sempit, dari warung pinggir jalan sampai kafe-kafe lucu kekinian—gw notice tempat-tempat makan di film ini nggak pernah berulang =D, dari blantika konglomerasi hingga pekerja sederhana, dari soal tradisi hingga kefasihan penggunaan media sosial. It's like all you need to know about contemporary Makassar is shown here. Dan, yang mengejutkan gw, film ini punya kualitas teknis yang boleh disandingkan dengan rata-rata film drama Indonesia produksi pulau Jawa. Serius, penataan gambarnya tuh enak dan nyaman dilihat, sound-nya pun oke.
Gw salut dan mungkin bisa dibilang admire sama Uang Panai'. Terlepas masih kurang rapinya dalam bercerita, termasuk pake twist-twist-an dan terlalu menyederhanakan beberapa hal penting (nyontoh Screenplay Production nih kayaknya, haha), kurang jelasnya gambaran kepribadian tokoh-tokoh utamanya dan akting para pemain yang really, really, really harus belajar lagi ^_^;, film ini overall bisa menghibur gw. Baik karena tampilannya yang menunjukkan potensi, unsur knowledge yang lumayan nambah wawasan tentang Makassar dan adat Bugis-Makassar—walau masih sering terasa kaku penjelasannya, maupun bahwa di sana sudah ada orang-orang yang secara nyata mewujudkan niatnya untuk membuat karya "milik" mereka, yang bahkan sudah (dan cukup layak) masuk bioskop taraf nasional dan sukses secara komersial. Bekasi kapan?
My score: 6/10
NB: Lewat film ini, gw akhirnya bisa melihat bakat tersembunyi Jane Shalimar: akting, walau cuma satu adegan kecil. Selama ini gw cuma tahu dia sering diberitain di infotainment dengan menyandang sebutan "selebriti" tanpa benar-benar tahu profesi dan karyanya apa aja. Silly me.
Komentar
Posting Komentar