Ngenest
(2015 - Starvision)
Directed by Ernest Prakasa
Screenplay by Ernest Prakasa
Story by Ernest Prakasa, Meira Anastasia
Based on the book series "Ngenest" by Ernest Prakasa
Produced by Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Cast: Ernest Prakasa, Lala Karmela, Morgan Oey, Kevin Anggara, Brandon Salim, Budi Dalton, Ade Fitria Sechan, Olga Lydia, Ferry Salim, Fico Fachriza, Amel Carla, Ge Pamungkas, Lolox, Regina Rengganis, Adjis Doaibu, Awwe, Ardit Erwanda, Bakriyadi Arifin
Film Ngenest bisa dipandang sebagai kelanjutan dari tren film Indonesia untuk memberi ruang bagi para stand up comedian, yang kini memang tengah naik daun di dunia hiburan kita. Kali ini, ruang tersebut diberikan kepada Ernest Prakasa, yang tak hanya jadi pemain, tetapi juga mengolah materi buku komedinya yang berjudul Ngenest menjadi skenario film sekaligus melakukan debutnya sebagai sutradara. Cukup jelas bahwa film ini akan mengusung genre komedi. Akan tetapi, ada lapisan yang lebih dalam daripada sekadar deretan lelucon yang dilontarkan dalam film ini.
Bagi yang akrab dengan lelucon khas Ernest, tema film Ngenest akan sangat familier. Film ini bisa dikatakan versi komedi dari riwayat hidup Ernest dengan berbagai peristiwa uniknya sebagai seorang keturunan etnis Tionghoa, yang kerap dibawakan Ernest di panggung stand up. Disebut "versi komedi" karena sebenarnya, jika ditilik lebih seksama dan dilucuti unsur humornya, kejadian-kejadian yang diceritakan Ernest tidak bisa dibilang lucu, malah cenderung miris.
Kisah film ini disebut-sebut diangkat dari kegelisahan Ernest yang tumbuh di penghujung pemerintahan Orde Baru era 1990-an, yang kerap disebutnya sebagai masa berat untuk menjadi seorang anak bertenis Tionghoa. Dimulai dari masa kecil hingga remaja ia sering di-bully karena beretnis Tionghoa—atau secara gamblang di sini memakai istilah lama, 'China', mendorong Ernest bertekad untuk mencari istri dari kalangan pribumi. Menurutnya, dengan cara itu, ia dapat memutus rantai diskriminasi di keluarganya, dan berharap hal tersebut tidak akan dialami oleh anak-anaknya kelak.
Digambarkan dalam filmnya, ada beberapa upaya Ernest mencoba untuk membaur supaya tak lagi jadi bulan-bulanan orang sekitarnya. Ini termasuk "membayar" untuk bisa gabung di geng yang selama ini mem-bully-nya, walau itu pun tak berjalan seperti yang dibayangkan. Dampaknya pun rupanya berkepanjangan. Pada satu titik, Ernest seakan ingin menyangkal bahwa ia beretnis China, dan sisa-sisa pemikiran itu terus terbawa sampai dewasa.
Ketika satu tekadnya sudah terwujud untuk memperistri Meira (Lala Karmela), yang memang dari kalangan pribumi, bayangan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang bertenis China masih menghantuinya. Ia kemudian terus menunda-nunda untuk mempunyai anak, dan ini menimbulkan prahara di rumah tangganya.
Seperti bisa dilihat, tema cerita film Ngenest sebenarnya sangat serius, tapi film ini tetap bisa berjalan sebagai sebuah komedi. Inilah yang membuat film ini jadi punya nilai lebih: tidak hanya mengajak penontonnya untuk bersama-sama Ernest menertawakan pertistiwa menyakitkan di masa lalu—sesuatu yang juga sudah sulit, tetapi juga berhasil menjadi tontonan yang memang memicu tawa. Tak hanya dalam gaya humor khas Ernest yang kerap menertawakan diri dan etnisnya sendiri, tetapi juga lewat berbagai situasi dan tabrakan karakter yang beragam—didukung oleh cameo para stand up comedian Indonesia yang mampu mencuri perhatian.
Dengan rancangan dan eksekusi unsur komedi dari skenarionya secara presisi, film Ngenest berhasil menghadirkan berbagai kelucuan dalam kapasitas yang besar, namun "sopan" sesuai porsinya. Dan, rangkaian kelucuan-kelucuan yang dihadirkan memang tidak terpisah dari ceritanya. Sebagai contoh, kegetiran Ernest sebagai korban bully berhasil disampaikan justru dalam rangkaian adegan komedi, terutama di paruh awal ketika mengisahkan dirinya masih SD dan SMP. Reaksi awal dari adegan-adegan tersebut tentu adalah tawa, tetapi di saat bersamaan kepedihan juga bisa terasa.
Sebaliknya, ketika masuk dalam adegan yang membutuhkan emosi dramatis, sisi komedinya tidak ditinggalkan begitu saja. Seiring dengan pertumbuhan usia tokoh Ernest di sini, bertumbuh pula cara bertuturnya, dan kelucuannya pun juga lebih mature—untungnya tak terjebak dalam kenakalan berlebihan. Tanpa saling menginterupsi, porsi drama dan komedinya menyatu dengan kompak sehingga film ini bisa menghibur sepanjang durasinya.
Akan tetapi, Ngenest belum bisa dikatakan memuaskan secara penyajian keseluruhan. Penataan adegan di beberapa bagian, terutama di bagian awal, masih terlihat kaku dan lebih terkesan seperti sketsa komedi biasa. Demikian pula, mungkin karena persiapan yang kurang lama, detail produksi menjadi kurang maksimal, misalnya dari kostum, tata rias dan rambut, dan tata artistiknya.
Kesempatan film ini untuk menambah production value dengan membawa penonton ke era 1990-an hingga awal 2000-an sesuai pengalaman Ernest pun jadi terlewatkan dengan kelengkapan yang seadanya. Untungnya, hal ini bisa diakali dengan berbagai teknik—misalnya tidak secara spesifik menyebutkan tahun, dan fakta bahwa film ini komedi, membuatnya jadi sedikit termaafkan.
Pada akhirnya Ngenest menjadi sebuah sajian komedi yang kekuatan utamanya ada pada ramuan berbagai elemen dalam ceritanya dengan baik. Bukan hanya menampilkan humor, tetapi juga sisi romansa, persahabatan, budaya, hingga keluarga. Dan, yang paling penting adalah caranya untuk mengangkat topik personal yang sensitif dan spesifik menjadi relevan, yang mungkin belum pernah diangkat di film Indonesia, atau setidaknya belum dalam kemasan menghibur seperti ini.
My score: 7/10
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com.
Komentar
Posting Komentar