3
(2015 - FAM Pictures/MVP Pictures)
Directed by Anggy Umbara
Written by Fajar Umbara, Bounty Umbara, Anggy Umbara
Produced by Arie Untung
Cast: Cornelio Sunny, Abimana Aryasatya, Agus Kuncoro, Prisia Nasution, Tika Bravani, Piet Pagau, Donny Alamsyah, Teuku Rifnu Wikana, Arswendy Nasution, Cecep A. Rahman, Bima Azriel, Verdi Solaiman, Rangga Djoned, Tanta Ginting, Egi Fedly
Apa definisi film yang berani? Di Indonesia, bisa jadi ada yang mengartikannya dengan menampilkan hal-hal yang tabu, seperti seksualitas, kekerasan, atau pandangan yang kurang populer. Atau, mungkin ada yang mengartikannya berani keluar biaya besar untuk memproduksi sebuah film terlepas dari risiko bisnisnya. Tetapi, film 3 (Tiga) garapan Anggy Umbara mengingatkan bahwa ada satu lagi jenis keberanian yang selama ini jarang tersentuh: berani berimajinasi. Genre "laga futuristis" yang disematkan untuk film ini saja sebenarnya sudah cukup menegaskan itu.
Film 3 langsung memberikan gambaran perubahan yang terjadi di Indonesia selama 20 tahun ke depan. Sebagai respons terhadap berbagai perseteruan antarkubu agama dan pengeboman tempat-tempat umum, perburuan terhadap gerakan radikal agama semakin gencar oleh aparat negara, bahkan banyak dari mereka dieksekusi tanpa proses pengadilan. Di saat hampir bersamaan, timbul gerakan baru untuk menegakkan hak asasi manusia dalam setiap aspek.
Revolusi pun terjadi di Indonesia pada tahun 2036, dengan prinsip menunjung tinggi HAM dan kebebasan. Perdamaian tampaknya mulai tercipta. Senjata tajam dilarang, sehingga aparat hanya mengandalkan peluru karet dan keahlian bela diri, silat menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Media menyorot gerak-gerik aparat agar tidak kecolongan melakukan pelanggaran HAM. Di sisi lain, ruang untuk kegiatan beragama semakin sempit, menjalankan ibadah telah dianggap tabu, bahkan tempat-tempat komunitas agama dianggap sarang terorisme.
Di sinilah tokoh Alif (Cornelio Sunny), Herlam (Abimana Aryasatya), dan Mimbo (Agus Kuncoro) ditempatkan. Mereka adalah tiga sahabat dari perguruan silat yang sama sewaktu remaja, namun revolusi mengubah segalanya. Perguruan silat mereka ditutup, dan ketiganya memilih jalan hidup masing-masing. Alif menjadi aparat detasemen antiteror yang bertekad memberantas kriminalitas dan terorisme apa pun bentuknya. Herlam menjadi seorang jurnalis di sebuah media liberal dengan tetap memegang idealismenya. Sementara Mimbo menjadi seorang ustaz di sebuah pondok pesantren yang terus dalam pengawasan negara.
Tiba-tiba, sebuah bom meledak di sebuah kafe dan menewaskan puluhan orang. Kasus ini mempertemukan Alif, Herlam, dan Mimbo dalam sebuah misteri yang mengancam mereka. Kecurigaan bahwa pengeboman ini dilakukan kelompok radikal agama membuat Alif harus berhadapan dengan Mimbo. Herlam pun terusik untuk mencari kebenaran di balik kasus ini, sekaligus berusaha menjaga agar kedua sahabatnya ini tak saling bertarung. Sedikit demi sedikit misteri tersingkap, mereka bertiga semakin menyadari bahwa kasus ini melibatkan sesuatu yang lebih besar.
Sejauh ini, mungkin baru film 3 yang berani menyajikan cerita dengan latar Indonesia jauh di masa depan, lengkap dengan perubahan keadaannya. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa kehadiran film 3 merupakan sebuah penyegaran. Tetapi, yang lebih utama dari sekadar mengaplikasikan latar waktunya, adalah merancang setiap detail dari dunia dan masa yang belum terjadi tersebut agar believable. Film 3 berhasil mengatasi itu.
Film 3 menampilkan Indonesia yang telah menjunjung nilai-nilai liberal setelah revolusi. Ini memang bukan sepenuhnya sebuah fantasi, karena sudah terjadi di dunia sekarang ini, hanya saja mungkin belum di Indonesia. Tetapi, film 3 berhasil memindahkan keadaan itu sehingga masuk akal dalam konteks bangsa Indonesia. Caranya? Lihat ke sejarah.
Di Indonesia, sudah pernah ada momen-momen yang mengubah tatanan kehidupan bangsa ini secara drastis—misalnya peristiwa 1965 dan 1998, sehingga bukan tidak mungkin hal semacam itu bisa terjadi lagi. Jika sekarang orang Indonesia lebih banyak yang mengaku beragama daripada yang tidak, siapa yang menjamin keadaan tidak bisa berbalik di masa depan?
Tidaklah salah apabila ada yang akan menganggap film ini sebagai ramalan yang amit-amit terjadi, dan membawa pesan bahwa sepatutnya ajaran agama tetap dijalani sekalipun mendapat tekanan. Hal ini diteguhkan dengan ketiga karakter utama yang masih memegang ajaran Islam—walau dalam kadar berbeda-beda. Bahkan, nama panggilan mereka adalah Alif, Lam, dan Mim, berdasarkan tiga huruf pertama dalam beberapa surat di Al-Qur'an yang tidak diketahui maknanya. Namun, bukan cuma itu yang bisa digali di film ini.
Misalnya, jika diperhatikan, film ini sebenarnya tidak mengantagonisasi nilai-nilai liberal, yang biasanya dianggap "musuh" dari nilai-nilai agama konvensional. Liberalisme di sini bukan dianggap sebagai paham yang menerapkan kebebasan, tetapi lebih sebagai sebuah kelompok yang menjadi mayoritas. Ini bisa diartikan sebagai gambaran keadaan yang terus berulang terjadi di kehidupan masyarakat mana pun di dunia, bahwa apa pun pahamnya, ada kecenderungan kelompok mayoritas akan menekan minoritas dan menganggap sikap itu hal yang wajar, baik dalam hal pemikiran maupun keberadaan secara fisik.
Itu pun bukan hal yang tersirat, sebab beberapa kali pandangan ini diungkapkan secara gamblang dalam dialog. Film 3 memang terbilang penuh dengan komentar-komentar verbal tentang agama, politik, sosial, hukum, media, teknologi, teori konspirasi, bahkan cinta, dan untungnya tidak datang dari satu sudut pemikiran saja. Pengujaran-pengujaran gamblang ini memang selalu muncul di film-film garapan Anggy Umbara (Mama Cake, Coboy Junior The Movie, Comic 8). Namun, di film 3 semua itu ditampilkan paling sesuai dengan fungsinya, baik untuk mendeskripsikan karakter, ataupun menggerakkan plotnya.
Jika plot film ini menghadirkan konsep satu masalah dari tiga sudut pandang tokoh-tokohnya, maka prinsip itu juga muncul dalam penuturannya. Itu sebabnya di awal film ada anjuran untuk menonton film ini sampai akhir, supaya penonton tidak salah sangka dengan apa yang ingin disampaikan. Contohnya, film ini menampilkan tokoh-tokoh yang secara gamblang mengucapkan kalimat yang menyudutkan agama, tetapi pada akhirnya film ini bisa juga dipandang pro-agama. Film ini bisa dianggap mengisahkan dystopian future,bisa juga tidak—tergantung ada di pihak yang mana. Film ini bisa dianggap bercerita tentang kebaikan melawan kejahatan, tetapi yang kemudian bergulir adalah pertarungan antara pihak-pihak yang sama-sama merasa berhak menciptakan perdamaian.
Yang pasti, segalanya tidak ditampilkan dalam dimensi yang tunggal, dan itu juga yang jadi salah satu bentuk keberanian dan kenekatan film ini. Mungkin yang agak sulit dilakukan adalah menganggap film ini hanya sekadar film laga dengan deretan adegan pertarungan. Sebab, justru cerita dan karakterisasinya yang lebih menonjol, kendati adegan laganya tidak sedikit.
Materi cerita yang cukup gemuk membuat tim produksi harus mengeksekusi adegan-adegannya semenarik mungkin dengan berbagai teknik, dan para penyunting harus bekerja keras membuat laju cerita ini tetap terjaga dari awal hingga akhir. Untuk bagian ini, film ini sudah menjalankannya dengan cukup baik. Penuturan plot maupun karakterisasinya ditampilkan nyaris tanpa celah, didukung dengan permainan para aktor dan aktris yang berhasil tampil menonjol, sekalipun yang porsinya hanya sebentar.
Di sisi lain, gaya penggarapan adegan-adegan laga yang sangat terpengaruh film-film action era milenium dari The Matrix hingga The Raid—lengkap dengan interupsi slow motion, juga disajikan dengan rancangan dan eksekusi yang serius. Hanya saja, tidak semuanya berhasil dalam tahap maksimal. Kualitas visual effects, tata suara, dan hasil proses visual antara yang satu dengan yang lain kerap terlihat tidak konsisten. Padahal, kualitasnya tampak bisa ditingkatkan seandainya punya biaya yang lebih besar, atau waktu yang lebih lama. Tetapi, paling tidak hal-hal teknis tersebut masih sanggup berfungsi sebagai penopang ceritanya yang berhasil tetap jadi sorotan utama.
Film 3 memang terbilang nekat dalam berbagai segi. Dari idenya, pemilihan genrenya, penulisan cerita dan dialognya, gaya visualnya, sampai pemanfaatan bujet dan waktu yang konon terbatas untuk membuat sebuah film dengan skala seperti ini. Film 3 pada akhirnya tidak hanya berhenti di ide yang berani beda, tetapi jadi tontonan dengan cerita dan eksekusi yang digarap cermat, komunikatif, serta dengan bonus nilai-nilai hiburan dan pemikiran, sebuah paket yang jarang ditemukan dalam film Indonesia sejauh ini.
My score: 8/10
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com
Komentar
Posting Komentar