Surga yang Tak Dirindukan
(2015 - MD Pictures)
Directed by Kuntz Agus
Screenplay by Alim Sudio, Team MD
Based on the novel by Asma Nadia
Produced by Manoj Punjabi
Cast: Fedi Nuril, Laudya Cynthia Bella, Raline Shah, Kemal Palevi, Tanta Ginting, Zaskia Addya Mecca, Vitta Mariana, Landung Simatupang, RAY Sitoresmi, Sandrinna Michelle
How did I get to watch this? Well, it's part of my current job. Gw memang kurang tertarik sama film yang tawarannya hanya melodrama cinta tanpa unsur yang oomph, jadi dalam situasi normal gw pasti nggak akan menonton film ini dengan kerelaan hati. Tentu, ketika berkesempatan menonton Surga yang Tak Dirindukan ini, gw tetap menyelipkan harapan bahwa film ini tidak akan mengesalkan gw sebagaimana film bergenre serupa, sekalipun temanya kali ini tentang prahara rumah tangga berpoligami. Tapi ya ternyata film ini memang bukan yang gw rindukan *tsaaaaaaaaaaahhhh*.
To be fair, to be really fair, film ini digarap dengan rapi, terutama dari segi gambar dan pengadeganan. Bisa dibilang, pengambilan gambar yang oke membuat gw masih betah menyaksikan film ini. Ada satu bagian montase tentang kehidupan Meirose (Raline Shah) di bagian awal film yang cukup keren dan efektif dengan polesan gambar dan editing-nya. Akting para pemainnya pun sesuai dengan kebutuhannya, sebab akibatnya masih nyambunglah, dan musiknya yang rada-rada nge-James-Horner juga lumayan membantu. Intinya, film ini masih enaklah untuk disaksikan secara kasat mata.
Tetapi, enaknya film ini nggak bisa menutupi bahwa gw nggak suka sama dasar dari film ini, yaitu ceritanya. Well, bukan nggak suka, mungkin lebih nggak setuju. Gw merasa ada yang salah dengan keputusan-keputusan yang diambil sama tokoh-tokoh di sini. Kayak bodoh banget gitu. Mungkin yang paling bikin gw geleng-geleng adalah cara film ini berusaha memberikan alasan paling innocent untuk berpoligami dan meminta gw sebagai penonton untuk menerima bahwa itu mungkin dan meyakinkan. No, gw nggak pernah percaya ada alasan berpoligami yang innocent atau 'terpaksa', yang ada cuma masalah mau atau nggak. Karena itu, gw melihat alasan yang jadi pemicu segala sesuatu yang terjadi di cerita film ini agak bikin akal gw tersinggung. Satu, segampang itu mau mengucap kata nikah sama orang yang baru ketemu beberapa jam sebelumnya? Dan dua, si perempuannya lagi, hanya karena kata nikah jadi mau ditolongin? Nggak bisa gitu mau ditolong karena sadar bahwa tolong-menolong sesama manusia itu baik, tanpa harus dinikahin dulu? Bagian ini membuat gw berpikir film ini bisa jadi komedi, you know, karena komedi biasanya kan mengekspos kebodohan manusia. Mana ada premis "nggak sengaja nambah istri" jadi melodrama?
Pandangan gw pun menyorot bangunan karakter si suami, Pras (Fedi Nuril) ini memang nggak bikin simpati sama sekali. Terserah dia punya latar belakang sedih tragis ala-ala peserta Indonesian Idol atau "niatnya berbuat baik", tapi keputusan-keputusannya itu lho yang nggemesin. Sesimpel ini deh, kenapa kasih nama bayinya Meirose nggak nunggu Meirose siuman lalu tanya dia karena dalam sudut pandang manapun dia yang berhak? No, man, kasih nama yang agamis pun gw tetap nggak simpati sama loe, sangat inapproriate dan nggak beretika. Heck, gw udah nggak simpati sejak awal loe baru lihat si Arini (Laudya Cynthia Bella) pertama kali terus langsung video-in dia pake handphone. Freak.
Anyway, gw sempat berpikir mungkin akan lebih baik gw nggak tahu proses kenapa dan bagaimana poligaminya, kalau ternyata kayak begitu. Atau bikin aja Pras memang jatuh cinta sama orang lain lagi, itu akan lebih innocent dan penyelesaiannya bisa dibikin lebih dramatis karena lebih dilematis. Toh, film ini sebenarnya mau berfokus pada suara hati wanita yang dimadu dan si madu, yang intinya mereka not enjoying this circumstances, mungkin karena sadar semuanya berawal dari kebodohan dalam mengambil keputusan, ya gw maklum sih =p. Tetapi, di sisi lain, gw cukup respek sama konsistensi film ini dalam menyampaikan poligami itu pasti akan mendatangkan sakit hati, mau ditutup-tutupi sebagaimanapun. Banyak kata-kata (sok) puitis dan nusuk dibuat mengarah ke situ, dan pilihan ending-nya pun agak mendinganlah, apalagi kalau melihat semuanya ini dimulai dengan kebod--ah sudahlah.
Gw mungkin memang bukan target penonton film ini, karena kelihatan sebenarnya film ini ingin membuat penontonnya yang berhati sensitif tertusuk-tusuk dan terpengaruh secara emosional seperti saat nonton sinetron atau telenovela. Well, gw juga nontonnya agak emosi sih, tapi karena melihat segala kebodohan karakternya. Eh, tapi tetep aja efeknya emosi, in a way film ini jadinya berhasil. Damn.
My score: 6/10
Komentar
Posting Komentar