Roro Mendut
(1982 - PT. Gramedia Film, PT. Sanggar Film, PT. Elang Perkasa Film)
Directed by Ami Prijono
Screenplay by Tim Produksi
Produced by Hatoek Soebroto, J. Adisubrata, Tirto Yuwono
Cast: W.D. Mochtar, Meriam Bellina, Mathias Muchus, Sunarti Rendra, Sofia W.D., Clara Sinta
Dalam alam angan-angan gw, gw ini adalah seorang filmmaker yang ingin mengangkat kisah-kisah berlatar tanah Jawa masa lampau ke dalam layar sinema modern bernilai produksi tinggi dan serius, unlike the current TV drama non-sense adaptations =P. Salah satu yang ingin gw bikin adalah berdasdarkan sebuah novel berjudul "Rara Mendut" karya Y.B. Mangunwijaya a.k.a. Romo Mangun, hanya karena premisnya menarik dan sampul cetakan terbarunya cakep...dan gw bahkan sampe sekarang belum baca isinya, haha. Baiklah, angan-angan itu mungkin masih jauh jika melihat sekarang gw masih dalam status totally unskilled, unnetworked, and penniless—namun dengan semangat Agnes Monica aku takkan menyerah =). Sekitar bulan lalu, gw baru tau bahwa kisah "Rara Mendut" ini sudah pernah difilmkan pada tahun 1982 dengan bintang Meriam Bellina dengan judul Roro Mendut ("a" diucapkan "o", Javanese thing)...dan dalam suatu rencana kosmik, beberapa minggu kemudian gw menemukan Dewan Kesenian Jakarta dan Kineforum memasukkan film Roro Mendut sebagai salah satu film yang diputar dalam gelaran tahunan Bulan Film Nasional 2012: Sejarah adalah Sekarang 6. Wah, pertanda apa ini =D. Akhirnya dengan niatan dan penasaran gw datang untuk nonton, sekaligus pertama kalinya gw menyambangi event BFN ini. Kapan lagi bisa nonton film lama Indonesia di bioskop.
Rara Mendut aslinya adalah sebuah kisah dalam naskah Jawa kuno yang berkembang jadi cerita rakyat (as per wikipedia, what else =P), lalu dibuatkan dalam versi roman naratif berbahasa Indonesia oleh Romo Mangun yang dipublikasikan secara bersambung di harian Kompas tahun dari 1982 hingga 1987. Film Roro Mendut sendiri diproduksi tahun 1982, jadi sebenarnya gw agak ragu mengatakan bahwa film ini berdasarkan prosanya Romo Mangun, bahkan di film ini sendiri tidak ada kredit "berdasarkan" (not like it really matters back then, penulis naskahnya aja cuman tercantum "Tim Produksi"), akan tetapi karena diproduksi oleh Gramedia (yang—kemungkinan—punya hak publikasi naskah "Rara Mendut"-nya Romo Mangun. Kompas sama Gramedia itu sekeluarga ya, fyi) jadi kurang lebih pasti ada kaitannya lah, who knows.
Pada zaman kesultanan Mataram (sekarang Jawa bagian tengah) pada masa kekuasaan Sultan Agung, Tumenggung (kepala daerah) Wiraguna (W.D. Mochtar) berhasil menaklukan wilayah Pati (di pantai utara Jawa) dan merampas harta benda sekaligus perempuan-perempuannya, di antaranya adalah Roro Mendut (Meriam Bellina) yang sangat cantik jelita. Karena jasanya itu, Wiraguna dihadiahi Roro Mendut oleh Sultan, sehingga Mendut dibawa dan dipersiapkan sebagai selir Wiraguna di kediamannya. Namun, Mendut bukanlah wanita yang menurut begitu saja (katanya sih pembawaan "perempuan pesisir" yang "liar" =D), ia gemar melawan aturan dan terang-terangan menolak dijadikan selir. Sikapnya yang tidak seperti wanita (di Mataram) kebanyakan malah membuat Wiraguna tambah tertarik. Fine, kalau nggak mau "disinggahi", Mendut harus bayar pajak harian. Mendut rupanya tak kehabisan akal. Selepas pertama kali tampil menari di pendopo kediaman Wiraguna, Mendut memang sudah mengundang minat orang banyak akan kecantikannya. Mendut memanfaatkan itu untuk mendapatkan uang: ia menjual rokok bekas hisapannya di pasar. Wiraguna berusaha meluluhkan usaha Mendut dengan menaikkan pajak, namun Mendut selalu berhasil memenuhinya. Hingga suatu ketika Mendut bertemu dengan pemuda asal Pekalongan, Pronocitro (Mathias Muchus) dan mereka saling jatuh cinta, keduanya lalu merencanakan untuk melarikan diri dari daerah kekuasaan Wiraguna meski sangat besar risikonya.
Roro Mendut ini terlihat sesuai "umur"-nya, dari penuturan, tata adegan, pengambilan gambar, ritme, editing, hingga akting. Film ini berjalan sebagaimana kita biasa menikmati sebuah visualisasi cerita rakyat cara oldies banget: ada narator untuk menjelaskan latar belakang dan konklusi akhir, aktingnya yang tampak teatrikal, adegan perang dan pertarungan yang terlalu hati-hati, adegan intim yang malu-malu buat syarat aja (haha), jokes-nya, juga di pengisian suara yamg suka nambah-nambah dialog yang nggak ada pas syuting, dan gw yakin yang ngisi suara Meriam Bellina bukan beliau sendiri. Kalau ini terjadi pada film produksi baru, mungkin gw akan murka. Tetapi keklasikan gaya itu begitu termaafkan untuk kasus Roro Mendut ini sehingga tak menghalangi gw menikmatinya. Roro Mendut jelas merupakan film yang digarap dengan sangat baik secara produksi. Desain produksinya yang terlihat otentik dan lengkap—entah lokasi yang udah jadi atau emang set untuk film doang, tapi bangunannya dari batu bata dan kayu betulan dengan warna yang benar, bukan pake gabus/triplek dengan pewarna murahan. Segi aktingnya meski terlalu teatrikal tetapi tampil dengan penjiwaan luar biasa, dari W.D. Mochtar dan Meriam Bellina sebagai tokoh sentral, lalu ada Sunarti Rendra a.k.a. Sunarti Soewandi sebagai Nyi Ajeng, istri utama Wiraguna yang berperangai tenang dan tegas namun misterius, Mathias Muchus mungkin masih oke-oke saja, but even the extras acted wonderfully.
Naskahnya tampil dengan penceritaan yang kuat dan utuh berikut pula karakterisasi yang teliti, dialognya pun disusun menarik kadang menggelitik, seperti yang paling gw inget adalah ketika Mendut rencananya disuruh datang ke kamar Wiraguna tapi nggak dateng-dateng juga, Nyi Ajeng berujar kira-kira "'Hidangan' masih panas. Kalau terlalu panas rasanya tidak nikmat" *juara!*. Gw juga suka sekali dengan ketelitian yang terkesan remeh tetapi menarik, seperti perbedaan budaya "gunung" dan "pantai" yang tercermin dari sikap dan perilaku perempuannya, selir-selir Wiraguna yang dari berbagai adat, peran ajudan, dayang dan kasim yang menyertai Wiraguna dan Nyi Ajeng, lalu perkembangan ceritanya yang memang tidak sekedar cinta segitiga nan melankolis tetapi menyangkut juga dengan kehormatan tahta Wiraguna dan kesultanan Mataram vs rakyat "jajahan"-nya, karena eksekusi melarikan Mendut oleh Pronocitro memang mengandung unsur pengkhianatan dan blasphemy, terlepas dari keberpihakan penonton terhadap Mendut.
Sebenarnya banyak sekali yang dapat diekstrak dari kisahnya sendiri. Salah satunya adalah perlawanan atas adat yang merepresi hak perempuan, yaitu sikap Mendut yang menolak keras dirinya dijadikan selir Wiraguna yang selain tuwek, juga mewakili pihak yang menindas tempat asalnya. Di sisi lain kisahnya memperlihatkan bahwa ada titik di mana perempuan berkuasa atas laki-laki yang dimanfaatkan dengan baik oleh Mendut, yaitu nafsu birahi. Kita sekarang bisa punya lebih banyak kesempatan memperoleh "a piece of our idols" seperti foto, poster, kliping artikel *jadul*, rekaman video, tanda tangan atau merchandise, bahkan akun twitter, facebook serta BlackBerry messenger (you stalkers! =P) demi memuaskan rasa kekaguman dan memenuhi hasrat kita untuk lebih intim dengan sang idola. Jelas, zaman dahulu nggak ada TV atau radio, film atau gambar potret. Kesempatan khalayak untuk memiliki "idola" adalah pada malam hiburan di kediaman resmi Tumenggung yang mungkin hanya beberapa kali, pada momen ini pula Mendut dikenal dan dikagumi. Lalu Mendut menawarkan "a piece of her", nggak tanggung-tanggung yaitu saliva dari mulutnya sendiri, untuk dinikmati pengagumnya yang bahkan rela merogoh kocek sangat dalam. Sounds silly tetapi kalo kemarin lihat fans Justin Bieber nangis-nangis hampir rusuh di Bandara? Yeah, silly but true. Mendut memang "menjual diri" namun bukan kehormatannya. Detil lain yang gw lihat antara lain kontras tarian keraton yang syahdu dengan goyang "pesisir" oleh Mendut yang lebih rancak, atau yang cukup menggelitik karena mencerminkan masyarakat (Indonesia) sekarang adalah "aji mumpung" dari orang-orang di pasar atas kesuksesan kios rokok Mendut, dari tukang gadai hingga cewek-cewek yang coba ikut-ikutan jualan rokok bekas hisapannya. Selalu akan ada KW untuk segala sesuatu ya =D.
So guys, kalau ada kesempatan, tontonlah Roro Mendut ini. This is a fine Indonesian film. Sebuah film yang digarap serius, production value kelas tinggi, cerita yang mudah dipahami yang diselipkan sedikit nilai filosofi, sosial dan budaya, dengan hasil yang memuaskan serta menghibur terlepas dari beberapa cacat klasik di sana-sini, yang sesungguhnya mudah terabaikan karena intensitas narasinya. Atau mungkin tunggu remake-nya buatan gw kelak *Amin aja deh* =).
My score: 8/10
Gambar poster diambil dari Indonesian Film Center
Wah, gw udah lahir blom tuch ya tahun 1982? Hehe...
BalasHapus@MRPBlog: gw juga belum =D *serius. Kalo ga salah Mathias Muchus masih umur 24, dan Meriam Bellina masih 17!
BalasHapusMas Reino suka novel yang berlatar Jawa di masa lampau ya? Suka novelnya Ahmad Tohari jugakah? Kalau tahun 1982 sih nenek saya juga belum lahir *diblender sampai halus =).
BalasHapus@Rafael, oh nggak, nggak pernah baca malah *haha ^_^;, cuman kayaknya keren aja kalau ada lagi film Indonesia tentang kerajaan2 masa lampau seperti film2 serupa di Thailand, China dan Jepang...tapi nggak kayak yang di TV sekarang =P
BalasHapusGw jatuh cinta dg trilogi Roro Mendut-Genduk Duku-Lusi Lindri dan semua sudah khatam pas gw remaja. Dan pas umur gw belasan gw yakin sekali Roro Mendut itu dr pesisir Juwana, Pati (gw orang Pati, yg sejarahnya merupakan kadipaten kecil yg pantang tunduk kepada Mataram. Dan mitosnya, orang Jogja asli tidak akan berani menginjakkan kaki di Pati--pati=nyawa--, misal mantan Presiden Soeharto.
BalasHapusSayang sekali gw lg ga di Jakarta tp kalo ada kesempatan gw pasti akan nonton. Bisa pinjem di Usmar Islamil/SInematek ga sih? Katanya boleh ya nonton di sana anytime? Ato ada DVD nya di Subtitle Dharmawangsa kah?
Btw, pasti akan beda persepsi penonton yg udah pernah baca novelnya sm yg belum pernah.. hehe.. Thank u review nya, Nyo! Gw juga penggemar film Indonesia!!:))
Oh, directed by Ami Prijono? Jagoan lah, doi sekolah film di Rusia.. Gw suka nginep di rumah Pak Ami dan koleksi bukunya bikin mupeng!
BalasHapus@Uswah: wah, putri Pati hadir =). Di film ini juga disinggung Roro dan Pronocitro sama-sama dari "tanah pesisir yang merdeka" jadi proses jadiannya lebih cepet, haha.
BalasHapusKalo Sinematek kurang tau ya bisa pinjem atau nggak (yg pasti rol film yang gw tonton kemarin memang courtesy of Sinematek), tapi siapa tau VCDnya bisa ditemukan di Glodok kalau niat =)