The Artist
(2011 - Warner Bros./Studio 37/La Petite Reine/The Weinstein Company)
Written and Directed by Michel Hazanavicius
Produced by Thomas Langmann
Cast: Jean Dujardin, Bérénice Bejo, John Goodman, James Cromwell, Penelope Ann Miller, Missi Pyle, Kevin Davitian, Malcolm McDowell, Uggie
Tujuan dibuatnya film The Artist sudah jelas: menampilkan kembali sensasi sinema lawas, terutama Hollywood, dan terutama lagi film bisu. Apa itu film bisu? Jadi gini ya adek-adek, sebelum film itu ada teknologi 3-dimensi, sebelum film itu ada efek visual komputer, sebelum film itu gambarnya berwarna, dan sebelum film itu ada suaranya, zaman dulu yang namanya motion picture atau kita kenal sebagai film bioskop itu hanya dapat merekam gambar (hitam putih pastinya). Iya...ho-oh...betul, nggak ada suaranya. Jadi di bioskop filmnya ya hanya ditampilkan gambar para aktor berakting dalam seting-seting, saling berdialog sih tapi suaranya nggak kedengeran, penjelasan cerita hanya mengandalkan mimik dan gerak pemain serta dibantu title cards (tulisan di sela-sela adegan/gambar)—waktu itu teknologi yang dapat menyelaraskan rekam suara dengan gambar film belum ditemukan. Terus bener-bener nggak ada suara gituh? Bosen dong? Ya nggak juga. Setiap film bisu pasti ditemani oleh iringan musik sepanjang durasi yang menjadi unjung tombak efek dramatisasi...dan musik ini dimainkan live di bioskop! The Artist, film produksi Prancis, rilisan 2011 atau sekitar 80 tahun sejak film bisu turun pamor di Hollywood, dengan berani menampilkan sebuah tontonan bernuansa tempo doeloe tersebut: hitam putih, rasio gambar seperti televisi (bukan layar lebar), speed gambar yang agak cepat, dan (99%) tanpa dialog. Itu sajakah tawarannya? Apa cuma gimmick doang biar dibilang cutting edge gimana gituh? Eits, no no no, The Artist tidak hanya dipresentasikan sebagai film bisu, tetapi ia juga bercerita tentang industri film bisu itu sendiri.
Alkisah di akhir dekade 1920-an, George Valentin (Jean Dujardin) adalah bintang film bisu yang sangat tenar di Hollywood, film-filmnya selalu mendulang sukses, membuatnya diidolakan selain memampukannya bergaya hidup mewah. Akan tetapi, suatu ketika bos studio Kinograph tempat ia bernaung, Al Zimmer (John Goodman) memperlihatkan teknologi terbaru: film bersuara. Zimmer bilang semua film nantinya akan diproduksi bersuara, tetapi George langsung menolak dan menganggap gagasan ini konyol. Penolakan George terhadap film bersuara ternyata berakibat fatal, ia tak dapat job, pamornya menurun, film (bisu) yang nekad ia produksi sendiri ketika film bersuara popularitasnya menanjak juga gagal total. Akibatnya ia bangkrut, hingga sang istri (Penelope Ann Miller) memutuskan untuk meninggalkannya, dan segala miliknya ia jual atau gadai demi bisa bertahan hidup, termasuk harus memberhentikan sopir sekaligus asistennya yang setia, Clifton (James Cromwell). Hal kebalikan terjadi pada Peppy Miller (Bérénice Bejo), wanita muda yang pernah masuk headline koran karena tersandung di depan George pada sebuah premier film. Mengawali karir sebagai pemain figuran di salah satu filmnya George, bahkan ia diberi ciri khas berupa tahi lalat palsu di dekat bibir olehnya, Peppy justru semakin bersinar hingga memperoleh status Hollywood's sweetheart lewat film-filmnya yang sukses besar, yang jelas sudah bersuara—istilahnya "talkies". Ketika menyaksikan sendiri keruntuhan hidup George yang dikaguminya serta telah berjasa atas karirnya, Peppy berniat membantu George kembali bangkit, namun masalahnya ego George yang mantan bintang besar sulit untuk berkompromi pada masa transisi seperti ini.
Gw mendapatkan paket lengkap setelah menonton The Artist. Kisah yang menarik, akting menawan, drama, humor (terutama karena ada si anjing (Uggie)), musik dan tarian, serta sejumput gambaran tentang era film bisu seperti tersebut di paragraf awal, dibungkus dalam kemasan yang seharusnya ketinggalan zaman namun nyatanya tetap memiliki daya tarik yang sangat kuat. This film works in every way. Bagaimana sutradara Michel Hazanavicius membuat sebuah film gaya sangat kuno ini tetap menarik disaksikan dan diikuti hingga akhir di tengah-tengah era digital hingar-bingar sekarang ini terbilang mencengangkan, yang pasti he did it superbly (bahasa campur =P). Namun bukan hanya soal tampilannya yang lain sendiri, ceritanya yang orisinil sekaligus relevan pada segala masa juga menjadi magnet yang kuat. Cerita tentang seseorang menghadapi perubahan disampaikan dengan rapih, mendalam, sederhana, serta ritmenya tepat dan menggugah emosi, bahkan kita lihat ada subtle romance antara George dan Peppy di sana yang cukup menggemaskan. Dinamika yang ditampilkan begitu mudahnya dirasakan, dari mulai pembukaan yang komikal hingga ke pertengahan yang begitu emosional sampe pengen puk-puk si oom George, dan ditutup kembali dengan senyum gembira, sangat enjoyable, dan itu semua dilakukan (nyaris) tanpa kata terucap. Sekali lagi, pengisahan film ini hanya berdasarkan bahasa visual dan dibantu tulisan serta musik. Caranya dalam menggambarkan karir George yang semakin menurun dan karir Peppy yang semakin menanjak sungguh pas, cerdik dan segera dapat dipahami oleh gw yang tidak punya pengalaman nonton film bisu sekalipun (kecuali "Tom & Jerry", heuheu). Berani bikin beginian aja sudah luar biasa, apalagi membuatnya jadi tontonan yang memikat dan menghibur, sangat luar biasa.
As I said before, keberhasilan film bisu juga terletak pada performa aktor yang harus sedapat mungkin menyampaikan karakteristiknya hanya lewat gerak-gerik dan ekspresi—yang mau nggak mau harus agak berlebih (kalau istilah di film ini "mugging")—tanpa wicaranya terdengar. Kehadiran aktor-aktor yang cukup dikenal seperti John Goodman, James Cromwell dan Missi Pyle yang emang tampak fisiknya sudah berkarakter dari sononya dimanfaatkan dengan baik dan akting mereka memang memberi volume yang berarti. Akan tetapi, satu keputusan Hazanavicius yang paling sempurna adalah memberi peran George Valentin pada aktor komedi Prancis Jean Dujardin. Dengan wajah dan gestur yang sangat ekspresif, Dujardin secara kharismatik menjiwai dan meragai (eh?) seluruh sisi karakter George Valentin yang berkumis ala Clark Gable di Gone with the Wind ini dengan tanpa cela, dari yang flamboyan nan menyenangkan sampai yang depresif dan suicidal, we really feel him. Dalam sekejap saja, penonton akan menyayangi tokoh George yang sebenarnya angkuh dan keras kepala itu, rasanya akting Dujardin punya andil besar akan efek ini. How I love the spy movie filming scenes when George worked with Peppy for the first time =D. Bérénice Bejo juga tampil tak kalah memikat dengan performanya sebagai aktris manis nan ceria namun berhati mulia, emosinya begitu natural walau dalam gerak-geriknya yang "berlebih", membuat gw percaya Peppy itu memang bintang kesayangan pemirsa di Hollywood (dalam semesta film ini tentu saja).
The Artist, terlepas dari gaya penyampaian yang tidak biasa gw saksikan, adalah tontonan yang menyenangkan serta begitu mudahnya mengambil tempat di hati sebagai salah satu film terbaik yang pernah gw tonton setahun terakhir. Tata adegan, tata visual, tata musik serta aktingnya istimewa, ceritanya dan penceritaannya pun sama istimewanya. Sebuah cara yang sensasional (dan kreatif) dalam menggambarkan sulitnya diri seseorang dalam menerima perubahan keadaan sekitarnya, meski pada akhirnya bagaimanapun perubahan tak dapat terhindarkan. Akan tetapi ada sebuah pencapaian yang patut gw catat di luar isi filmnya sendiri, bahwa The Artist menjadi bentuk penghormatan dan perayaan yang pantas untuk sebuah era sinema yang pernah jaya, karena membuat gw juga mengerti kenapa orang-orang zaman dulu tetap antusias menonton film meski nggak denger pemainnya pada ngomong apa. Jangan takut sama peringatan "Film ini hitam putih dan tanpa dialog" kalau toh filmnya bisa memikat dan menawan perhatian serta perasaan meski tanpa warna atau kata.
My score: 8,5/10
baru sempet nonton ane,dan ini juga film bisu pertama yg ane tonton...hm,ternyata bner2 bsa bikin ane jatuh cinta ma ni pilem
BalasHapusDujardin juga punya muka expresif bgt,super sekali...
I adore this movie. Tadinya sempet khawatir bakaL bosen (apaLagi nonton daLam keadaan Lapar dan ngantuk), tapi ternyata never a duLL moment! *ikutan bahasa campur*
BalasHapusDujardin was super charming and swoon-worthy, but the one who reaLLy stoLe my heart was.. Uggie! <3
@Nugros Watch: apapun format tampilannya, kalo memang ceritanya bagus dan disampaikan dengan baik pasti jadi film yang baik pula *sok bijak* hehe, toss. =)
BalasHapus@amadl: betul, bukannya bertendensi terlalu "art", ternyata justru jadi film yang lovely *tetep campur*. toss =)