a.k.a. Tanda Tanya
(2011 – Mahaka Pictures/Dapur Film)
Directed by Hanung Bramantyo
Written by Titien Wattimena
Produced by Celerina Judisari, Hanung Bramantyo
Cast: Revalina S. Temat, Reza Rahadian, Agus Kuncoro, Hengky Solaiman, Endhita, Rio Dewanto, Edmay Solaiman, David Chalik, Glenn Fredly, Dedy Soetomo
Jika dibandingkan dengan karya Hanung Bramantyo sebelumnya, Sang Pencerah yg sukses itu, “?” terlihat seperti film yang lebih “kecil”, dengan desain produksi yg tidak terlalu mewah atau rumit, juga penggunaan kamera digital yg—maaf—di benak gw adalah pertanda film “murah” *ampun bang*. Namun, rupanya “?” mengusung bukan hal murahan, justru malah perihal sensitif yg dimiliki dan dialami semua orang, setidaknya di negeri kita. Bagaikan membuat film Crash ala Indonesia, Hanung kali ini membuat kisah saling silang manusia2 yang hidup berdampingan juga bersinggungan dalam perbedaan agama, ras, budaya dst. Setau gw sih film Indonesia jarang yang mengangkat konten seperti ini, apalagi yg tidak bias *sok tau ah*, dan rupanya Hanung Bramantyo lah yang berani melakukannya lewat film yang konon karena bingung kasih judul apa jadinya dibubuhkan lambang "?" (atau dibaca "tanda tanya") saja.
Di satu wilayah di Semarang (kata tulisan keterangannya), beberapa karakter berbeda latar belakang dibuat saling berhubungan, tapi sebenarnya mereka punya cerita masing2, bisa dibilang ada 3 macam cerita yg difokuskan dalam jangka waktu 1 tahun dan ditandai pada sekitar perayaan Paskah, Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Tokoh yg punya “akses” ke semua bagian cerita adalah Menuk (Revalina S. Temat). Muslimah berjilbab tapi bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan Canton Chinese Food. Menuk menjadi tulang punggung keluarga mengingat sang suami, Soleh (Reza Rahadian) belum punya penghasilan—membuatnya jadi labil karena merasa kehilangan kebanggaan sebagai seorang “laki-laki”. Rumah makan tempat Menuk bekerja adalah milik Tan Kat Sun (Hengky Solaiman)—well, sebenarnya hanya di refer sebagai “engkoh” sepanjang film ini—yang tengah dalam pengobatan atas penyakitnya (entah apa), harusnya sih usaha keluarga ini diteruskan oleh sang putra, Ping Hen alias Hendra (Rio Dewanto, akhirnya dia main di sesuatu yang tidak berlatar Bali atau Jogja =P) tapi selama ini kerjanya main di luar rumah terus tanpa bilang2 atau pamit2. Teman baik Menuk, Rika (Endhita) adalah janda beranak satu yang baru pindah keyakinan ke Katolik—tapi membiarkan anaknya yang kecil tetap mempraktekan Islam. Belakangan Rika semakin akrab dengan Surya (Agus Kuncoro), seorang aktor kecil2an, seorang Muslim, yang mendapat kesempatan main peran utama berkat kedekatannya dengan Rika, yaitu jadi Yesus di drama Paskah.
Jika dilihat sekilas, film "?" seakan siap menjadi sebuah sajian berani nan provokatif, apalagi berkaitan dengan perbedaan (kelompok) agama yang merupakan hal paling sensitif di bangsa kita. Namun pada hasilnya, film ini nggak sampe segitunya. Memang sih filmnya nggak seperti bacaan pelajaran PMP/PPKN/PKN/Kewarganegaraan yang kerap menggambarkan ah, betapa indahnya yg berbeda2 latar berlakang hidup berdampingan dengan rukun dan damai dan tenteram dan tenggang rasa dan lapang dada dan tepa salira dan gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara *neguk air minum sebentar*, soalnya kehidupan nyata tidak selalu demikian...Tetapi film ini juga ternyata sedikit segan dalam menyentuh isu keagamaan yg dikedepankan dalam promo2nya, poin itu hanya sebagian dari pelbagai hal yang disajikan dalam film ini. Menuk dan Soleh kerap berselisih pendapat karena ego khas laki-laki dari Soleh, selain karena ekonomi mereka yg masih agak jauh dari sejahtera. Lalu ada semacam asmara platonik tumbuh antara Rika dan Surya, serta krisis komunikasi orang tua-anak lewat masalah keluarga Tan. Jadi sebenarnya ini lebih kepada tentang manusia2nya, bukan soal perbedaan itu sendiri, toh manusia yg satu dengan yg lain memang sudah berbeda meski tanpa label agama atau budaya, kan?
Dengan porsi tiap karakter yang seimbang, gw cukup menikmati alir film “?” ini. Keterkaitan para tokohnya cukup wajar. In fact, gw respek bahwa film ini berusaha ditampilkan sewajar mungkin, mulai dari kegiatan2 sampai konflik2 yg dihadirkan, sehingga (menurut gw) lebih mudah terhubung dengan penontonnya. Masih ada sih sisa2 melodrama, dialog “kalbu” yg bikin gw mikir “masak sih ada orang yg ngomong kayak gitu?”, ataupun akting yg teatrikal (which was not really a bad thing actually), tapi semua masih dalam tahap bisa dimaklumi demi tersalurkan apa yg ingin disampaikan pembuat filmnya—makanya gw bilang “cukup” wajar =D. Pun tidak ada tokoh yang terlalu lurus dan sempurna di sini (mungkin kecuali tokoh ustadz yg diperankan David Chalik). Kerendahdirian Soleh karena belum bisa diandalkan, keprasahan Menuk atas tempramen suaminya, keprihatinan suami istri Tan akan masa depan putranya, beban yg belum siap ditanggung Hendra untuk meneruskan usaha keluarga, kekhawatiran Rika bukan hanya pada keyakinan dan komunitas barunya, tapi juga terhadap reaksi anak, orang tua serta mantan suaminya soal dia yg pindah keyakinan, serta keraguan Surya atas kesempatan untuk mengembangakan diri namun bersinggungan dengan apa yg dianutnya, bagi gw ini perkara yg tidak kecil namun wajar dan dapat dialami siapapun, dan untungnya semua dirajut cukup enak dalam film ini...emm, kecuali pada bagian penyerangan rumah makan milik Koh Tan yg menurut gw kurang kuat disampaikan sebab musababnya, ngerti sih tapi yaa...terlalu tiba2 mnurut gw. Bagian klimaksnya pun bagi gw masih kuno ekseskusinya, I could think of a better idea to execute that scene: harusnya nggak usah lari dan teriak2 *alah ngomong doang =P*.
Di luar itu, keseriusan Hanung dkk membuat film ini watchable dan tidak ofensif sangat pantas dihargai. Sebagaimana gw bilang di awal, film ini nggak semewah Sang Pencerah atau Ayat-Ayat Cinta, namun kesederhanaan itu tetap terlihat nyaman dan cakep, apalagi berkat sorotan kamera Yadi Sugandi yg sekali lagi membuktikan kamera digital bukan alasan untuk gagal menangkap gambar yang menimbulkan efek sinematik. Para aktor pun berperan lumayan lah, nggak bagus2 amat sih tapi cukup sesuai—lagi2 menurut gw yg mainnya paling bagus adalah yg perannya dikit banget: Dedy Soetomo sebagai Pastor. Kredit khusus kepada Agus Kuncoro yg menunjukkan keseriusannya (atau mungkin keseriusan tokohnya) dalam memerankan Yesus dengan meniru persis pose patung Yesus disalib—oh, and I really like the Santa Claus explanation =D. Di sisi lain, kredit tidak khusus harus gw berikan pada Reza Rahadian yg kok kayak sama aja sih gayanya kayak di film2 sebelumnya, hmmm...
Mengenai “tuduhan” bahwa film ini mencoba menyerukan kembali pentingnya toleransi dan kerukunan hidup orang2 yg berbeda latar belakang (bukan agama saja), memang benar, dan sepanjang pengetahuan gw yang seorang warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan Sumpah Pemuda dan akal sehat, nggak ada yg salah dengan itu. Namun tanpa terlalu menggurui, “?” mencoba menyampaikan pesan itu lewat bahasa yg lebih mudah dimengerti kebanyakan orang daripada propaganda dalam tulisan, yaitu “pengalaman” orang lain. Bagian antiklimaks alias endingnya memang jadi too good to be true, namun keseluruhan film ini sudah cukup memuaskan gw baik dari segi cerita yg separuh jalan mendekati realistis maupun segi tampilan yang sama sekali tidak asal2an. "?" nggak se-provokatif seperti yang di"curigai" orang2, tapi ini film kita, tentang kita, yang pantas dan baik ditonton. Eh, ada lagu2 Sheila On 7 lho =).
My score: 7,5/10
Komentar
Posting Komentar