Eat Pray Love
(2010 - Columbia)
Directed by Ryan Murphy
Screenplay by Ryan Murphy, Jennifer Salt
Based on the book by Elizabeth Gilbert
Produced by Dede Gardner
Cast: Julia Roberts, Javier Bardem, Billy Crudup, James Franco, Viola Davis, Richard Jenkins, Tuva Novotny, Hadi Subiyanto, Christine Hakim.
Numpang ria’ sedikit, Eat Pray Love tercatat dalam sejarah hidup gw sebagai film pertama yang gw tonton di bioskop Jepang *fufufufu*. Ya, saat tulisan ini diposting gw sedang “ditahan” di kota Osaka, Jepang selama beberapa minggu untuk urusan pekerjaan yang tetap tak berubah menyebalkannya *curhat*. Sebagai orang yang lumayan hobi ke bioskop, sebelum berangkat gw udah diwanti-wanti bahwa bahwa film2 Hollywood terbaru di Jepang cenderung selalu terlambat ditayangkan (mereka tidak tertarik dengan bajakan, entah terlalu taat hukum atau mungkin gak punya waktu untuk itu, entahlah, sok sibuk banget ni bangsa), juga mendengar pula konvensi “sopan santun” di dalam bioskop yang “konsentrasi menonton saja” alias tidak ada reaksi apapun mau lucu atau seram sekalipun filmnya (konon katanya kalo tertawa atau teriak itu “aneh”, idih), ditambah lagi harga tiket yang bisa buat 5 kali makan (di Indonesia paling 1-2 kali makan ya kan?). Nevertheless, gw hampiri juga salah satu bioskop besar yang ada di Osaka, dan kebetulan yang gw belum namun tertarik untuk nonton adalah Eat Pray Love ini.
Cukup bersombong-sombongnya, kita mulai ulasan film yang diangkat dari buku non-fiksi “curhat pribadi” seorang penulis New York, Elizabeth Gilbert, tentang pengalamannya pergi ke 3 tempat di dunia dalam rangka mencari “sesuatu” dari jiwanya yang terasa hampa. Liz (Julia Roberts) tampak luarnya sudah punya kehidupan yang jadi impian nyaris semua orang, punya pekerjaan enak sekaligus telah berumah-tangga dengan Stephen (Billy Crudup). Rupanya setelah menikah beberapa lama Liz baru sadar, ia masih merasa ada yang kurang, tidak punya semangat hidup, apalagi ketika banyak mengalami ketidaksehatian dengan sang suami. Liz pun merenung dan memutuskan untuk memulai perubahan dalam hidupnya: pertama adalah bercerai. Selanjutnya ia berhubungan dengan David (James Franco), aktor sekaligus guru yoga, tapi gagal juga—maklum, cuman rebound hehe. Tak lama kemudian Liz merencanakan eksperimen ekstrim dengan pergi dari kehidupan “nyaman tapi numb”nya di New York selama setahun: menikmati kesenangan duniawi di Italia, mencari keteduhan ilahi di India, dan ..err..liburan di pulau Bali, Indonesia. Liz menjalaninya sesuai rencana, meski tidak dapat juga menduga hal2 yang ia temui selama perjalanannya, yang kadang kala terasa menghalanginya dalam mendapatkan apa yang ia cari.
Kalo boleh gw merumuskan, film ini terdiri dari 4 babak utama. Babak pertama adalah bagian motivasi, tentang kehidupannya di New York yang menjadi cikal bakal Liz mencari jati diri keliling dunia. Sayangnya bagian pertama yang sesungguhnya penting ini malah kurang sekali kedalamannya, terasa dipaksakan, malah gw sempet mikir “gini doang ampe pengen keliling dunia?”. Babak kedua adalah “eat” di Italia, ini adalah bagian yang (sayangnya?) paling menarik dari 2 jam 15menit-an film ini. Bertemu teman2 baru, belajar bahasa+gestur bahasa Italia dengan cara yang lincah dan witty (no wonder, sutradaranya Ryan Murphy adalah kreator serial “Glee” yang bertone mirip), dan menyaksikan setiap makanan yang tampak lezat disantap oleh Liz (adegan khusus makan spageti adalah adegan favorit gw, slrrrpp *iler*). Bagian ini boleh dibilang dengan tepat menggambarkan apa yang dirasakan Liz, menikmati hal2 yang menyenangkan tanpa beban (dan the pleasure of doing nothing, mantap hehehe).
Babak ketiga adalah “pray” di sebuah asrama meditasi di India, kayaknya bagian ini agak gagal yah. Gw lebih merasakan gregetnya ketika Liz yang asli bercerita pengalamannya di Oprah Winfrey Show di TV beberapa tahun ke belakang, daripada penggambarannya dalam film ini. Drastis sekali dengan yang gw rasakan pada babak “eat”, babak “pray” gw nggak dapet apa-apa selain beberapa dialog lucu dan permainan oke dari Richard Jenkins sebagai Richard dari Texas (serius, di kredit nulisnya gitu ^_^). Sayangnya pula, mungkin demi keadilan, bagian2 berseting di India ini rasanya lamaa banget. Bagian yang gw sebagai orang Indonesia paling tunggu tentu saja babak di Bali yang tanpa diduga Liz sendiri menjadi babak “love”. Di bagian ini arah filmnya udah mulai membaik, yah meski nggak terlalu istimewa juga, tentang asmara dewasa Liz dengan seorang duda pengusaha asal Brasil, Felipe (Javier Bardem). Namun, menyaksikan pemandangan Bali yang otentik dan performa dari aktor2 Indonesia (Hadi Subiyanto sebagai Ketut Liyer dan Christine Hakim sebagai Wayan) yang jauh dari kata memalukan di dalam film high-profile produksi Hollywood menimbulkan kepuasan dan kebanggaan tersendiri.
Kalau mau dirangkum, secara keseluruhan film Eat Pray Love tidak membuat gw mengerti kenapa kisah Liz Gilbert ini versi bukunya bisa sangat laris dan “menginspirasi” sampe segitunya, gw memang belum baca bukunya, sayangnya film ini nggak bikin gw tertarik pada bukunya juga—emm, emang dasar gw gak suka baca buku sih, apalagi yang gak ada gambarnya =P. Ada sih beberapa potongan kalimat yang sukup mengena, tapi sampe film berakhir pun gw nggak ngerti apa yang dicari Liz dan apa yang sudah didapatkannya, apa mungkin karena pengaruh gw nonton gak pake subtitle yang gw mengerti? Entahlah, mungkin ceritanya memang menarik, tapi plotnya kurang bisa mentransfer secara baik makna emosional (bukan cuman kata2 bijak) yang tersimpan dalam ceritanya, meskipun jujur dibuat cukup lincah dan bagian lucu2nya boleh juga (gw beneran pengen ketawa, tapi satu bioskop sunyi begituh, jadi gw cuman ketawa-ketawa lewat napas aja *?*, eh ternyata sebelah gw ada juga kayak gitu, nampaknya orang Jepang yang satu ini paham makna “entertainment”, salut!).
Beruntung film ini diisi oleh aktor2 berbakat yang tidak bermain jelek, Julia Roberts cukup baiklah mainnya—well it’s not like she can’t act at all, namun penampilan yang bener2 mencuat jauh dari deretan aktornya sepertinya nggak ada. Soundtracknya pun enak didengar dan pas sekali dengan atmosfer filmnya. Namun yang benar2 menyelamatkan film Eat Pray Love bagi gw adalah bidikan jitu dari Robert Richardson sang sinematografer. Kecuali bagian India, aduh gambar2 dan pergerakannya meuni cakeuuup pisan, terutama bagian yang menyorot makanan2 di Italia (jadi inget Inglourious Basterds dan strudelnya Kol. Landa), serta pemandangan sawah terasering dan kebun nan elok di Bali, superb photography indeed, thank you Mr. Richardson.
But overall, Eat Pray Love bukanlah film yang istimewa, namun yaah…masih cukup layak ditonton. See you later aligator *logat kakek2 Bali*.
My score: 5,5/10
(2010 - Columbia)
Directed by Ryan Murphy
Screenplay by Ryan Murphy, Jennifer Salt
Based on the book by Elizabeth Gilbert
Produced by Dede Gardner
Cast: Julia Roberts, Javier Bardem, Billy Crudup, James Franco, Viola Davis, Richard Jenkins, Tuva Novotny, Hadi Subiyanto, Christine Hakim.
Numpang ria’ sedikit, Eat Pray Love tercatat dalam sejarah hidup gw sebagai film pertama yang gw tonton di bioskop Jepang *fufufufu*. Ya, saat tulisan ini diposting gw sedang “ditahan” di kota Osaka, Jepang selama beberapa minggu untuk urusan pekerjaan yang tetap tak berubah menyebalkannya *curhat*. Sebagai orang yang lumayan hobi ke bioskop, sebelum berangkat gw udah diwanti-wanti bahwa bahwa film2 Hollywood terbaru di Jepang cenderung selalu terlambat ditayangkan (mereka tidak tertarik dengan bajakan, entah terlalu taat hukum atau mungkin gak punya waktu untuk itu, entahlah, sok sibuk banget ni bangsa), juga mendengar pula konvensi “sopan santun” di dalam bioskop yang “konsentrasi menonton saja” alias tidak ada reaksi apapun mau lucu atau seram sekalipun filmnya (konon katanya kalo tertawa atau teriak itu “aneh”, idih), ditambah lagi harga tiket yang bisa buat 5 kali makan (di Indonesia paling 1-2 kali makan ya kan?). Nevertheless, gw hampiri juga salah satu bioskop besar yang ada di Osaka, dan kebetulan yang gw belum namun tertarik untuk nonton adalah Eat Pray Love ini.
Cukup bersombong-sombongnya, kita mulai ulasan film yang diangkat dari buku non-fiksi “curhat pribadi” seorang penulis New York, Elizabeth Gilbert, tentang pengalamannya pergi ke 3 tempat di dunia dalam rangka mencari “sesuatu” dari jiwanya yang terasa hampa. Liz (Julia Roberts) tampak luarnya sudah punya kehidupan yang jadi impian nyaris semua orang, punya pekerjaan enak sekaligus telah berumah-tangga dengan Stephen (Billy Crudup). Rupanya setelah menikah beberapa lama Liz baru sadar, ia masih merasa ada yang kurang, tidak punya semangat hidup, apalagi ketika banyak mengalami ketidaksehatian dengan sang suami. Liz pun merenung dan memutuskan untuk memulai perubahan dalam hidupnya: pertama adalah bercerai. Selanjutnya ia berhubungan dengan David (James Franco), aktor sekaligus guru yoga, tapi gagal juga—maklum, cuman rebound hehe. Tak lama kemudian Liz merencanakan eksperimen ekstrim dengan pergi dari kehidupan “nyaman tapi numb”nya di New York selama setahun: menikmati kesenangan duniawi di Italia, mencari keteduhan ilahi di India, dan ..err..liburan di pulau Bali, Indonesia. Liz menjalaninya sesuai rencana, meski tidak dapat juga menduga hal2 yang ia temui selama perjalanannya, yang kadang kala terasa menghalanginya dalam mendapatkan apa yang ia cari.
Kalo boleh gw merumuskan, film ini terdiri dari 4 babak utama. Babak pertama adalah bagian motivasi, tentang kehidupannya di New York yang menjadi cikal bakal Liz mencari jati diri keliling dunia. Sayangnya bagian pertama yang sesungguhnya penting ini malah kurang sekali kedalamannya, terasa dipaksakan, malah gw sempet mikir “gini doang ampe pengen keliling dunia?”. Babak kedua adalah “eat” di Italia, ini adalah bagian yang (sayangnya?) paling menarik dari 2 jam 15menit-an film ini. Bertemu teman2 baru, belajar bahasa+gestur bahasa Italia dengan cara yang lincah dan witty (no wonder, sutradaranya Ryan Murphy adalah kreator serial “Glee” yang bertone mirip), dan menyaksikan setiap makanan yang tampak lezat disantap oleh Liz (adegan khusus makan spageti adalah adegan favorit gw, slrrrpp *iler*). Bagian ini boleh dibilang dengan tepat menggambarkan apa yang dirasakan Liz, menikmati hal2 yang menyenangkan tanpa beban (dan the pleasure of doing nothing, mantap hehehe).
Babak ketiga adalah “pray” di sebuah asrama meditasi di India, kayaknya bagian ini agak gagal yah. Gw lebih merasakan gregetnya ketika Liz yang asli bercerita pengalamannya di Oprah Winfrey Show di TV beberapa tahun ke belakang, daripada penggambarannya dalam film ini. Drastis sekali dengan yang gw rasakan pada babak “eat”, babak “pray” gw nggak dapet apa-apa selain beberapa dialog lucu dan permainan oke dari Richard Jenkins sebagai Richard dari Texas (serius, di kredit nulisnya gitu ^_^). Sayangnya pula, mungkin demi keadilan, bagian2 berseting di India ini rasanya lamaa banget. Bagian yang gw sebagai orang Indonesia paling tunggu tentu saja babak di Bali yang tanpa diduga Liz sendiri menjadi babak “love”. Di bagian ini arah filmnya udah mulai membaik, yah meski nggak terlalu istimewa juga, tentang asmara dewasa Liz dengan seorang duda pengusaha asal Brasil, Felipe (Javier Bardem). Namun, menyaksikan pemandangan Bali yang otentik dan performa dari aktor2 Indonesia (Hadi Subiyanto sebagai Ketut Liyer dan Christine Hakim sebagai Wayan) yang jauh dari kata memalukan di dalam film high-profile produksi Hollywood menimbulkan kepuasan dan kebanggaan tersendiri.
Kalau mau dirangkum, secara keseluruhan film Eat Pray Love tidak membuat gw mengerti kenapa kisah Liz Gilbert ini versi bukunya bisa sangat laris dan “menginspirasi” sampe segitunya, gw memang belum baca bukunya, sayangnya film ini nggak bikin gw tertarik pada bukunya juga—emm, emang dasar gw gak suka baca buku sih, apalagi yang gak ada gambarnya =P. Ada sih beberapa potongan kalimat yang sukup mengena, tapi sampe film berakhir pun gw nggak ngerti apa yang dicari Liz dan apa yang sudah didapatkannya, apa mungkin karena pengaruh gw nonton gak pake subtitle yang gw mengerti? Entahlah, mungkin ceritanya memang menarik, tapi plotnya kurang bisa mentransfer secara baik makna emosional (bukan cuman kata2 bijak) yang tersimpan dalam ceritanya, meskipun jujur dibuat cukup lincah dan bagian lucu2nya boleh juga (gw beneran pengen ketawa, tapi satu bioskop sunyi begituh, jadi gw cuman ketawa-ketawa lewat napas aja *?*, eh ternyata sebelah gw ada juga kayak gitu, nampaknya orang Jepang yang satu ini paham makna “entertainment”, salut!).
Beruntung film ini diisi oleh aktor2 berbakat yang tidak bermain jelek, Julia Roberts cukup baiklah mainnya—well it’s not like she can’t act at all, namun penampilan yang bener2 mencuat jauh dari deretan aktornya sepertinya nggak ada. Soundtracknya pun enak didengar dan pas sekali dengan atmosfer filmnya. Namun yang benar2 menyelamatkan film Eat Pray Love bagi gw adalah bidikan jitu dari Robert Richardson sang sinematografer. Kecuali bagian India, aduh gambar2 dan pergerakannya meuni cakeuuup pisan, terutama bagian yang menyorot makanan2 di Italia (jadi inget Inglourious Basterds dan strudelnya Kol. Landa), serta pemandangan sawah terasering dan kebun nan elok di Bali, superb photography indeed, thank you Mr. Richardson.
But overall, Eat Pray Love bukanlah film yang istimewa, namun yaah…masih cukup layak ditonton. See you later aligator *logat kakek2 Bali*.
My score: 5,5/10
saya ketawa bagian kamu yang bilang kenapa ya buku liz gilbert bisa sangat laris, it's definitely a woman's book, dan kayaknya Gilbert ini bisa jadi role model perempuan yang diusia memasuki masa rawan untuk well, enjoy the life
BalasHapussaya juga belum baca bukunya
my friend has read it dan bilan ini cuma pengalaman perempuan mau menopause yg luckily, dia kaya
kakak saya juga sudah ntn minggu kemarin, dan yep, she's the romantic one tapi bahkan dia bilang filmnya so-so, jadi sepertinya EPL memang not that good sih
@movietard, well, begitulah penilaian gw. Tapi bener lho, gw tuh lebih "merasa" waktu si Liz Gilbert asli di Oprah ketimbang dramatisasi film ini...emang susah kali ya mem-film-kan curhatan orang, =D
BalasHapus