Le Scaphandre et le Papillon
The Diving Bell and The Butterfly
(2007 – Pathé/Miramax)
Directed by Julian Schnabel
Screenplay by Ronald Harwood
Based on the book by Jean-Dominique Bauby
Produced by Jon Kilik, Kathleen Kennedy
Cast: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner, Marie-Josée Croze, Anne Consigny, Marina Hands, Max von Sydow
Ini baru namanya BPB—bukan pelm biasa. Entah gimana, pembuat filmnya sanggup mengolah kisah seseorang yang mengalami kelumpuhan total—kecuali otak dan mata kirinya, menjadi sebuah film, but they did it, malah jadi film yang sangat layak tonton. The Diving Bell and The Butterfly diangkat dari otobiografi mantan editor majalah Elle Prancis, Jean-Dominique Bauby, atau disapa Jean-Do (Mathieu Amalric) di masa kelumpuhannya. Iiiyak betul, dia bikin otobiografi dalam keadaan lumpuh. Nah lho...gimana caranya?
Di situlah letak kekerenan film berbahasa Prancis ini—meski sutradaranya dan produsernya dari Amerika. Dengan cerdas, penulis Ronald Harwood dan sutradara Julian Schnabel benar2 mengambil sudut pandang dari Jean-Do secara dominan sejak awal hingga akhir. Film dimulai ketika Jean-Do tersadar di rumah sakit setelah sekian lama, dan mengetahui keadaannya saat itu setelah dijelaskan oleh tim dokter. Jean-Do mengalami apa yg disebut locked-in syndrome: meskipun secara kesadaran jiwa normal, tubuhnya lumpuh total, tidak bisa merasa apalagi bergerak, bicara juga nggak bisa, hanya bisa mendengar dan menggerakkan mata, itupun mata kanan-nya musti dijahit karena kelopaknya gak bisa kedip (takut infeksi). Bener2 terpenjara di tubuh sendiri. Nah, sebagian besar film, gambar yang ditampilkan adalah lewat sebelah mata Jean-Do itu, karena hanya lewat itulah Jean-Do dapat berkomunikasi dengan orang lain. Salah seorang terapisnya, Henriette (Marie-Josée Croze) menemukan cara berkomunikasi dengan Jean-Do: menandai huruf lewat kedipan. Ribet lah, tapi efektif, Jean-Do berangsur-angsur bisa mengungkapkan perasaannya lewat huruf demi huruf, bahkan membuat sebuah buku otobiografinya dengan cara demikian.
Frustrasi? Mnurut loe? Namun jangan mengira film ini akan mengeksploitasi penderitaan Jean-Do dengan haru biru ala sinetron Jepang dan Korea. Lewat kisah inilah penonton diajak untuk ikut mengalami apa yang dialami Jean-Do lewat berbagai sisi, mulai dari kegusarannya, kesedihannya, hingga pada kebangkitan semangatnya. Juga cara dia move on dan berusaha tetap waras dalam kondisinya meskipun dokter pun belum tau apa penyebab pasti sakitnya dan cara menyembuhkannya. Kita diajak mengenali sosok Jean-Do lewat narasinya yang agak witty, lewat imajinasi dan kenangan masa lalunya—flashbacknya lumayan banyak, juga lewat interaksi dengan orang2 di sekitarnya. Jean-Do bukanlah orang suci, ia punya 3 anak dengan Céline (Emmanuelle Seigner)—kayaknya nggak nikah, yang paling sering mengunjunginya pada saat2 seperti ini, namun sebenarnya hatinya hanya tertinggal pada Joséphine (Marina Hands), yang justru tak sekalipun pernah mendatanginya sejak sakit. Urusan hati ketiga orang memang mendapat porsi penting di film ini, tidak banyak, tapi berkesan—gw suka adegan pada suatu hari Minggu ketika staff rumah sakit libur dan Jean-Do hanya ditemani Céline, Joséphine nelpon =]. Selain itu ada pula sepasang adegan Jean-Do dengan ayahnya (Max von Sydow) yang sangat menyentuh. Adegan2 favorit gw ini hanya beberapa contoh, bahwa biarpun tidak konvensional, film ini tetap begitu membumi dan mengusik nurani *alah lebay*.
Kisah menyentuh dan inspiratif dengan pendekatan yang menarik dan menggugah adalah senjata utama The Diving Bell and The Butterfly ini. Betapa arifnya pula film ini dikemas dengan kelengkapan teknis yang magnificent. Sinematografi arahan Janusz Kaminski udah gak bisa ditawar lagi kerennya, bisa2nya dibikin mirip gerakan mata Jean-Do, apalagi dengan gayanya yang suka seenaknya miring2in kamera, tapi rasanya tepat guna dan cantik. Editingnya sangat bagus, art directionnya cakep, serta ditemani oleh soundtrack yang sangat mendukung. Penampilan para aktornya pun bisa dibilang terpuji. Interaksi mereka dengan tokoh Jean-Do sangat believable dan tidak kaku. Mathieu Amalric pun sanggup membawa perannya dengan baik meski sebagian besar hanya berupa suara lewat narasi, tapi mungkin karena tampilan fisiknya yang agak antik jadi screen-presencenya pun terkesan kuat meski hanya tampak beberapa kali saja.
The Diving Bell and The Butterfly mungkin saja akan terasa panjang dan menjemukan bagi penonton yang mencari melodrama amat sangat. Namun buat gw, film ini adalah salah satu film biopic terkeren yang pernah gw tonton. Ini film biopic yang digarap dengan dramatisasi tidak biasa, namun lebih menggugah dari yang biasa-biasa. Gw sih nggak bosen nontonnya. Very good. Très bon <- *nyontek di Google translate =P*.
My score: 8,5/10
jadi pengen nonton lagi abis baca ini :)
BalasHapus@adithiarangga, sok atuh kang, bisa dijadiin obat penawar setelah nonton film2 indo-horor =D
BalasHapusfilm bagus... miris tp ada lucunya jg..
BalasHapusada film kayak gini jg walopun beda jalan ceritanya, "sea inside", buatan spanyol, yg main javier bardem. Bagus jg tuh film.
@kreshnahary kalo gak salah Sea Inside juga dirilis video originalnya sama Jive bukan? suatu saat akan saya tengok juga.
BalasHapusklo mo nengok ajak2 gw.. ntar gw siapin oleh2nya..hehehe
BalasHapusSaya suka cara Schnabel menempatkan kamera di POV protagonisnya, penonton jadi lebih bisa ngerasain sekaligus ngeliat apa yang diliat Jean-Do. Agak miris juga waktu scene dimana mata Jean-Do dijahit. Ouch!
BalasHapus@Film Lovers Are Sick People, itu juga salah satu poin yang saya suka banget. Ganjil tapi eksekusinya sukses.
BalasHapus