Gw lupa kapan terakhir kali gw nganga waktu nonton sebuah film, yg pasti The Book of Eli membuat gw nganga lagi. Gw pikir The Book of Eli hanyalah film soal pasca semi-kiamat biasa dan mudah diprediksi arahnya...nope, gw salah besar. Film garapan sutradara kembar ini lolos dari jebakan tayangan standar. Hal ini jelas perlu diapresiasi. Rupanya pula, film ini dilengkapi dengan visual serta akting yg baik, sehingga lengkaplah formula The Book of Eli menjadi film yg mungkin tidak akan populer tapi layak tonton.
Dunia sudah menjadi reruntuhan, peradaban sudah mati, manusia tinggal sedikit dan kembali ke hukum rimba, alam telah berubah, dan cahaya matahari sangat tidak bersahabat (keluar ruangan musti pake kacamata hitam). Yang ada hanya puing2 sisa peradaban yg tadinya sangat dibanggakan. Nggak dijelasin ini karena apa, yg pasti telah terjadi sesuatu yg menyebabkan kehancuran masal, dan kejadiannya sudah cukup lama karena siudah muncul manusia angkatan baru pasca peristiwa itu yg tidak kenal lagi peradaban yg kita jalani sekarang. Adalah seorang pria, mungkin namanya Eli (Denzel Washington)--namanya ada di tag dalam tasnya dan cuma disebut di bagian ending--berkelana sendirian di tanah (yg dulunya) Amerika Serikat. Kalo ditanya mau kemana, jawabannya simpel: ke Barat. Eli jalan dengan membawa perlengkapan seadanya, berbagai senjata untuk bertahan hidup (+ keahlian bela diri yg yahud, karena makanan dan minuman sudah langka, dan kadang di tengah jalan ada rampok atau kanibal), dan sebuah buku..err..kitab besar berkunci yg dibacanya setiap malam, kitab bersampul tanda salib (did I just spoiled that?). Kitab inilah yg harus diantar Eli ke tempat yg layak di Barat sana. Plot intinya adalah di tengah perjalanannya, Eli harus terhadang oleh Carnegie (Gary Oldman) yg menginginkan kitab yg dibawa Eli, sedangkan Eli berusaha tetap maju terus pantang mundur mencapai tujuannya, maka terjadilah pertaruhan nyawa antar keduanya: Eli dengan kemampuan survival canggihnya, dan Carnegie dengan bawahan gangster bersenjata yg buta huruf. Hal ini diperumit dengan adanya Solara (Mila Kunis), anak tiri Carnegie yg pengen ngikut Eli karena merasa muak hidup di bawah Carnegie yg kerap menyiksa ibunya yg buta, Claudia (Jennifer Beals), selain karena penasaran dengan kitab yg dibawa Eli--maklum anak zaman "itu" kan gak tau buku hehehe.
Emang ada apa sih dengan si kitab itu sampe segitunya? Jangan salah menyangka bahwa kitab yg dibawa Eli itu sakti atau menyimpan rahasia yg gimana gitu. Kitab yg dibawa Eli adalah cetakan tersisa karena dulu setelah "peristiwa itu" (yg entah apa), setiap eksemplarnya sengaja diberangus karena dianggap sebagai asal muasal terjadinya perseteruan dan peperangan. Carnegie sama dengan Eli, pernah hidup sebelum peristiwa kehancuran dunia, dan ia tahu bahwa konten kitab ini dapat menarik orang2 terutama yg haus akan kebutuhan spiritual dan pengharapan di tengah2 kehidupan yg tanpa kepastian dan tujuan. Nah, karena sepertinya cuman Carnegie yg bisa membaca (di daerah situ), dan jika hanya dia satu2nya yg memiliki buku itu, maka dia pikir kitab ini akan melengkapi kekuatannya untuk bisa mengendalikan "rakyat"nya supaya nggak ada yg akan berani melawan dia, karena dia bakal jadi "supplier tunggal" dan mau gak mau orang2 harus percaya sama dia. Menariknya, Eli tidak tahu soal motivasi licik ini. Yang dia tahu adalah menjaga kitab ini sampai ke tujuannya, yg bahkan dia sendiri nggak tau tujuannya itu apa sebenarnya, dia hanya tau caranya ke sana, he's just doing it by faith, katanya.
Gampang saja film ini dianggap film religius, terutama karena Eli yg katanya diutus oleh "suara2" serta "identitas" si kitab itu sendiri. Bagi gw sih ada benarnya juga, ada pesan2 religius yg cukup penting yg untungnya disampaikan dengan smooth tanpa harus berkhotbah atau menyelipkan jargon religius di dialognya. Terus terang gw suka film yg seperti itu (contoh lain Signs dan Knowing, seriously). Ini yg gw bilang film ini mungkin aja nggak bakal populer karena dianggap terlalu bertendensi agama. Tapi pesan2 ini pun sebenernya universal, misalnya: apa gunanya punya buku/kitab kalau nggak dibaca dan dipahami, dan apa artinya membaca dan memahami kalau pembacanya tidak membagi apa yg telah diperolehnya kepada orang lain. Bukankah semua pemeluk agama apapun seharusnya berpikir begitu? Buat gw, inilah yg membuat The Book Of Eli bukan sekedar film numpang lewat yg kosong tanpa makna.
Di luar itu, The Book of Eli adalah film yg unexpectedly sanggup bikin gw pantengin layar terus menerus, captivating, padahal lajunya tuh lambaaaat banget. Plotnya yg memang solid nggak kemana-mana disampaikan secara perlahan, dieman-eman. Untung adegan2 actionnya mengundang decak kagum meski jarak satu adegan aksi ke yg lain agak jauh. Aksi bela diri oom Denzel Washington selalu terlihat keren (dan sadis). Dua adegan aksi yg gw inget dan suka banget adalah Eli melawan 4 perampok dalam siluet di awal, dan adegan tembak2an di rumah kakek nenek yg bikin gw geleng2 sendiri, karena pengambilan gambarnya sangat seru seperti one-take-shot. Visualnya yg redup dan suram terlihat sangat pas dengan tema postapocalyptic nya. Tata artistik, make-up serta kostumnya cukup meyakinkan menggambarkan suasana pasca kehancuran, tangkapan sinematografinya yg monokromatis juga anehnya nggak bikin gerah. Hal lain yg bikin gw betah menyaksikan film ini adalah akting simpatik dari Denzel Washington dan performa meyakinkan Gary Oldman, keduanya tampil hidup di tengah2 dunia yg mati (halah). Sayang, peran2 pendukungnya biasa aja (hanya saja Mila Kunis wajahnya eksotis sekali ^_^), dan fungsi perannya pun nggak terlalu signifikan. Oh ya, selain itu ada juga pertanyaan muncul di benak gw gimana caranya Eli ditembak tapi nggak mati2, tapi ya sudahlah...
Lalu apa yg bikin gw nganga? Nah, ketika sepertinya gw bisa menebak arah ending film ini...ternyata oh ternyata....ternyata gitu toh? Bahkan nggak pernah terbesit di pikiran gw yg tadinya udah mau sok aja nebak endingnya--jadi orang memang nggak boleh sombong heuheuheu. Dengan demikian The Book Of Eli tuntas menjadi film yg punya maksud sekaligus entertaining secara cukup seimbang, bukan mengedepankan hiburan belaka (action terus2an), tidak juga terlalu menitikberatkan pada drama yg membosankan. Gw sendiri ragu bakal mem-favoritkan film ini, tapi setidaknya akan gw inget cukup lama. Lucu juga film yang settingnya bumi luluh lantak tapi banyak tumpangan iklannya ^o^;.
my score: 7,5/10
Komentar
Posting Komentar