[Movie] Identitas (2009)


Identitas
(2009 - Citra Sinema/Esa Films/Tits Film Workshop)


Written and Directed by Aria Kusumadewa

Produced by Choky Situmorang

Cast: Tio Pakusadewo, Leony VH, Ray Sahetapy, Otig Pakis, Teguh Esha, Titi Sjuman


~tulisan dibuat sebelum tapi diedit sesaat setelah pengumuman pemenang piala Citra FFI 2009, which btw, film ini menang Film Terbaik~

Gw tadinya nggak nyangka kalo ini film komedi. Kalaupun memang komedi, gw nggak tertawa karena lucu, tapi lebih kepada "wapaan siy?" ^_^' hehehe. Oh, btw,
thank God for Jiffest! Ini film ketiga yg gw tonton di rangkaian Jiffest tahun ini, mumpung gratis dan gw dapet cuti setengah hari. Gw cukup penasaran karena film ini masuk banyak nominasi FFI 2009, dan karena pengen tau sutradara paling terkenal di dunia film independen Indonesia, Aria Kusumadewa bikin film seperti apa. Gw belum familiar sama karya2 sebelumnya, dan film ini juga film pertama beliau yg diputar di jaringan bioskop nasional sekitar pertengahan tahun ini, walau umurnya mungkin cuman 1 minggu atau kurang.

Gw cukup bingung menceritakan kembali isi film ini. Sepenangkapan gw, intinya soal Adam (Tio Pakusadewo), seorang petugas kamar mayat (dokter?) yg terobsesi dengan seorang perempuan muda (Leony VH) yg ayahnya (Teguh Esha) dirawat di rumah sakit, sekaligus melacurkan diri untuk biaya kesehatan sang ayah (
that's way I don't call her "gadis" haha). Dalam beberapa kesempatan, Adam berinteraksi dengan perempuan yg enggan menyebut namanya itu, timbul kedekatan yg hangat tanpa nafsu (walau Leony bugil di hadapan si Adam lalu diblur di tempat, kalo kata temen nonton gw mirip AV/bokep Jepang, tapi Adam kira2 bilang "saya mau tolong, tapi nggak perlu pakai cara begitu kan"), namun obsesi Adam makin menjadi ketika si perempuan tiba2 hilang tanpa jejak. Cukup singkat ceritanya, tapi sisa 85 menit durasi Identitas dipenuhi dengan situasi dan setting sebagai bentuk satirisme yang mungkin hanya terlihat lucu bagi sebagian orang, atau malah bagi pembuatnya saja. Sedang ada pemilihan walikota, calonnya dari partai2 yg disingkat PMS dan TITS, oke deh =.='. Rumah sakit setting utamanya bernama Rumah Sehat Sakit, yg begitu kumuh semrawut, perawatnya absurd seperti suster2 fantasi seksual, tulisan pengumuman yg nyolot, dan suara announcer yg maunya lucu tapi nggak membuat gw tertawa.Tag nama2 mayat yg dikoleksi Adam pun diambil dari nama2 orang yg dikenal di dunia perfilman: John de Rantau, Deddy (Mizwar, yg juga produser eksekutif film ini), Leony (?) dan nama2 kru film ini sendiri, dengan kata lain: candaan dapur, utk kalangan sendiri.

Baiklah, film ini sedang berusaha menyampaikan kebobrokan yang terjadi dalam bangsa kita: kekotoran politik, desakan kemiskinan, keasusilaan yg nggak pernah mati, buruknya pelayanan dan fasilitas kesehatan terutama bagi rakyat kecil, petugas kesehatan yg nggak kompeten, tayangan TV yg berkualitas buruk, penggusuran oleh pembangunan "modern", diskriminasi warga keturunan, penjualan organ tubuh ilegal, komersialisasi terhadap keluarga yg berduka, pelecehan di tempat kerja, keribetan birokrasi, pemberitaan berlebihan media massa mengenai hal yang sepele, dll dll semua dijejal di film ini,
I get it, alright. Mungkin karena dirasa berat, maka semua situasi itu dipresentasikan lewat sindiran dan parodi, yg sayangnya alih2 jadi lebih ringan, malah tidak selalu lucu, dan mungkin hanya akan bisa berhasil di panggung teater.

Itu kuncinya: teater! Identitas terlalu teatrikal dalam mengangkat isu yg nyata. Akting depresi petugas rel kereta api teman Adam memperkuat kesan itu. Gw masih yakin dalam sebuah film, harus timbul efek
believable (hal yg paling believable di film ini hanya penempatan iklan Promag dan motor Suzuki) atau setidaknya subtle, tersirat. Sindiran kan nggak perlu disampaikan sekasar itu, apalagi kalo inti filmnya bukan itu. Lagian ada beberapa adegan yg kurang relevan sama benang merah cerita, padahal ceritanya sendiri mengusung tema yg butuh fokus lebih seksama "Apa itu identitas? Kenapa itu penting? Kenapa identitas bisa menimbulkan diskriminasi?" tapi justru urung digali lebih dalam dan malah teralihkan oleh hiasan2 situasi yg mnurut gw penuh sesak dan tak nyaman. Alhasil, film ini terjebak sebagai tontonan yg nyiyir namun kurang thought-provoking. Film cin(T)a walaupun sama2 nyinyir, bagi gw masih lebih berhasil dalam hal mengusik sanubari (apaa lagi tuh? ^o^').Gw juga cukup menyayangkan penggunaan kamera digital di film ini, gambarnya kurang bagus euy. Sepertinya pake handycam merek Sony yg belum high definition yg lemah sekali menangkap cahaya dan warna (seperti yg ada di rumah gw), atau mungkin faktor transfer ke bentuk pita filmnya yg kurang baik, alhasil gelap, buram, dan kurang sedap dipandang, lebih mirip Under The Tree ketimbang Public Enemies, pun sudut pengambilannya tidak terlalu istimewa, cuma ada beberapa aja yg okeh.Dari tadi kayaknya gw menilai negatif terus yah hehe, tapi tenang, Tio Pakusadewo adalah penyelamat film ini dari segi tontonan. Aktingnya bagus dan menjiwai (as always) dengan kacamata tebal, perut buncit dan gigi tonggosnya. Adam memang orangnya pendiam dan agak canggung, tapi anehnya berhasil mengundang simpati, berkat pembawaan pak Tio yg mantap. Gw sama sekali nggak kaget waktu pak Tio menang Citra, dan memang beliau pantas mendapatkannya. Leony si alumnus Trio Kwek-Kwek sebenernya tampil nggak jelek2 amat, cuman nggak bisa dibilang bagus banget.

Identitas memang memuat banyak hal, hal yg cukup penting, yg memang jarang diangkat di film2 Indonesia lainnya. Kelebihan ini mungkin yg membuat Identitas berjaya dalam FFI 2009. Hanya saja, kalau terlalu banyak dan disampaikan dengan cara yg kurang
audience-friendly apalagi buat gw yg masih bodoh, sederhana dan berselera rendah ini, percuma saja, karena kemasannya kurang "cantik" baik secara visual maupun ramuan plotnya, jadinya kurang kena. Oh btw, di awal gw mencap ini film komedi. Tapi apakah memang niatnya komedi, gw nggak tau juga karena meskipun tampil joke2 garing (Adam bilang aktor Tio Pakusadewo mainnya bagus, joke tua Y_Y), nyatanya film ini terlalu serius untuk jadi komedi, tapi juga terlalu konyol untuk jadi film satir sekalipun.


My score:
5/10


Komentar