Ruma Maida
(2009 - Lamp Pictures/Karuna Pictures)
Directed by Teddy Soeriaatmadja
Written by Ayu Utami
Produced by Doddy M. Husna
Cast: Atiqah Hasiholan, Yama Carlos, Frans Tumbuan, Hengky Solaeman, Davina Veronica Hariadi, Nino Fernandez, Imelda Soraya, Verdy Solaiman, Wulan Guritno
Film Ruma Maida adalah film nasional yg entah pake pelet apa, seakan-akan memanggil gw bagaikan patung kucing pemanggil di toko2 emas untuk menontonnya dengan tidak berat hati. Faktor poster yg bagus dan ide yg menarik dan berbeda mungkin jadi pertimbangan awal. Lalu ada sutradara Teddy Soeriaatmadja yg berdasarkan resumenya yg pernah gw tonton, gemar menampilkan gambar2 yg bagus, dan naskahnya ditulis oleh
Jakarta, 1998. Maida (Atiqah Hasiholan) adalah mahasiswi jurusan Sejarah tingkat akhir, namun menghabiskan banyak waktunya mengajar anak2 jalanan di sebuah rumah kolonial tua yg tak berpenghuni. Rumah itu bukan rumah sembarangan, karena berdasarkan pengakuan 3 manula dari orkes keroncong, rumah itu tempat tinggal dari seorang komponis indo yg bernama Ishak Pahing (Nino Fernandez), pencipta sebuah lagu berjudul "Pulau Tenggara" yg menginspirasi Soekarno membuat gerakan non-blok. Akhirnya, Maida langsung mendapat pencerahan dan menjadikan sejarah Ishak Pahing sebagai topik skirpsinya. Namun, suatu hari datang orang2 yg mengaku ditugaskan oleh pemilik rumah untuk mengosongkan rumah tua tersebut, untuk dialihfungsikan menjadi pertokoan. Maida bertatap muka dengan sang arsitek, Sakera (Yama Carlos) dan menuntut mempertemukannya dengan sang pemilik, yg belakangan diketahui bernama Dasaad Muchlisin (Frans Tumbuan) yg keukeuh mau merombak lahan rumah itu menjadi lebih modern, meskipun Sakera maunya sih desain aslinya masih sebagian dipertahankan. Maida barengan Sakera pun mencari cara supaya meyakinkan Dasaad agar bangunan itu tetap berdiri dengan mencari nilai sejarah rumah itu, yah skalian cari bahan skripsi kali ye. Lalu dari sini kita disuguhkan juga benih cinta antara Maida dan Sakera, lalu secara selang seling ada juga flashback mengenai kisah mengenai Ishak Pahing (not history, but his story), kisah cintanya dengan vokalis orkes keroncong Sumpah Pemuda asuhannya, Nani Kuddus (Imelda Soraya), juga cinta segitiga dirinya dan sang istri dengan mata-mata Jepang, Maruyama (Verdi Solaiman). Lalu apa yg sebenarnya terjadi sehingga rumah Ishak Pahing kini terbengkalai? Yang pasti kisah2 di tersebut diusahakan bersinggungan dengan peristiwa2 sejarah bangsa kita, semacam "the other side of the story" meskipun fiksi--Ishak Pahing dan apapun yg berhubungan dengannya adalah fiksi, tapi tetep gw pernah coba nge-google, bego beut yak T-T'.
Gw cukup bingung untuk mengungkapkan apa sebenarnya inti film ini. Menurut gw sih benang merahnya udah gw ceritain di atas, dan maksudnya jelas bahkan tersurat: Jas Merah=jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi film ini nggak cuma tentang itu. Gw merasakan ada beberapa muatan dari ceritanya. Di sini kita lihat 3 pihak yg berbeda sikap soal rumah itu: Maida jelas nggak mau rumah itu diapa-apain karena punya nilai sejarah, lalu ada Sakera yg ditugaskan untuk mengubah fungsi bangunan itu, tapi masih ingin mempertahankan desain2 yang ada, dan Dasaad si self-declared tidak suka sejarah yg ingin merubuhkan rumah itu menjadi bangunan baru. Pro, ragu2, dan kontra. Aren't they one of us? Film ini juga mengangkat isu pendidikan, tapi lebih berkaitan dengan bagaimana memposisikan pendidikan sebagai bagian untuk memajukan bangsa (ceritanya memang nggak difokuskan ke pendidikan anak jalanan, karena mungkin itu sudah bagiannya Laskar Pelangi). Lalu ada beberapa hint mengenai casualties dari peristiwa sejarah, seperti tulisan "pribumi" di rumah2 pasca kerusuhan Mei 1998, dan juga chaos saat kemerdekaan 1945, juga isu2 lain yg menjadi persoalan bangsa ini meski hanya sebatas dialog selintas. Wah, banyak deh bagian2 yg cukup bikin perenungan. Tambah lagi, kita melihat keadaan negeri kita, well, Jakarta setidaknya, dari tingkat paling bawah (anak jalanan) sampe yg paling atas (Dasaad).
Sebagai sebuah karya film, Ruma Maida memang terlihat seperti "film" dengan kelengkapan teknisnya. Gambar2 cantik persembahan sang sutradara masih ada walaupun nggak seperti lukisan layaknya Banyu Biru dan Ruang. Adegan pembukanya keren. Agak mengulang film Ruang, Pak Teddy bikin pembeda dengan memakai gambar sephia di setting masa lampau, cakep, tapi nggak seperti Ruang, yg bagian "masa kini" nya dibuat lebih alami dan cenderung kasar bahkan bergoyang-goyang, mau niru Slumdog Millionaire kali. Kostum dan make-upnya pun terbilang bagus. Sebuah adegan yg gw suka, ketika kita baru tau Maruyama itu mata-mata, dia langung pake baju militer dan menggelar bendera Jepang di temboknya, gw gak tau adegan ini seberapa penting dan perlunya (sama seperti adegan penyiksaan Ishak oleh Maruyama), tapi keren aja diliatnya (^_^'). Pokoknya film ini dibuat dengan effort yg oke...untuk setting masa lalunya. Mungkin terlalu lelah membuat setting masa lalu, tim desain produksinya jadi kedodoran di setting 1998, karena setau gw tahun itu Kijang baru modelnya gak kayak itu, blum ada Vios sbg taksi, TV LCD widescreen blum dilaunching, nggak ada bangunan baru Blok A Tanah Abang, treadmill blum secanggih itu, dan bahkan belum ada rencana pembangunan JALUR BUSWAY! Emang sih hal2 ini agak tricky kecuali ada visual efek yg bisa menghapus itu, tapi tetep aja ganggu, apalagi jalur buswaynya keliatan 2 kali.
Selain itu, film ini lemah di segi casting. Maida memang digambarkan perempuan idealis dan kikuk, tapi Atiqah bagi gw terlihat bingung gerak-geriknya kalo nggak mau disebut over-acting. Yama Carlos lama2 makin mirip Keanu Reeves: tampak bagus di layar asalkan tidak bicara. Blum lagi gw sebut pemeran Soekarno, haduh.......*gak berani bilangnya*. Tapi setidaknya sektor akting diselamatkan oleh oom Frans Tumbuan yg luar biasa (udah bau Citra ^.^'), Hengky Solaeman (sbg Oom Kuan) dan surprisingly, Nino Fernandez. Pemeran anak2nya pun cukup memberi kesegaran tersendiri walaupun porsinya nggak banyak. Yang gw suka juga dari film ini adalah tampilnya detail2 para tokohnya tanpa harus dieksploitasi secara berlebihan. Mungkin emang dasar penulis naskahnya adalah novelis, tiap karakter punya identitas yg riil, punya suku, agama, profesi dsb, sehingga believable dan tidak kartunis, dan itu perlu diberi kredit tersendiri.
Perasaan gw terbelah saat nonton film ini, cerita bagus, teknisnya baik (kecuali yg gw sebut tadi), tapi sayang eksekusinya sedikit tersandung di segi akting, pun penceritaan di tengah2 juga agak kemana-mana (kayaknya interaksi dengan tokoh sejarah nyatanya kebanyakan deh), tapi untungnya dibayar dengan manis di akhir. Jadi, sepertinya gw akan menganggap film ini termasuk kategori "bisa lebih baik lagi". Gw amat sangat menghargai niat baik pembuat film ini, modal ceritanya oke dan punya pesan penting tanpa harus pretensius (sok penting). Apakah kata-kata "Pendidikan itu memerdekakan jiwa" atau "Sejarah itu penting, yang baik kita rayakan, yang buruk kita catat dan jangan sampai terjadi lagi" termasuk menggurui? Nggak ah, ini lebih kepada mengajak, lagian ini bukan hal yg baru. Tapi mnurut gw, Ruma Maida punya satu lagi pesan penting yg tersirat di bagian akhir dan hampir nggak keliatan: tanpa tahu sejarah, kita tidak punya jati diri. Agree.
My score: 7,5/10
NB: Mau tanya dong, apakah toga wisuda Jurusan Sejarah UI tahun 1998/1999 warnanya kuning dan oranye? Setau gw kalo Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, seperti gw, warnanya kuning dan putih...
Komentar
Posting Komentar