Directed by Henry Selick
Screenplay by Henry Selick
Based on the novel by Neil Gaiman
Produced by Claire Jennings, Mary Sandell
Cast: Dakota Fanning, Teri Hatcher, Robert Bailey Jr, Keith David, John Hodgman, Ian McShane
Menyambut postingan sebelumnya, VCD (aduh lagi2, zaman apa ini? heuheu) kedua yg gw tonton dalam rangka catch-up wawasan perfilman gw adalah Coraline, film stop-motion animation terbaru dari sutradara film animasi serupa The Nightmare Before Christmas –ya, dia, Tim Burton mah cuman produser atau semacamnya. Agak panjang untuk menjelaskan stop-motion animation itu apa, jadi silahkan merujuk pada film The Nightmare Before Christmas, Chicken Run, serial Robot Chicken, video musik "Fell In Love With A Girl" nya The White Stripes, atau tanya mbak Wikipedia aja, hehehe. Yang pasti jenis animasi ini agak lama proses pembuatannya, tapi setidaknya dalam kasus Coraline ini, hasilnya benar2 memuaskan.
Coraline Jones (Dakota Fanning) beserta ayah-ibunya baru saja pindah ke sebuah rumah yg dibagi jadi 4 apartemen..yah, kontrakan lah kalo orang sini bilangnya. Ibu (Teri Hatcher) dan Ayah (John Hodgman) adalah penulis artikel yg biasa ada di majalah semacam Trubus. Meskipun mereka sudah pindah ke tempat yg lebih sederhana dan jauh dari hiruk pikuk kota, mereka masing2 tetap sibuk sendiri dan mengabaikan bahkan jutek sama putri tunggal mereka (dan si ayah yg tugas masak, masakannya nggak enak). Itu benar2 membuat Coraline kesal, ditambah suasana rumah yg bobrok dan tetangga2 yg aneh yg sering salah menyebut namanya jadi Caroline (^.^), apalagi ia belum punya teman di lingkungan baru selain Wyborn (Robert Bailey Jr), cucu juragan kontrakan yg menurut Coraline anak ini cerewet sekali.. Bisa ditebak, Coraline tidak senang dengan kehidupan barunya ini.
Sampai suatu saat ia menemukan sebuah pintu kecil di tembok rumah yg tertutup wallpaper. Di siang hari, di balik pintu hanya ada tembok batu bata. Tapi di malam hari, secara ajaib jadi sebuah lorong ke sebuah pintu kecil lainnya. Mengobati rasa penasaran, Coraline menyeberangi lorong itu dan mendapati dirinya sampai di rumah yg persis sama dengan rumahnya, hanya suasananya lebih ceria. Tak sampai di situ, ada Ibu dan Ayahnya dalam versi lebih ramah, hangat, dan perhatian serta membuatkan masakan yg enak, bedanya kedua mata mereka masing2 tertutup kancing. Tak hanya mereka, Coraline pun diperkenalkan pada orang2 di lingkungannya dalam versi yg “lain” juga, termasuk Wyborn yg tidak berbicara satu patah kata pun—matanya juga berkancing. Jelas Coraline senang di sini. Walaupun pada pagi hari ia kembali pada rumah aslinya, malamnya ia kerap mampir ke rumahnya yg “lain” ini dimana ia dibuat betah oleh orang2 versi “lain” di sana. Saat ditawari untuk tinggal di sana selamanya, Coraline sih mau aja, tapi ia langsung tidak terima ketika tau bahwa ia harus menjahitkan dua matanya dengan kancing (!) sebagai syaratnya. Tapi masalah lain baru saja dimulai, orang tua Coraline yg asli hilang, dan ternyata diculik di dunia “lain”. Siapa sebenarnya orang2 di dunia “lain” itu? Dan bisakah Coraline bertemu ibu dan ayah aslinya lagi?
Waktu nonton film ini, yang paling menonjol adalah gambar animasinya yg bener2 cantik nan ciamik penuh warna dan imajinatif. Semengerikan apapun adegannya, gw dibuat kagum oleh desain gambarnya yg bener2 wokeh. Gerakan2 dan ekspresi tokohnya pun sangat pas. Klimaksnya top! Tapi nilai plus Coraline tidak hanya di segi teknis, ceritanya pun menarik dan tidak begitu mudah ditebak. Mengusung pesan moral seperti “kurangnya perhatian orang tua membawa petaka pada anak (or something like that) ”, juga “you don’t know what you got till it’s gone” atau mungkin versi sininya “syukuri apa yg ada” (silahkan tebak gw dapetnya dari mana…^_^’), ceritanya dikemas dengan tidak membosankan, sekaligus bikin takut juga: hanya karena tidak senang dengan kehidupannya yang memang kurang kasih sayang, anak seperti Coraline bisa saja terperangkap di dunia yg sebenernya berbahaya serta kehilangan segalanya…untungnya Coraline bukanlah anak yg sepolos itu (hahaha, be smart, kids), sehingga setelah tau akibat dari pilihan yg dibuatnya, ia pun mampu berubah menjadi heroik. Tapi yg agak miris juga, perbuatan2 mengerikan si “musuh” –yg baru terungkap di paruh akhir, tidak hanya pada Coraline—juga didasari kurangnya kasih sayang. Hmm, jelas ini bukanlah film “hiburan keluarga” biasa gara-gara lumayan beratnya inti cerita dan gelapnya cara penyampaiannya. Mungkin memang sebaiknya yg menonton adalah remaja ke atas, bukan anak2.
Bagi gw Coraline adalah salah satu film animasi yg patut diacungi jempol karena berani tampil beda, dan termasuk menghibur (?) meski bukan dengan cara “haha hihi” seperti stereotipe film “kartun” (hei, orang nonton horor juga merasa terhibur kan?) dan mungkin akan lebih mengena bagi yg dewasa. My verdict: kisahnya enak diikuti, pesan moralnya baik, gambarnya mantaph, karakterisasi yg kuat, pengisi suaranya berhasil, maka ini adalah film yg memenuhi syarat “bagus”, meski memang sulit untuk “laris mampus”. I think it's one of the best film of the year so far. Sayang DVD originalnya belum dirilis secara resmi di sini. Di VCD aja mnurut gw cukup bagus, pasti di DVD jauuuh lebih bagus…Ada tanggapan, Vision Interprima?
My score 8/10
Screenplay by Henry Selick
Based on the novel by Neil Gaiman
Produced by Claire Jennings, Mary Sandell
Cast: Dakota Fanning, Teri Hatcher, Robert Bailey Jr, Keith David, John Hodgman, Ian McShane
Menyambut postingan sebelumnya, VCD (aduh lagi2, zaman apa ini? heuheu) kedua yg gw tonton dalam rangka catch-up wawasan perfilman gw adalah Coraline, film stop-motion animation terbaru dari sutradara film animasi serupa The Nightmare Before Christmas –ya, dia, Tim Burton mah cuman produser atau semacamnya. Agak panjang untuk menjelaskan stop-motion animation itu apa, jadi silahkan merujuk pada film The Nightmare Before Christmas, Chicken Run, serial Robot Chicken, video musik "Fell In Love With A Girl" nya The White Stripes, atau tanya mbak Wikipedia aja, hehehe. Yang pasti jenis animasi ini agak lama proses pembuatannya, tapi setidaknya dalam kasus Coraline ini, hasilnya benar2 memuaskan.
Coraline Jones (Dakota Fanning) beserta ayah-ibunya baru saja pindah ke sebuah rumah yg dibagi jadi 4 apartemen..yah, kontrakan lah kalo orang sini bilangnya. Ibu (Teri Hatcher) dan Ayah (John Hodgman) adalah penulis artikel yg biasa ada di majalah semacam Trubus. Meskipun mereka sudah pindah ke tempat yg lebih sederhana dan jauh dari hiruk pikuk kota, mereka masing2 tetap sibuk sendiri dan mengabaikan bahkan jutek sama putri tunggal mereka (dan si ayah yg tugas masak, masakannya nggak enak). Itu benar2 membuat Coraline kesal, ditambah suasana rumah yg bobrok dan tetangga2 yg aneh yg sering salah menyebut namanya jadi Caroline (^.^), apalagi ia belum punya teman di lingkungan baru selain Wyborn (Robert Bailey Jr), cucu juragan kontrakan yg menurut Coraline anak ini cerewet sekali.. Bisa ditebak, Coraline tidak senang dengan kehidupan barunya ini.
Sampai suatu saat ia menemukan sebuah pintu kecil di tembok rumah yg tertutup wallpaper. Di siang hari, di balik pintu hanya ada tembok batu bata. Tapi di malam hari, secara ajaib jadi sebuah lorong ke sebuah pintu kecil lainnya. Mengobati rasa penasaran, Coraline menyeberangi lorong itu dan mendapati dirinya sampai di rumah yg persis sama dengan rumahnya, hanya suasananya lebih ceria. Tak sampai di situ, ada Ibu dan Ayahnya dalam versi lebih ramah, hangat, dan perhatian serta membuatkan masakan yg enak, bedanya kedua mata mereka masing2 tertutup kancing. Tak hanya mereka, Coraline pun diperkenalkan pada orang2 di lingkungannya dalam versi yg “lain” juga, termasuk Wyborn yg tidak berbicara satu patah kata pun—matanya juga berkancing. Jelas Coraline senang di sini. Walaupun pada pagi hari ia kembali pada rumah aslinya, malamnya ia kerap mampir ke rumahnya yg “lain” ini dimana ia dibuat betah oleh orang2 versi “lain” di sana. Saat ditawari untuk tinggal di sana selamanya, Coraline sih mau aja, tapi ia langsung tidak terima ketika tau bahwa ia harus menjahitkan dua matanya dengan kancing (!) sebagai syaratnya. Tapi masalah lain baru saja dimulai, orang tua Coraline yg asli hilang, dan ternyata diculik di dunia “lain”. Siapa sebenarnya orang2 di dunia “lain” itu? Dan bisakah Coraline bertemu ibu dan ayah aslinya lagi?
Waktu nonton film ini, yang paling menonjol adalah gambar animasinya yg bener2 cantik nan ciamik penuh warna dan imajinatif. Semengerikan apapun adegannya, gw dibuat kagum oleh desain gambarnya yg bener2 wokeh. Gerakan2 dan ekspresi tokohnya pun sangat pas. Klimaksnya top! Tapi nilai plus Coraline tidak hanya di segi teknis, ceritanya pun menarik dan tidak begitu mudah ditebak. Mengusung pesan moral seperti “kurangnya perhatian orang tua membawa petaka pada anak (or something like that) ”, juga “you don’t know what you got till it’s gone” atau mungkin versi sininya “syukuri apa yg ada” (silahkan tebak gw dapetnya dari mana…^_^’), ceritanya dikemas dengan tidak membosankan, sekaligus bikin takut juga: hanya karena tidak senang dengan kehidupannya yang memang kurang kasih sayang, anak seperti Coraline bisa saja terperangkap di dunia yg sebenernya berbahaya serta kehilangan segalanya…untungnya Coraline bukanlah anak yg sepolos itu (hahaha, be smart, kids), sehingga setelah tau akibat dari pilihan yg dibuatnya, ia pun mampu berubah menjadi heroik. Tapi yg agak miris juga, perbuatan2 mengerikan si “musuh” –yg baru terungkap di paruh akhir, tidak hanya pada Coraline—juga didasari kurangnya kasih sayang. Hmm, jelas ini bukanlah film “hiburan keluarga” biasa gara-gara lumayan beratnya inti cerita dan gelapnya cara penyampaiannya. Mungkin memang sebaiknya yg menonton adalah remaja ke atas, bukan anak2.
Bagi gw Coraline adalah salah satu film animasi yg patut diacungi jempol karena berani tampil beda, dan termasuk menghibur (?) meski bukan dengan cara “haha hihi” seperti stereotipe film “kartun” (hei, orang nonton horor juga merasa terhibur kan?) dan mungkin akan lebih mengena bagi yg dewasa. My verdict: kisahnya enak diikuti, pesan moralnya baik, gambarnya mantaph, karakterisasi yg kuat, pengisi suaranya berhasil, maka ini adalah film yg memenuhi syarat “bagus”, meski memang sulit untuk “laris mampus”. I think it's one of the best film of the year so far. Sayang DVD originalnya belum dirilis secara resmi di sini. Di VCD aja mnurut gw cukup bagus, pasti di DVD jauuuh lebih bagus…Ada tanggapan, Vision Interprima?
My score 8/10
Komentar
Posting Komentar