Hidden Figures
(2016 - 20th Century Fox)
Directed by Theodore Melfi
Screenplay by Allison Schroeder, Theodore Melfi
Based on the book by Margot Lee Shetterly
Produced by Donna Gigliotti, Peter Chernin, Jenno Topping, Pharrell Williams, Theodore Melfi
Cast: Taraji P. Henson, Octavia Spencer, Janelle Monáe, Kevin Costner, Kirsten Dunst, Jim Parsons, Mahershala Ali, Aldis Hodge, Glen Powell, Kimberly Quinn, Olek Krupa, Kurt Krause, Donna Biscoe
Kisah keberhasilan orang-orang yang sebelumnya diremehkan alias underdog bukan cuma kesukaan penonton sini—kerap juga dilabeli "kisah inspiratif". Hollywood juga cukup sering mengangkat kisah-kisah seperti ini, dan biasanya pola berkisahnya mirip-mirip: orang atau orang-orang yang berangkat dari keadaan susah atau dianggap nggak berkemampuan ternyata sanggup membuat pencapaian besar, tinggal taruh saja keberhasilan atau pencapaian orang atau orang-orang tersebut ada di bidang apa. Pola tersebut juga sedikit banyak digunakan dalam Hidden Figures, sebuah film berdasarkan kisah nyata pencapaian badan antariksa Amerika Serikat, NASA. Namun, ada yang unik dalam Hidden Figures, pola cerita filmnya mungkin tak berubah, tetapi topiknya termasuk segar, karena nggak banyak diketahui publik. Film ini mengangkat kisah para wanita Afrika-Amerika yang ternyata turut berjasa dalam beberapa misi antariksa terawal NASA di era 1960-an, yang notabene adalah masa-masa diskriminasi gender dan ras masih sangat kental di keseharian warga sana.
Hidden Figures berfokus pada tiga wanita Afrika-Amerika yang bekerja untuk NASA, Katherine Goble (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Monáe). Ketiganya adalah bagian dari tim West Area Computers, bukan komputer mesin ya, tapi "computer" dalam artian orang-orang yang meng-compute alias menghitung berbagai angka untuk keperluan apalah-apalah di NASA. Iya, jadi sebelum punya mesin komputer, untuk beberapa penghitungan matematika dan fisika segala macam, NASA menyerahkannya pada tim yang seluruhnya wanita, yang kemudian dibagi juga jadi tim komputer wanita kulit putih dan wanita kulit hitam/berwarna, akibat politik segregasi saat itu yang memisahkan kedua ras ini dalam hal apapun—rumah makan, toilet, tempat duduk bus, bahkan pintu masuk gedung fasilitas umum. Karena gender dan ras, Katherine cs hanya bisa berharap karier mereka akan sampai di tukang hitung di balik layar saja seperti sekarang. Namun, menjelang misi-misi perdana NASA untuk meluncurkan pesawat berawak ke luar angkasa—setelah keduluan Uni Soviet, kesempatan yang tak disangka akhirnya menghampiri para wanita ini. Katherine yang jenius sejak kecil ditugaskan ke tim utama peluncuran pesawat ruang angkasa pimpinan Al Harrison (Kevin Costner), sementara Mary dipindahkan untuk menjadi tukang hitung di bagian engineering--keduanya jadi orang kulit berwarna pertama di posisi masing-masing.
Akan tetapi, kerja mereka bukan berarti tanpa halangan. Katherine kerap mendapat perlakuan tak mengenakan dari orang-orang sekitarnya yang (nyaris) semuanya pria berkulit putih—dan berpakaian kayak seragam =D, juga secara rutin terganggu kerjanya karena toilet untuk wanita kulit berwarna ada di gedung yang berbeda. Ada pun Mary terdorong untuk jadi lebih dari sekadar tukang hitung, dan berkeinginan jadi engineer langsung, namun ia terbentur sebuah syarat gelar yang proses mendapatkannya juga nggak fair karena segregasi ras tadi. Sementara Dorothy yang telah menjadi semacam supervisor tak resmi dari para wanita ini hampir putus asa ketika mengetahui ia nggak akan jadi supervisor betulan di timnya sendiri. Sampai akhirnya ia diam-diam belajar bahasa komputer secara otodidak, dan jadi satu-satunya orang yang berhasil mengoperasikan mesin komputer baru dari IBM untuk keperluan NASA.
Kalau diperhatikan sebenarnya Hidden Figures ini bukan kisah underdog seperti biasa. Sejak awal perkenalan tokoh-tokoh ini, gw merasa filmnya cukup menghemat waktu gw dengan ngeskip kerja keras mereka sebelum akhirnya diterima NASA. Toh pokoknya mereka berhasil diterima NASA, nggak main-main, artinya sudah fix mereka itu punya kemampuan istimewa. Film ini justru langsung fokus pada persoalan berbeda yang dialami oleh Katherine, Dorothy dan Mary masing-masing setelah berada di NASA, dan ketiga cerita punya satu benang merah: masalahnya adalah bukan pada sejauh apa kemampuan mereka, tetapi sebesar apa kesempatan yang diberikan pada mereka. Ketiga sosok ini jadi semacam pilihan terakhir di saat kepepet di lingkungan mereka, karena keberadaan mereka hampir nggak diketahui, terlebih lagi karena mereka perempuan, yang sering dianggap nggak lebih cerdas di bidang sains daripada laki-laki, berkulit hitam pula, yang sering nggak diberi hak yang sama seperti warga mayoritas walau sesama warga negara. Misalnya mereka diajak lebih awal, apakah NASA akan berhasil mendahului Uni Soviet dalam teknologi antariksa? Bisa jadi. Equal opportunity, peluang yang setara, adalah kata kuncinya.
Namun, ketiga wanita dalam cerita ini juga bukannya ngedumel ketika diperlakukan diskriminatif. Bisa dipahami, mereka sudah cukup beruntung bisa bekerja untuk NASA, lembaga negara berwawasan antariksa, bahwa ilmu yang susah payah mereka timba di bidang sains bisa bermanfaat di sini, itu jauh lebih mending dari keadaan sebagian besar kaum mereka saat itu. Instead, yang mereka lakukan adalah membuktikan kinerja mereka, tak menyia-nyiakan kesempatan—karena salah sedikit pasti "penghakiman"-nya akan ke mana-mana, dan sampai akhirnya nggak ada pihak bisa menyangkal bahwa diskriminasi adalah sesuatu yang tak beralasan, pada akhirnya ilmulah yang berbicara. Memang agak politis ya, dan persoalan diskriminasi gender apalagi ras memang terus jadi isu hangat di Amerika Serikat sampai sekarang. Ada kalanya juga terkesan film ini hanya ingin mengampanyekan "nilai-nilai Amerika" ideal yang konon nggak membeda-bedakan latar belakang dan jati diri orang dalam segala bidang, tetapi toh rasanya nilai itu juga layak dipetik oleh penonton di mana pun. Maksud gw, negara kita aja masih belum lepas dari saling diskriminasi tho, baik dari segi suku, agama, ras, pilihan politik, pilihan tempat nongkrong, maupun akreditasi sekolah *lah*.
Walau begitu, yang gw suka juga dari Hidden Figures adalah cara bertuturnya yang begitu lembut dan nggak tensi tinggi. Isunya cukup sensitif, tetapi dibawakan dengan santai, dengan mendekatkan simpati penonton pada ketiga karakternya, yang memang pada dasarnya adalah manusia dengan kehidupan dan aspirasi layaknya orang kebanyakan, termasuk adanya persoalan keluarga dan asmara. Apa yang dikerjakan oleh para tokoh jago matematika ini di kantor masing-masing juga ditunjukkan seperlunya, nggak terlalu detail spesifik tetapi paling nggak gw tetap bisa kira-kira mereka ngurusin apa, dan jadi tahu mereka ingin mencapai apa. Dengan cara ini, ditambah performa para pemain yang keren-keren dalam Southern accent =D, ngikutin ceritanya pun jadi enak. Diselipkan humor sana-sini, musik yang asyik—ya iyalah ada Pharrell jadi produsernya =), serta persembahan visual yang cerah berwarna, namun tak lupa mengondisikan momen-momen emosional di saat yang tepat. Memang sih ada kalanya gw merasa beberapa adegan yang ketahuan banget dimodifikasi agar terkesan lebih "film", biasalah berhubungan dengan detik-detik mepet khas Hollywood, tapi nggak sampai menyimpangkan maksud utama ceritanya, yaitu tentang breaking the (unnecessary) barriers demi kemajuan bersama. Tuturannya ringan, menyenangkan, nggak terlalu ngoyo dalam menyampaikan "pesan moral", tetapi nilai-nilai yang hendak disampaikan tetap tersampaikan.
My score: 7,5/10
Komentar
Posting Komentar