Amour
(2012 - Les Films du Losange/X-Filme Creative Pool/Wega Film/Sony Picture Classics)
Written & Directed by Michael Haneke
Produced by Margaret Ménégoz
Cast: Jean-Louis Trintignant, Emanuelle Riva, Isabelle Huppert, Alexandre Tharaud, William Shimell, Ramón Agirre, Rita Blanco, Carole Franck, Dinara Drukarova
Nama Michael Haneke cukup sering terdengar di kalangan pecinta film. Beliau adalah sineas Austria-Jerman yang berkarya lintas Eropa, dan jadi langganan penghargaan (bukan cuma peserta) di ajang Festival Film Internasional Cannes. Mendengar label "Eropa" dan "Cannes" sebenarnya udah jadi peringatan buat gw bahwa kemungkinan besar gw akan...emm...kesulitan mengikuti gaya film Haneke. Tapi tetep aja gw nekad nyoba nonton Amour, peraih penghargaan tertinggi Palem Emas di Festival Cannes 2012 tempo hari, yang dengan sangat baik hati diputar dalam rangkaian festival film Europe on Screen di Jakarta, 25 November sampai 1 Desember 2012 silam. Dan berikut adalah pengalaman pertama saya menyaksikan film karya Michael Haneke, mudah-mudahan nggak perih *apasih*.
Judulnya sih Amour, itu bahasa Prancis yang artinya "cinta", tetapi bukan berarti film ini akan menceritakan indahnya cinta dan romantisme...atau bisa juga film ini dipandang demikian jika Anda memang berpola pikir cutting edge. Premisnya aja sudah depresif, tentang pasangan lansia di Paris, Georges Laurent (Jean-Louis Trintignant) dan istrinya, Anne (Emanuelle Riva) yang harus menghadapi ujian dari serangan penyakit yang diderita salah satu dari mereka. Suatu pagi, oma Anne tiba-tiba pause, tak ada respon meski tubuhnya tegak dan matanya terbuka, dan ketika sadar, si oma nggak inget apa yang barusan terjadi. Setelah diperiksa, oma Anne memang mengalami stroke, dan sayangnya lagi kemudian ia mengalami kelumpuhan di bagian atas kanan yang tidak bisa dipulihkan meski sudah dioperasi. Kondisinya yang semakin menurun tentu menuntut kesabaran ekstra dari opa Georges yang bertekad untuk merawat istrinya itu, namun itu bukannya tidak menguras tenaga dan emosi, apalagi si oma termasuk keras kepala meski dalam kondisi demikian.
Kalo orang awam bangsa kita pasti akan bertanya "ke mana anaknya?", well, itulah namanya perbedaan budaya. Georges dan Anne adalah pasangan lansia yang dahulu aktif sebagai pengajar musik, kini hidup berdua saja di flat secara sederhana, nggak punya TV. Anak mereka, Eva (Isabelle Huppert) sudah berkeluarga, punya kehidupan dan permasalahan sendiri dengan rumah tangganya yang sedang retak. Georges dan Anne ingin agar putrinya tetap fokus ke sana, agar tidak stuck pada persoalan orang tuanya, meskipun Eva khawatir dan sedihnya bukan main. Menurut Georges, memang tidak ada lagi yang bisa Eva perbuat bagi sang bunda, dan in certain levels, tidak ada juga yang bisa Georges perbuat pada istri tercintanya selain membuatnya senyaman mungkin. Ini tidak mudah, karena Anne kerap bersikap tak kooperatif, mood-mood-an, tidak mau dirawat di rumah sakit, tidak mau dikasihani. Dan sebagaimana sudah dikasih intip di awal film, it won't get better.
Sebagaimana kondisi Anne menguras tenaga Georges, presentasi film Amour ini juga menguras energi penontonnya gw. Secara teknis, Amour ini bagus walau sederhana—90% seting hanya di dalam flat oma-opa Laurent. Aktornya luar biasa, Jean-Louis Trintignant dan Emanuelle Riva tampil sangat sangat prima dengan karakter masing-masing dan dengan interaksi yang sangat intens. Plotnya pun bagus dengan dialog-dialog yang dirangkai wajar, bernas, dan mulus. Lha, masalahnya di mana? Masalah ada pada penerimaan gw, seperti yang gw singgung tadi, kesulitan mengikuti gaya penuturan sutradaranya, memang terbukti. Haneke selama ini terkenal dengan banyak adegan long-take (satu adegan direkam terus-menerus tanpa potong), tapi gw gak nyangka akan banyak sekali adegan yang disyut lama, as in luaamma, tapi tidak terlalu jelas hubungannya dengan adegan-adegan berikutnya. Capek tauk, menyangka "ini dilama-lamain pasti ada maksudnya nih" tapi ternyata enggak *sebal*. Filmnya juga dua jam durasinya yang sangat-sangat berasa. Pun ada cukup banyak pertanyaan yang tidak dijawab langsung, atau malah tidak dijawab sama sekali. Again, bisa saja sebenarnya terjawab, tapi gw-nya yang nggak nyampe. Itu gayanya beliau, gw bisa apa?
Dan satu lagi yang sepertinya membuat gw terhalang untuk "menyukai" Amour adalah keputusan-keputusan yang diambil para tokoh di bagian akhir film. Ini sih emang preferensi pribadi, toh gw sebagai penonton gak bisa ngatur juga dong apa maunya pembuat cerita/sutradara, tapi...gimana ya? Opa Georges yang sepanjang film digambarkan sehat waalfiat, berpikiran yang sehat pula, dan very very sabar seperti tidak diberi kesempatan untuk berbuat yang benar sesulit apa pun itu. Mungkin itu amour antara mereka, keinginan untuk tidak saling bikin menderita dengan cara saling bikin menderita, lahir maupun batin. Begitu kuatnya cinta sampai sanggup melunturkan apa yang jadi kekuatan seseorang. Sebuah fase yang terlalu membuat miris untuk ukuran sepasang suami-istri yang tampak sempurna ini. Terlalu painful dan depressing buat gw yang perasaannya halus ini *cuih*, tapi juga sama sekali nggak mengharukan. Gak sukak ah.
My score: 7,5/10
woaaa...ane malah ga sempet nonton ni film, padahal penasaran bgt sama performance-nya Emanuelle Riva yg kayanya rame dibahas di blogger2 film diluar..
BalasHapushihi, ane udah antisipasi juga sih soal durasi berlama lama ala film eropa...^^
dicoba aja tonton, filmnya bagus sebenarnta, cuman sayanya aja yg gak selera *hehe*, dan oma Emanuelle emang superkece aktingnya di sini
Hapusbelum tayang reguler kan gan di blitz..kmren doang tuh di eos...
Hapusunfortunately, ane ga dpet bwt nonton ini...-_-
terpaksa nunggu dah,hihi