[Movie] Surat Cinta untuk Kartini (2016)


Surat Cinta untuk Kartini
(2016 - MNC Pictures)

Directed by Azhar 'Kinoi' Lubis
Screenplay by Vera Varidia
Story by Toha Essa, Fatmaningsih Bustamar
Produced by Toha Essa, Rina Harahap
Cast: Chicco Jerikho, Rania Putrisari, Ence Bagus, Christabelle Grace Marbun, Donny Damara, Ayu Diah Pasha, Keke Soeryokusumo, Melayu Nicole Hall, Fernandito Raditya, Oktavia Owe, Nina Syaheda, Vanda Mutiara, Maya Putri


Hari Kartini mungkin jadi salah satu peringatan paling rancu di antara hari-hari nasional lain yang sudah lama dicanangkan di Indonesia. Sosok Raden Ajeng Kartini selama ini digambarkan sebagai pahlawan wanita Indonesia yang berjuang di bidang pendidikan. Tetapi, lucunya, tradisi Hari Kartini kebanyakan hanya terbatas pada lomba busana daerah yang bahkan tak ada hubungannya dengan penyebab Kartini dijadikan pahlawan nasional dan diperingati dalam hari khusus. Seperti ada miskomunikasi antara sejarah dengan rakyat Indonesia saat ini tentang sosok Kartini.

Terlepas dari perdebatan tentang bagaimana cara memperingati Hari Kartini, ataupun tentang asal-usul status pahlawan nasional Kartini yang konon politis, ada sebuah niat baik yang ingin diungkapkan dalam film terbaru tentang Kartini yang diproduksi MNC Pictures, Surat Cinta untuk Kartini. Memang jika dilihat dari judulnya saja, seperti ada yang keliru dari film ini, sebab belum ditemukan bahwa Kartini pernah membuat atau menerima surat cinta, ia menikah pun karena dijodohkan. Tetapi, film arahan Azhar 'Kinoi' Lubis ini sebenarnya bisa jadi gerbang awal untuk kenal lagi tentang Kartini.

Jauh-jauh hari film ini sudah diumumkan sebagai sebuah kisah fiksi berlatar sejarah, dengan melihat sosok Kartini dari sudut pandang seorang tokoh rekaan yang ada di sekitar Kartini. Sudut pandang ini pun kembali dipertegas di awal filmnya, bahwa kisah ini diceritakan seorang guru kepada murid-murid SD yang mengeluh bosan mendengar cerita Kartini yang begitu-begitu saja.

Kemudian dimulailah cerita tentang Sarwadi (Chicco Jerikho), seorang duda asal Semarang yang mulai bekerja sebagai tukang pos di Jepara, Jawa Tengah pada era kolonial Belanda tahun 1901. Suatu ketika ia mengantarkan surat ke kediaman Bupati Jepara, Sarwadi berkesempatan melihat sang putri tertua, Kartini (Rania Putrisari), juga mendengar sekilas pendapatnya tentang pentingnya kaum pribumi untuk belajar. Kagum akan sosok dan pemikiran Kartini, Sarwadi pun bersemangat menyuruh putri tunggalnya, Ningrum (Christabelle Grace Marbun) untuk jadi murid pertama dari sekolah yang didirikan Kartini dan adik-adiknya.

Tentu saja, ini juga kesempatan Sarwadi lebih dekat dengan Kartini. Status bahwa Sarwadi rakyat biasa dan Kartini seorang ningrat sudah jelas membuat keduanya akan terus berjarak, tetapi Sarwadi tak gentar untuk menunjukkan cintanya dengan berusaha membantu mewujudkan cita-cita Kartini, agar rakyat pribumi, terutama perempuan yang selama ini terkungkung tradisi, memperoleh pendidikan yang diperlukan. Namun, batin Sarwadi kemudian bergejolak, ketika Kartini seolah-olah mengkhianati cita-citanya sendiri dengan menikahi seorang pejabat yang sudah beristri tiga.

Bahwa Surat Cinta untuk Kartini ingin memperkenalkan Kartini dari sudut pandang yang paling mendasar adalah sesuatu yang patut dihargai. Lewat film ini, apa yang disebut 'perjuangan Kartini' bisa dilihat lebih jelas secara visual serta konteks zaman, sosial, dan budaya yang diberikan. Dengan latar tradisi Jawa saat itu yang mengarahkan perempuan hanya untuk 'cepat kawin', juga terbatasnya pendidikan hanya bagi orang Belanda dan pribumi ningrat, sekolah yang didirikan Kartini menjadi pendobrak. Ruang lingkupnya mungkin memang kecil, tetapi digambarkan pula bahwa Kartini mendorong munculnya orang-orang lain dengan perjuangan serupa.

Kekuatan terbesar dari film ini memang terletak pada gambaran besar situasi di sekitar Kartini, serta dampak pemikiran dan tindakannya bagi lingkungannya, dengan Sarwadi sebagai penuntun penonton. Bagian ini juga sangat dibantu oleh desain produksinya, sekalipun mungkin tak sepenuhnya otentik, yang memberi efek kembali ke masa lalu dengan sangat baik. Sekarang, tinggal bagaimana film ini bisa membawakan plot utamanya, yaitu kekaguman dan cinta Sarwadi terhadap Kartini.

Dengan motivasi karakter Sarwadi yang cukup innocent, film ini pun dibawakan dengan lembut, selangkah demi selangkah dan cukup mudah dipahami—mungkin karena lagi-lagi sejak awal film ini ceritanya dituturkan untuk anak-anak. Ini pula yang jadi permakluman bahwa semua bahasa lokal diganti dengan bahasa Indonesia, sekalipun itu jadi mengurangi otentisitas perbedaan kasta Sarwadi dengan Kartini, yang akan lebih bisa ditunjukkan dalam bahasa Jawa.

Namun, yang terjadi kemudian gaya bertutur ini malah backfired di beberapa bagian. Upaya untuk bertutur semudah dan selembut mungkin seringkali diwujudkan dengan penataan adegan yang terkesan cheesy, terlalu diatur, dan kurang tulus. Ditambah lagi, ritme paruh kedua film ini jadi lebih diseret dengan banyak 'kegalauan', seolah tak rela film dengan effort sebesar ini ceritanya dapat selesai hanya dalam durasi satu setengah jam saja.

Beruntung bahwa kekuatan unsur-unsur lain lumayan bisa jadi kompensasi akan hal tersebut. Selain dari sisi desain produksi, film ini juga sangat terbantu dengan kostum dan sinematografi yang menangkap pemandangan-pemandangan yang indah—dibantu juga dengan efek digital yang tak mendistraksi. Penataan musik yang beratmosfer klasik, romantis, sekaligus megah juga jadi salah satu poin yang membuat film ini secara keseluruhan lebih nyaman dinikmati.

Dari segi pemeranan, Chicco sekali lagi menunjukkan dedikasinya sebagai aktor lewat aksen dan gesturnya. Pembawaan yang impresif juga diberikan para pemain pendukung seperti Ence Bagus sebagai Mujur sahabat Sarwadi, dan Ayu Diah Pasha sebagai ibu kandung Kartini. Sedangkan Rania sanggup terlihat anggun sebagai Kartini, walaupun mungkin belum bisa memancarkan karisma sekuat potret dan tulisan-tulisan Kartini.

Pada akhirnya, film Surat Cinta untuk Kartini mungkin belum benar-benar komprehensif dalam mengedepankan sosok Kartini. Film ini memang lebih bertitikberat pada apa yang Kartini perbuat dan dampaknya bagi rakyat sekitarnya. Akan tetapi, jika tujuannya adalah untuk memperkenalkan lagi sosok Kartini lebih dari tampilan sanggul dan kebaya, film ini sudah menggenapinya.




My score: 7/10

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com

Komentar