Nada untuk Asa
(2015 - MagMA Entertainment/Sahabat Positif Komsos KAJ)
Written & Directed by Charles Gozali
Produced by Hendrick Gozali
Cast: Marsha Timothy, Acha Septriasa, Darius Sinathrya, Nadila Ernesta, Mathias Muchus, Inong Nidya Ayu, Wulan Guritno, Butet Kertaradjasa, Tri Yudiman, Donny Damara, Irgi Fahrezi, Pongki Barata
Kisah tentang pengidap HIV yang harus berjuang melawan
penyakitnya, sekaligus bertahan dari pandangan miring dari orang-orang sekitar.
Sekilas premis film Nada untuk Asa tersebut terdengar seperti film melodrama
Indonesia yang lagi-lagi memanfaatkan penyakit untuk meminta belas kasihan dari
penontonnya. Tetapi, Nada untuk Asa rupanya menawarkan lebih daripada air mata.
Bahkan, ada satu informasi yang di dunia nyata mungkin luput dari perhatian
banyak orang: HIV bukan berarti vonis mati.
Ditulis dan disutradarai oleh Charles Gozali (Finding
Srimulat), Nada untuk Asa dituturkan dengan cara yang cukup berbeda dari film
drama biasa. Alurnya mengikuti dua tokoh berbeda dalam dua masa yang berbeda
pula—namun ditampilkan selang-seling. Yang pertama adalah Nada (Marsha Timothy)
seorang janda dengan tiga anak yang baru mengetahui ia positif HIV. Yang kedua
adalah Asa (Acha Septriasa), seorang perempuan muda yang hidup dengan HIV sejak
kecil, dan mendapat perlakuan tak adil karena penyakitnya itu. Asa adalah anak
bungsu dari Nada.
Meski punya kaitan, dua alur ini memang dibuat cukup
kontras. Kisah Nada adalah tentang sebuah keluarga yang awalnya kokoh,
tiba-tiba terguncang oleh kenyataan bahwa seseorang mengidap penyakit yang
sangat ditakuti. Satu per satu, ikatan keluarga yang tadinya erat menjadi
kendor, terutama akibat stigma tertanam bahwa HIV adalah "penyakit orang
nggak benar".
Belum lama suaminya meninggal, Nada kemudian tahu suaminya (Irgi
Fahrezi) pernah selingkuh dan positif HIV. Lalu belakangan menularkan virus itu
pada diri dan putri mereka, Asa. Bagian inilah yang mungkin paling mirip dengan
kisah melodrama pada umumnya. Air mata Nada, dan orang-orang di sekitarnya,
benar-benar diperas di sini. Bakal terasa melelahkan juga melihat bahwa hampir
di setiap adegan Nada ditampilkan menangis. Bahkan, dua atau tiga adegan di
antaranya, orang-orang di sekitar Nada satu per satu juga ikutan menangis.
Tetapi, perlu dipahami bahwa tangisan di film ini memang
bukannya dipaksakan. Kesedihan dan keterpurukan yang digambarkan pada bagian
kisah Nada memang berfungsi untuk menyampaikan rasa yang dialami Nada sendiri. Lebih
dari persoalan penyakit, tetapi bagaimana ia berjuang untuk menerima
keadaannya, dan juga bisa dirangkul oleh keluarganya sendiri. Perlakuan yang
diterima Nada memang heartbreaking, namun tidak dikemas mengada-ada. Inilah
yang membuat mellow-nya kisah Nada cukup acceptable, meskipun belum tentu mudah
dinikmati.
Sebaliknya, kisah Asa terlihat lebih cerah dan manis. Sikapnya
pun jauh berbeda dengan Nada, karena Asa digambarkan sudah pada tahap menerima
keadaannya, dan sudah terbiasa menguatkan diri ketika mendapat perlakuan
diskriminatif. Ketimbang meratapi penyakit, ia berkonsentrasi mewujudkan
mimpinya dalam hidup. Lalu datanglah Wisnu (Darius Sinathrya), pemuda yang
perhatian pada Asa. Kebetulan, Wisnu mengerti betul tentang orang-orang positif
HIV seperti Asa. Namun, ini justru membuat Asa tak yakin Wisnu tahu betul apa
yang ia lakukan dengan mendekati Asa.
Pada dasarnya kedua alur ini ingin menyampaikan nilai-nilai
yang sama. Keduanya berbicara tentang beratnya perlakuan yang diterima oleh
orang-orang positif HIV, yang mungkin jadi persoalan yang lebih kompleks
ketimbang pengobatannya. Ditunjukkan pula bahwa, sekalipun sudah lewat satu
generasi, stigma dan pengetahuan masyarakat tentang HIV belum kunjung berubah.
Kedua tokoh ini punya pergulatan yang sama, namun dengan
sikap yang berbeda: Nada adalah masa rapuh, Asa adalah masa tegar. Kisah Asa
bisa saja disederhanakan sebagai penyeimbang porsi melodrama kisah Nada, dan
itu adalah cara yang sangat baik untuk tidak membuat film ini jatuh terlalu
cengeng. Bayangkan saja ada berapa tokoh lagi yang bakal "ketularan"
menangis jika hanya ada kisah Nada di film ini.
Meski punya materi cerita yang baik, di saat bersamaan Nada
untuk Asa mungkin belum terasa sempurna sebagai sebuah sajian sinematik. Walau
film ini memerhatikan detail artistik seperti kostum dan properti yang
menandakan perbedaan zaman dengan efektif, film ini memang hanya berskala
kecil, dan production value-nya sangat sederhana untuk ukuran film bioskop. Dialog
yang preachy di beberapa tempat mungkin masih bisa dimaklumi, mengingat tujuan
awal film ini adalah inspirasional. Namun, beberapa penataan adegan masih
terbawa pada dramatisasi "gaya lama"—seperti bercakap-cakap tanpa
saling berhadapan, dan satu adegan yang maunya sekadar mengundang senyum
jatuhnya seperti sketsa komedi di TV.
Otomatis, Nada untuk Asa harus mengandalkan cerita dan
akting pemainnya untuk mengangkat nilai keseluruhan film ini. Untunglah, hal itu
bisa disanggupi. Penampilan Marsha dan Acha patut mendapat pujian, terutama
karena sanggup mengangkat karakter mereka secara dramatis tanpa harus jadi
over-the-top.
Satu lagi hal lagi yang membuat Nada untuk Asa punya nilai
lebih adalah caranya menyampaikan "penyuluhan" yang mulus tentang
HIV/AIDS. Seakan mematahkan kebiasaan film dan sinetron Indonesia dalam
menggambarkan penderita penyakit berat, film ini lebih menunjukkan tokoh-tokoh
utamanya menderita karena sikap orang-orang di sekitarnya, bukan penyakitnya.
Bahkan mereka tidak terlihat sakit. Film ini mengingatkan bahwa HIV—walaupun
belum bisa disembuhkan—bisa ditangani dengan pengobatan dan pola hidup sehat.
Alhasil, pengidapnya bisa tetap hidup bugar. Mungkin bukti yang paling populer
bisa dilihat di mantan pebasket NBA, Magic Johnson yang
postif HIV selama 20 tahun lebih tapi tidak pernah terlihat kurus. Jadi, walau
tidak sempurna, setidaknya Nada untuk Asa berhasil untuk tidak keliru.
My score: 7/10
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Muvila.com
Komentar
Posting Komentar